Jakarta – Sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, dan pemuka agama yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menyampaikan sikap tegas menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini sedang dibahas di DPR. Mereka menilai revisi ini tidak hanya dilakukan secara tertutup dan terburu-buru, tetapi juga mengancam prinsip supremasi sipil dan demokrasi yang telah diperjuangkan melalui reformasi 1998.
Dalam konferensi pers yang digelar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/03/2025) para tokoh lintas agama ini menyampaikan keprihatinan mereka terhadap revisi UU TNI yang dinilai dapat membawa Indonesia kembali ke era militerisme. Mereka juga menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di wilayah-wilayah konflik seperti Papua, jika aturan ini disahkan.
Proses Tidak Transparan dan Terburu-buru
Salah satu kritik utama yang disampaikan oleh GNB adalah proses revisi UU TNI yang dinilai tidak transparan dan dilakukan secara diam-diam. Karlina Supelli, akademisi dari STF Driyarkara, menyebut bahwa revisi ini tidak diawali dengan kajian akademik yang memadai dan lebih merupakan upaya untuk melegitimasi kebijakan yang telah berjalan.
“Biasanya, revisi undang-undang harus didahului dengan kajian akademik yang mendalam. Namun, dalam kasus ini, revisinya justru bertujuan untuk melegalkan praktik yang sudah dilakukan sebelumnya. Ini adalah cara berpikir post-factum yang sangat berbahaya,” tegas Karlina.
Lebih lanjut, ia juga mempertanyakan urgensi dari revisi ini. Menurutnya, tidak ada kebutuhan mendesak yang dapat membenarkan perubahan aturan yang akan mengizinkan lebih banyak prajurit TNI aktif menduduki jabatan-jabatan sipil.
Senada dengan Karlina, Mantan Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin menekankan bahwa pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup semakin memperbesar kecurigaan publik terhadap agenda tersembunyi di baliknya.
“Proses legislasi yang baik harus melibatkan partisipasi publik. Namun, dalam kasus ini, revisi UU TNI justru dilakukan secara tertutup dan terburu-buru, tanpa ada keterbukaan kepada masyarakat. Ini adalah preseden buruk bagi demokrasi kita,” ujarnya.
Ancaman Kembalinya Militerisme dalam Pemerintahan Sipil
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam revisi UU TNI adalah pasal yang memperluas peran prajurit aktif dalam jabatan sipil. Jika disahkan, aturan ini akan mengizinkan lebih banyak perwira TNI untuk menduduki posisi di kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah. Penempatan anggota TNI aktif ke dalam institusi sipil ini justru akan melemahkan profesionalitas TNI. Mereka menjadi tidak fokus pada fungsi utama sebagai alat negara di bidang pertahanan
Pendeta Darwin Lumbantobing, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), menegaskan bahwa militer harus tetap profesional dalam menjalankan tugas utamanya, yaitu sebagai alat pertahanan negara.
“TNI adalah alat negara untuk pertahanan, bukan untuk mengelola urusan sipil. Jika prajurit aktif terus ditempatkan di posisi sipil, ini akan menggerus profesionalisme mereka dan membawa kita kembali ke masa kelam di mana militer mengontrol hampir semua aspek pemerintahan,” ujar Darwin.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Pendeta Ronald Tapilatu, Ketua Biro Papua PGI, yang menyoroti bagaimana kebijakan ini dapat semakin membatasi kebebasan berekspresi di Papua. Menurutnya, selama ini aparat keamanan telah menjadi aktor utama dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di wilayah tersebut.
“Di Papua, kebebasan berekspresi sudah sangat terbatas. Jika militer kembali diperbolehkan masuk ke jabatan sipil, maka ruang demokrasi akan semakin sempit dan risiko pelanggaran HAM akan semakin besar,” katanya.
Pelajaran dari Reformasi 1998
Dalam konferensi pers ini, Alissa Wahid, putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga menyoroti bahwa revisi UU TNI berpotensi mengkhianati perjuangan reformasi 1998.
“Gus Dur sangat memahami bahwa demokrasi hanya bisa berjalan jika supremasi sipil ditegakkan. Karena itu, beliau berani memisahkan TNI dan Polri meskipun harus membayar mahal dengan jabatannya,” ujarnya.
Alissa juga menegaskan bahwa salah satu alasan utama dihapusnya Dwifungsi ABRI adalah untuk memastikan bahwa militer tidak lagi memiliki peran politik dan administratif dalam pemerintahan sipil. Jika revisi ini disahkan, maka Indonesia bisa kembali ke era otoritarianisme yang telah ditinggalkan sejak lebih dari dua dekade lalu.
“Kita tidak boleh mengulangi kesalahan sejarah. 32 tahun kita berjuang untuk menghapus militerisme dalam pemerintahan sipil. Jangan sampai kita membuka pintu bagi kembalinya praktik ini,” tambahnya.
Seruan Gerakan Nurani Bangsa
Dalam pernyataan resminya, Gerakan Nurani Bangsa yang diwakili oleh beberapa tokoh antara lain Allisa WAhid, Ignatius Kardinal Suharyo, Lukman Hakim Saifuddin, Karlina Supelli, Franz Magnis-Suseno SJ, Setyo Wibowo SJ, Pendeta Darwin Lumbantobing, dan Penderta Ronald Tapilatu menyampaikan tiga poin utama sebagai seruan kepada pemerintah dan DPR:
1. Menolak penempatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil, karena hal ini akan melemahkan profesionalisme dan fokus utama TNI dalam bidang pertahanan.
2. Menegaskan bahwa karakter militer yang hierarkis dan berbasis komando tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, yang mengedepankan musyawarah dan partisipasi publik.
3. Meminta pemerintah dan DPR untuk menghentikan proses revisi UU TNI, karena bertentangan dengan amanat reformasi dan berpotensi melemahkan supremasi sipil.
GNB juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersikap kritis terhadap revisi UU TNI dan tidak tinggal diam menghadapi ancaman kembalinya militerisme dalam kehidupan sipil.
“Demokrasi yang telah kita bangun harus dijaga bersama. Jika supremasi sipil dilemahkan, maka rakyat yang akan menjadi korban. Oleh karena itu, kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersuara dan menolak revisi ini,” tutup Karlina Supelli dalam pernyataannya.
Dengan meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil, pemerintah dan DPR kini menghadapi ujian besar dalam menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Apakah supremasi sipil akan tetap dijaga, ataukah Indonesia akan kembali ke masa di mana militer memiliki kontrol luas dalam pemerintahan sipil? Jawabannya kini ada di tangan para pembuat kebijakan.