Home Berita Alumni Akademisi Kritik Revisi UU TNI yang Dianggap Ugal-ugalan

Akademisi Kritik Revisi UU TNI yang Dianggap Ugal-ugalan

128
0

JAKARTA – Sejumlah akademisi dan organisasi masyarakat sipil menggelar diskusi terkait revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dinilai bermasalah, baik dari sisi substansi maupun proses legislasi.

Acara yang berlangsung pada Minggu (16/03/2025) sore dan disiarkan secara daring di Kanal Youtube Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik ini menghadirkan berbagai narasumber dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), serta Serikat Pekerja Kampus (SPK).

Dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ, Center for Law and Social Justice) Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman, para akademisi menyoroti berbagai aspek bermasalah dalam revisi UU TNI, mulai dari ancaman terhadap supremasi sipil, potensi impunitas bagi militer, hingga proses legislasi yang dinilai ugal-ugalan dan tidak transparan.

Ketua KIKA, Satria Wijaksana, menegaskan bahwa revisi ini tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga berpotensi mengancam hak asasi manusia dan kebebasan akademik.

“RUU ini memberikan peluang bagi TNI untuk kembali masuk ke jabatan sipil, yang bertentangan dengan reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru,” ujar Satria.

Menurutnya, revisi ini akan memperbesar kemungkinan militer menempati posisi strategis di pemerintahan sipil, yang dapat menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI di masa lalu dan membahayakan demokrasi.

Dr. Saiful Mahdi dari Universitas Syiah Kuala menyoroti dampak impunitas yang terus berulang dalam tubuh TNI. Ia menyebut bahwa revisi ini akan semakin memperburuk kondisi demokrasi, khususnya bagi masyarakat di daerah konflik seperti Aceh dan Papua.

“Dari Aceh hingga Papua, kita melihat bagaimana kekerasan negara dibiarkan tanpa ada akuntabilitas. Impunitas yang terjadi saat ini adalah ancaman serius bagi hak-hak sipil dan kebebasan akademik,” tegasnya.

Sementara itu Direktur Papua Democratic Institute, Elvira Rumkabu, mengungkapkan bahwa keberadaan militer di sektor sipil telah menciptakan trauma berkepanjangan di masyarakat Papua.

“Anak-anak yang mengalami trauma karena kekerasan yang dilakukan oleh militer kini dipaksa menerima bantuan dari mereka yang pernah menindas. Ini bukan hanya persoalan politik, tetapi juga psikologis,” katanya.

Elvira menambahkan bahwa revisi UU TNI ini akan semakin memperburuk situasi di Papua, di mana militer sering kali terlibat dalam proyek-proyek strategis nasional yang menimbulkan konflik dengan masyarakat adat.

Akademisi dari CALS Bivitri Susanti, menyoroti pelanggaran konstitusi dalam revisi UU TNI. Ia menjelaskan bahwa dalam Pasal 30 UUD 1945, TNI secara eksplisit disebut sebagai alat negara, bukan lembaga negara.

“TNI diberi akses khusus terhadap senjata dan legitimasi untuk melakukan kekerasan dalam kondisi tertentu. Namun, dalam sistem demokrasi, militer harus tunduk pada supremasi sipil dan tidak boleh masuk ke ranah pemerintahan sipil,” jelas Bivitri.

Ia juga menyoroti proses legislasi yang cacat, dengan pembahasan yang dilakukan secara terburu-buru dan tertutup di hotel-hotel mewah.

“Urgensinya apa? Kita tidak dalam kondisi perang. Tapi kenapa pembahasan ini secepat kilat? DPR dan pemerintah harus menjelaskan kepada publik mengapa revisi ini begitu mendesak,” tegasnya.

Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara, juga menyebut bahwa revisi ini adalah contoh dari “abusive law-making” yang merusak demokrasi.

“Revisi ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan supremasi sipil. Selain itu, memberikan peluang kepada presiden untuk memberikan diskresi besar dalam mengatur posisi militer dalam pemerintahan sipil. Ini jelas bertentangan dengan prinsip konstitusi kita,” ungkapnya.

Proses Legislasi yang Bermasalah
Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, mengungkapkan banyaknya kejanggalan dalam proses legislasi RUU ini. Salah satunya adalah fakta bahwa RUU ini tidak masuk dalam Prolegnas 2025, tetapi tiba-tiba dimasukkan tanpa prosedur yang jelas.

“Ini adalah contoh kejahatan legislasi. Pembahasan dilakukan di hotel mewah, tertutup dari publik, dan tidak ada urgensi yang jelas,” ujar Fajri.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa revisi ini merupakan bagian dari pola legislasi ugal-ugalan yang telah terjadi dalam 10 tahun terakhir, seperti revisi UU KPK dan Omnibus Law Cipta Kerja.

“Kita melihat bahwa DPR hanya menjadi stempel eksekutif. Tidak ada partisipasi publik, tidak ada transparansi. Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi,” tambahnya.

Di akhir diskusi, akademisi dan organisasi masyarakat sipil membacakan pernyataan sikap bersama yang menuntut penghentian revisi UU TNI. Mereka menolak pengembalian dwifungsi militer dan mendesak DPR serta pemerintah untuk menghormati prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Herdiansyah Castro Hamzah dari Universitas Mulawarman menegaskan bahwa masyarakat sipil harus bersatu dalam menolak revisi ini. “Ini adalah kondisi darurat demokrasi. Jika revisi ini dibiarkan, kita akan kembali ke masa kelam Orde Baru,” tegasnya.

Pernyataan sikap yang dibacakan mencakup beberapa poin utama:

1. Menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup dan bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM.

2. Menolak bangkitnya kembali dwifungsi ABRI yang semakin melanggengkan impunitas TNI melalui pengisian jabatan sipil oleh militer aktif.

3. Mendesak masyarakat sipil untuk bersatu dalam menolak revisi ini dan memastikan supremasi sipil tetap terjaga dalam sistem demokrasi Indonesia.

Sebagai penutup, Herdiansyah Castro Hamzah mengutip pidato Soekarno tahun 1953:

“Angkatan Perang tidak boleh ikut-ikut politik. Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan Perang harus berjiwa, berkobar, tetapi tidak boleh ikut politik.”

Para akademisi menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersatu dan mendesak DPR dan pemerintah agar menghentikan revisi UU TNI ini sebelum demokrasi di Indonesia benar-benar runtuh.

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here