Jakarta – Dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD), Sabtu (22/02/2025), Alumnus Program Doktoral Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Narwastuyati Petronela Mbeo (Naya) membahas pemikiran filsuf Charles Taylor serta relevansinya dalam memahami sekularisasi dan demokrasi di era modern. Dihadiri para mahasiswa, akademisi serta pemerhati filsafat, Naya mencoba menyampaikan gagasan Filsuf Kanada yang pernah dijadikannya sebagai bahan untuk disertasinya dan akhirnya diterbitkan menjadi buku oleh Penerbit Kompas dalam konteks Indonesia, berjudul : Charles Taylor dan Tantangan bagi Sekularisasi bagi Indonesia
Dalam pemaparannya, Naya menemukan bahwa pemikiran Taylor ini mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana manusia mencari makna di tengah realitas sosial yang terus berubah. Taylor mengembangkan gagasan tentang manusia sebagai strong evaluator, yaitu individu yang secara aktif menilai dan mencari makna dalam kehidupan. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa manusia adalah homo religiosus dan zoon politicon, yang berarti bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial dan pencarian spiritualitasnya. Namun, berbeda dengan pandangan sekularisasi yang radikal, Taylor menunjukkan bahwa sekularisasi bukan berarti menghapus agama, melainkan menggesernya ke ruang privat dengan tetap mempengaruhi ruang publik melalui individu-individu yang menganutnya.
Naya menegaskan bahwa sekularisasi dalam pandangan Taylor adalah suatu kondisi di mana pengalaman manusia akan kebermaknaan tetap berlangsung, baik bagi individu yang beragama maupun yang tidak. Dalam bukunya A Secular Age (2007), Taylor menolak pandangan bahwa modernisasi otomatis menggiring masyarakat ke arah ateisme. Justru, ia menekankan bahwa masyarakat modern tetap mencari fullness atau kepenuhan hidup, yang bisa bersumber dari agama maupun aspek lain dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks Indonesia, sekularisasi tidak selalu berarti pemisahan total antara agama dan negara, melainkan bagaimana nilai-nilai religiusitas dan humanisme dapat saling mengisi tanpa menimbulkan dominasi satu pihak terhadap yang lain. Naya menyoroti bahwa Indonesia telah mengalami sekularisasi dalam bentuk yang khas, terutama dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi keberagaman agama, tetapi di sisi lain masih menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai sekular dan religius.
Selain sekularisasi, Taylor juga menawarkan wawasan yang berharga dalam memahami demokrasi. Ia berpendapat bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya ditentukan oleh prosedur pemilihan, tetapi juga oleh sejauh mana nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberté, égalité, fraternité) serta keharmonisan (comity) dapat dijaga dalam masyarakat yang majemuk.
Taylor juga mengkritik tren meritokrasi dan otentisitas yang berlebihan di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang justru memperlebar kesenjangan sosial dan mengikis prinsip-prinsip inklusivitas. Dalam konteks Indonesia, Naya menekankan bahwa demokrasi sering kali diwarnai oleh kepentingan ekonomi dan politik yang memperlemah unity in diversity. Oleh karena itu, pemikiran Taylor dapat menjadi acuan dalam menilai apakah demokrasi yang dijalankan saat ini benar-benar mengakomodasi kepentingan semua kelompok atau hanya melayani segelintir elite.
Kritik terhadap Taylor dan Implikasinya
Meskipun Taylor menawarkan perspektif yang inklusif, ia juga tidak luput dari kritik. Beberapa filsuf seperti Talal Asad menyoroti bahwa sekularisasi sering kali bukanlah proses yang netral, melainkan proyek politik yang dikendalikan oleh negara untuk menata peran agama dalam kehidupan sosial. Namun, Naya melihat bahwa pemikiran Taylor tetap memiliki relevansi bagi Indonesia, terutama dalam bagaimana masyarakat dapat memahami sejarah sekularisasi tanpa harus mengorbankan identitas religius mereka.
Taylor juga membongkar konsep self yang umum dipahami di Barat, memungkinkan orang non-Barat, termasuk masyarakat Indonesia, untuk memahami sejarah dan perkembangan pemikiran sekularisasi secara lebih luas. Ia mengingatkan bahwa agama dan modernitas tidak selalu harus berlawanan, melainkan dapat berjalan bersama selama ada ruang untuk toleransi dan saling pengertian.
Sementara itu Asisten Deputi Peningkatan Kapasitas Masyarakat Berkelanjutan di Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Amin Mudzakkir, memberikan tanggapannya terhadap pemaparan Naya. Ia menyoroti bahwa meskipun Taylor menawarkan pendekatan yang lebih moderat dalam memahami sekularisasi, tetap ada aspek kekuasaan yang tidak bisa diabaikan. Amin menekankan bahwa dalam banyak kasus, sekularisasi tidak terjadi secara alami, melainkan merupakan proyek negara dalam menata peran agama dalam kehidupan sosial dan politik.
Amin juga menambahkan bahwa di Indonesia, negara sering kali memainkan peran ganda—di satu sisi, ia tampak mempromosikan nilai-nilai sekularisme, tetapi di sisi lain, ia juga memanfaatkan agama sebagai alat legitimasi politik. Hal ini terlihat dari kebijakan yang memberikan ruang besar bagi kelompok-kelompok agama tertentu untuk mempengaruhi regulasi dan kebijakan publik. Menurut Amin, penting untuk memahami bahwa sekularisasi di Indonesia memiliki dinamika yang berbeda dengan di Barat, dan harus dikaji dengan mempertimbangkan konteks sejarah dan politiknya.
Moderator diskusi, Aldrich Antonio, menggarisbawahi pentingnya memahami pemikiran Taylor dalam hubungannya dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Ia menyoroti bagaimana konsep buffered self yang dikembangkan Taylor dapat menjelaskan pergeseran individu dalam mencari makna di era modern. Aldrich juga menambahkan bahwa meskipun demokrasi di Indonesia telah berkembang, masih ada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan peran agama dalam ruang publik.
Sebagai penutup, Aldrich mengajak para peserta untuk terus mengkritisi dan mendiskusikan pemikiran Taylor dalam konteks yang lebih luas, termasuk bagaimana teori sekularisasi dapat diadaptasi untuk menjawab tantangan demokrasi dan keberagaman. Menurutnya, masyarakat Indonesia perlu memahami bagaimana sekularisasi dan demokrasi dapat berjalan beriringan.
Naya sendiri menekankan bahwa pemikiran Taylor bisa menjadi alat analisis untuk memahami hubungan antara agama dan negara, serta bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan regulasi negara dalam ruang publik. Pendekatan Taylor terhadap sekularisasi menawarkan alternatif yang lebih moderat dibanding pandangan yang menganggap sekularisasi sebagai ancaman bagi agama. Dengan memahami pemikiran Taylor, masyarakat Indonesia dapat membangun demokrasi yang lebih inklusif dan harmonis sesuai dengan realitas sosial dan sejarah yang khas di negeri ini.