Home Berita Alumni Yustinus Prastowo: Pasar Tidak Selalu Bisa Mengatur Dirinya Sendiri, Negara Harus Berperan...

Yustinus Prastowo: Pasar Tidak Selalu Bisa Mengatur Dirinya Sendiri, Negara Harus Berperan Aktif

80
0
Yustinus Prastowo. Pasar tidak selalu dapat mengatur dirinya sendiri secara ideal dan sering kali justru memerlukan intervensi pemerintah agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi yang semakin lebar. Dalam diskusi di utan Kayu, Jumat (21/03/2025). Foto : Youtube

Jakarta – Dalam diskusi terakhir seri Philosophy Underground: Filsafat Ekonomi Mengkritik Neoklasik, di Komunitas Utan Kayu, Jumat (21/03/2025), Yustinus Prastowo menegaskan bahwa negara harus mengambil peran aktif dalam ekonomi, terutama dalam menghadapi krisis. Mengacu pada pemikiran John Maynard Keynes, Prastowo menyebutkan bahwa pasar tidak selalu dapat mengatur dirinya sendiri secara ideal dan sering kali justru memerlukan intervensi pemerintah agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.

“Seringkali kita mendengar bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri. Namun, dalam kenyataannya, kita melihat pasar justru kerap gagal mengantisipasi dan merespons krisis. Negara harus turun tangan, bukan untuk mendominasi, tetapi untuk memastikan keseimbangan dan stabilitas,” ujar Pras, begitu mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis 2020-2024 dalam pemaparannya.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Center for Research on Ethics, Economy, and Democracy bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu ini merupakan sesi kelima sekaligus penutup dari serial diskusi bertajuk Filsafat Ekonomi Mengkritik Neoklasik, yang bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran ekonomi kritis dan mencari alternatif atas dominasi ekonomi neoklasik.

Pasar Bebas dan Kegagalannya Mengantisipasi Krisis

Dalam paparannya, Prastowo menjelaskan bagaimana teori ekonomi neoklasik, yang menekankan bahwa pasar akan selalu menemukan keseimbangannya sendiri, sering kali gagal dalam realitas. Ia mengingatkan bagaimana krisis keuangan 2008 menjadi bukti bahwa pasar yang dibiarkan bebas justru bisa menciptakan ketidakstabilan besar.

“Teori ekonomi neoklasik menekankan bahwa pasar akan menyesuaikan dirinya sendiri, tetapi kenyataannya banyak pelaku ekonomi bertindak berdasarkan spekulasi dan ekspektasi yang tidak rasional. Hal ini menyebabkan krisis besar yang tidak bisa diatasi hanya dengan membiarkan pasar bekerja sendiri,” jelas mantan Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara periode 2021-2024.

Prastowo mengutip konsep animal spirit yang diperkenalkan Keynes, yakni dorongan psikologis yang sering kali mendorong pengambilan keputusan ekonomi yang tidak rasional. Ia menyebut bahwa banyak keputusan ekonomi tidak didasarkan pada perhitungan yang matang, tetapi pada ketakutan atau optimisme yang berlebihan.

“Krisis 2008 terjadi karena orang terlalu percaya diri bahwa ekonomi akan terus tumbuh. Bank dan lembaga keuangan memberikan pinjaman dengan asumsi harga properti akan selalu naik, padahal pada akhirnya sistem ini runtuh karena gelembung keuangan yang mereka ciptakan sendiri,” tambahnya.

Intervensi Negara yang Diperlukan

Prastowo menegaskan bahwa Keynesianisme bukan berarti negara harus mendominasi pasar, tetapi harus memainkan peran aktif dalam menciptakan stabilitas ekonomi.

“Intervensi negara bukan berarti negara mengontrol segala aspek ekonomi. Yang diperlukan adalah kebijakan yang memastikan pasar tetap berjalan dengan baik dan tidak dikuasai oleh spekulasi liar,” ujarnya.

Ia mencontohkan bagaimana kebijakan New Deal yang diterapkan Presiden Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat berhasil mengatasi Depresi Besar dengan cara meningkatkan belanja publik, menciptakan lapangan kerja, dan membangun infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dalam konteks Indonesia, Prastowo menilai bahwa kebijakan belanja negara saat ini memang mencerminkan pendekatan Keynesianisme, tetapi perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjebak dalam populisme.

“Belanja negara yang berlebihan tanpa perhitungan dapat berujung pada kegagalan. Kita harus memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi yang diambil benar-benar berbasis data dan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar populisme politik,“ tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa negara tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan rasio pajak sebagai solusi atas defisit anggaran.”Yang lebih penting bukan sekadar menaikkan pajak, tetapi bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan peningkatan pendapatan negara secara alami. Jika ekonomi bergerak, penerimaan pajak akan meningkat dengan sendirinya,” jelasnya.

Alat Politik

Sesi diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai pertanyaan kritis dari peserta. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana cara memastikan bahwa belanja negara benar-benar digunakan secara efisien dan tidak hanya menjadi alat politik. Prastowo menjawab bahwa transparansi dan akuntabilitas sangat penting dalam kebijakan ekonomi.

“Setiap belanja negara harus memiliki dampak yang jelas terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Jika hanya digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, maka kebijakan itu justru akan merugikan ekonomi dalam jangka panjang,” jawabnya.

Beberapa peserta juga mempertanyakan apakah Keynesianisme hanya relevan saat krisis atau bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang normal. Prastowo menjelaskan bahwa Keynesianisme bukan hanya “obat” saat krisis, tetapi juga bisa menjadi pendekatan yang memastikan keseimbangan antara pasar dan kebijakan publik.

Diskusi ini menggarisbawahi bahwa ekonomi tidak hanya tentang angka dan teori, tetapi juga tentang manusia dan kesejahteraan sosial.”Ekonomi bukan sekadar soal angka dan teori, tetapi bagaimana kita memastikan bahwa sistem yang kita jalankan mampu menciptakan kesejahteraan bagi semua,” kata Prastowo menutup pemaparannya.

Diskusi ini menjadi refleksi bagi para akademisi, mahasiswa, dan praktisi ekonomi tentang pentingnya memahami teori ekonomi dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Dengan memahami bagaimana teori ekonomi diterapkan dalam berbagai situasi, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dalam menilai kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here