Saat membaca judulnya yang terkesan provokatif-sempat mengira apakah buku ini humor sarkas ala The Book of Dumb Movie Blurb (Jeff Rovin,2005) atau The Idiot Book (Ian Walsh,1991)? Humor parodi dalam sastra ala The Va Dinci Cod Adam Roberts atau Kiat Sukses Hancur Lebur-Terdepan,Terluar,Tertinggal Antologi Puisi Obskur 1945-2045 Martin Suryajaya? Ternyata buku ini adalah murni ilmiah-kajian psikologi tentang kebodohan! Buku yang bahkan sampai penulisnya sendiri di kata pengantarnya mengira apakah ia melakukan kebodohan!
Penulis dan penggagasnya bukan kaleng-kaleng, Jean-Francois Marmion (editor) adalah seorang psikolog di Perancis, editor jurnal Sciences Humaines, dan mantan pemimpin redaksi majalah Le Cercle Psy (Psychological Circle). Isi buku ini kumpulan tulisan Jean-Francois Marmion ditambah artikel lain dari kawan-kawannya dan wawancara penulis dengan beberapa tokoh.
Buku ini cukup relevan tentang sikap kita di zaman sekarang terutama saat menggunakan sosial media:mengapa meladeni perdebatan dengan orang tak dikenal? Mengapa suka memberi nasehat tanpa diminta? Mengapa mudah percaya kepada teori konspirasi, pseudo sains di Facebook, X, TikTok,YouTube? Di buku ini Marmion dan kawan-kawannya mencoba membantu kita untuk menghadapi kebodohan adalah dengan cara memahami dulu apa itu kebodohan. Tapi bukankah ada banyak “penderitaan” yang disebabkan “kebodohan”? “Kebodohan”- untuk hal tertentu- terkadang dalam hal ekstrem hampir sama dengan “kejahatan”.
Dasar penulisan buku ini tak lain berpijak pada Carlo Cipolla, sejarawan dan ekonom Italia dalam bukunya The Basic Laws of Human Stupidity (1976). Ia menyebut orang bodoh lebih berbahaya daripada orang jahat karena “ketidaktahuan”. Orang jahat dapat ditebak motifnya apa, sedangkan kebodohan terkadang sulit dikenali. Marmion di buku ini juga menunjukkan bagaimana media memanipulasi-internet beserta algoritmanya-terus menstimulasi sehingga membuat orang-orang makin bodoh (wawancara penulis dengan Ryan Holiday, The Biggest Media Manipulators The Media Itself).
Sierge Ciccotti dalam eseinya The Scientific Study of Idiot menjelaskan fenomena mampu mengatur segalanya (the illusion of control) di benak kita misalnya menyebabkan seseorang berperilaku bodoh dengan menekan tombol lift berulangkali. Filsuf Pascal Engel di artikelnya From Stupidity to Hogwash menjelaskan kebodohan yang kerap dilakukan oleh orang-orang pintar bukan karena tidak intelektual, melainkan perilaku pengambilan keputusan yang buruk disebabkan tekanan sosial dan pengaruh sosial, merasa diri dan lingkungannya paling benar, tulis Engel.
Ada beberapa saran yang disampaikan di buku ini terkait menyikapi kebodohan. Ewa Drozda Senkowksa dalam Stupidity and Cognitive Bias menekankan untuk memerangi bullshit atau omong kosong kita harus berani menyuarakan dengan lantang di depan orang yang bersangkutan sebagai peringatan. Ewa juga menulis,kebodohan merujuk pada bentuk menipu diri sendiri dengan meyakini kita paling benar-menguatkan teori Efek Dunning-Kruger yang kerap terjadi yaitu individu yang tidak ahli tapi karena terlalu percaya diri menyulitkan upaya melawan informasi yang salah.
Pierre Lemarquis dalam Stupidity on The Brain mengemukakan pentingnya menanyakan “am I a fool?” kepada diri sendiri karena hal tersebut merupakan tanda positif kita mampu mawas diri. Ia juga berpendapat “rasionalitas lebih berperan ketimbang kecerdasan”, terutama dalam pengambilan keputusan yang kadang berujung kebodohan. Patrick Moreau dalam Languange of Stupidity menekankan kemampuan berpikir kritis sebagai cara mengurangi kebodohan. Kemudian wawancara penulis dengan Stacey Callahan (profesor psikologi klinis, Universitas Toulouse) membahas Making Peace with Your Stupidity (Berdamai dengan Kebodohan), yakni dengan cara menerima diri, mencintai diri sendiri, dan selalu mengutarakan alasan.
Buku ini ditutup dengan topik Stupidity is The Background Noise of Wisdom yang merupakan percakapan penulis bersama Tobie Nathan (Profesor Emeritus Bidang Psikologi). Mengutip kalimat di bab ini, “Seperti musik, justru dibutuhkan music background agar melodi muncul. Dengan cara yang sama, kebodohan tidak lebih dari kebisingan di latar belakang kehidupan yang memungkinkan kita memperoleh kebijaksanaan yang sesungguhnya. Mari menerima keadaan, terus memperbaiki diri, dan belajar untuk makin bijak dalam mengambil keputusan, bertindak, dan menanggung konsekuensinya.”
Dari 29 penjelasan beragam tokoh di buku ini pembahasannya cukup menarik dengan bahasa yang ringan dan tidak mendakik-dakik. Mungkin karena mereka yang dikumpulkan Marmion sudah terbiasa menulis di media massa sehingga buku ini dapat dibaca seperti kita membaca buku kiat atau panduan (how to). Membaca buku ini seperti bagian dari refleksi diri sekaligus mengingatkan potensi diri kita sendiri untuk berbuat kebodohan juga besar. Ya, kebodohan adalah keniscayaan. **