Jakarta – Laporan terbaru dari Varieties of Democracy (V-Dem) Institute bertajuk Democracy Report 2025: 25 Years of Autocratization – Democracy Trumped? mengungkapkan bahwa demokrasi di dunia mengalami kemunduran drastis, dengan semakin banyak negara beralih ke sistem pemerintahan otoriter.
Laporan yang berbasis di Universitas Gothenburg, Swedia ini menggunakan lebih dari 31 juta data poin dari 202 negara sejak 1789 hingga 2024, dengan partisipasi lebih dari 4.200 pakar politik di seluruh dunia. Data tersebut menunjukkan bahwa 72% populasi dunia kini hidup di bawah rezim otoriter, angka tertinggi sejak 1978.
Tingkat demokrasi yang dijalankan, rata-rata warga dunia kini kembali ke level yang sama seperti tahun 1985. Sementara secara perhitungan rata-rata negara, level demokrasi saat ini sama dengan kondisi pada tahun 1996. Demokrasi juga mengalami kemunduran paling signifikan dalam aspek kekuatan ekonomi, yang kini berada di titik terendah dalam lebih dari 50 tahun terakhir.
Saat ini, dunia memiliki 88 negara demokrasi (liberal dan elektoral) dan 91 negara otokrasi (elektoral dan tertutup), membalikkan tren yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade, di mana jumlah negara demokrasi sebelumnya lebih banyak daripada negara otoriter.
“Kami tidak melihat tanda-tanda bahwa gelombang ketiga otokratisasi mulai melambat,” ujar Staffan I. Lindberg, Direktur V-Dem Institute. “Sebaliknya, semakin banyak negara yang bergerak menuju sistem pemerintahan yang lebih represif.”
Saat ini, 45 negara mengalami proses autokratisasi, di mana 27 di antaranya sebelumnya merupakan negara demokrasi. Dari jumlah tersebut, hanya 9 negara yang masih mempertahankan status demokrasi pada 2024, sementara 67% sisanya telah jatuh menjadi negara otoriter.
Tren ini juga didorong oleh meningkatnya penggunaan sensor media, pelemahan sistem pemilu, dan pembungkaman masyarakat sipil. Menurut laporan ini, strategi utama yang digunakan para pemimpin otoriter adalah: (1), Sensor media yang semakin ketat, di mana pemerintah menekan kebebasan pers, membatasi kebebasan berpendapat, dan mengendalikan wacana publik. (2), Manipulasi pemilu, termasuk penyalahgunaan sumber daya negara, pemadaman internet, dan penindasan terhadap oposisi.(3),Pembatasan kebebasan berkumpul dan berorganisasi, dengan semakin banyak aktivis dan organisasi non-pemerintah yang mengalami represi.
Beberapa negara yang mengalami kemunduran demokrasi paling tajam pada 2024 antara lain: India, yang secara resmi diklasifikasikan sebagai negara elektoral otokrasi, setelah mengalami penurunan dalam kebebasan pers, akademik, dan kebebasan sipil lainnya. Kemudian, Hong Kong, yang mengalami pembatasan ketat terhadap kebebasan berekspresi dan protes publik. Selanjutnya, El Salvador, yang pemerintahannya semakin mengkonsolidasikan kekuasaan dan membatasi oposisi politik. Lalu Rusia, yang semakin menutup ruang demokrasi dengan memenjarakan tokoh oposisi dan menindak media independen. Dan Indonesia, yang kini berada dalam kategori “grey zone” antara demokrasi dan otokrasi, dengan semakin meningkatnya kontrol terhadap kebebasan berekspresi dan pemilu yang kurang transparan.
Tren Kebebasan Berpendapat dan Pemilu yang Memburuk
Salah satu temuan paling mengkhawatirkan dari laporan ini adalah penurunan drastis dalam kebebasan berekspresi, yang kini memburuk di 44 negara, meningkat dari 35 negara dalam laporan tahun sebelumnya.
Indikator lain yang mengalami kemunduran signifikan meliputi:
Pemilu yang tidak bersih (turun di 25 negara), Kebebasan berserikat dan berkumpul (turun di 22 negara), dan Penegakan supremasi hukum (turun di 18 negara).
Selain itu, kebebasan akademik dan kebebasan budaya juga semakin ditekan di banyak negara. Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah di 41 negara telah meningkatkan upaya mereka untuk mengendalikan dan menyensor wacana akademik dan budaya.
Tahun 2024 disebut sebagai “tahun pemilu”, dengan 61 negara mengadakan pemilihan umum. Namun, hanya 11 negara yang mengalami perubahan arah demokratis yang signifikan. Sayangnya, lebih banyak negara mengalami perubahan negatif (7) dibandingkan yang mengalami perubahan positif (4).
Dalam banyak negara, pemilu justru menjadi alat bagi para pemimpin otoriter untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Pemilu di negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan, dan Rusia diduga kuat mengalami berbagai bentuk manipulasi, termasuk pembatasan akses media, intimidasi terhadap oposisi, dan pemadaman internet selama periode pemungutan suara.
“Mobilisasi pro-demokrasi meningkat, tetapi di banyak negara, kebijakan represif semakin diperkuat,” ujar Staffan I. Lindberg.
Laporan ini juga menyoroti 7 negara yang berpotensi mengalami autokratisasi lebih lanjut, termasuk Siprus, Slovakia, dan Slovenia. Jika tren ini berlanjut, jumlah negara otoriter di dunia akan semakin bertambah dalam beberapa tahun ke depan.
Sebaliknya, hanya tiga negara yang masuk dalam daftar pantauan sebagai kandidat potensial untuk kembali ke jalur demokrasi, yaitu Brasil, Polandia, dan Thailand.
Laporan V-Dem 2025 memberikan gambaran yang suram tentang keadaan demokrasi global. Dengan semakin banyak negara yang jatuh ke dalam otokrasi, tantangan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia semakin besar.
Namun, laporan ini juga mencatat adanya gerakan pro-demokrasi yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia. Meskipun represi meningkat, masih ada harapan bahwa demokrasi dapat dipulihkan melalui perlawanan sipil dan keterlibatan politik yang lebih aktif.
Apakah demokrasi bisa bangkit kembali? Ataukah dunia akan semakin tenggelam dalam gelombang otokratisasi? Hanya waktu yang akan menjawab.
UNDUH DOKUMEN V-DEM Democracy Report 2025