Jakarta, – Karl Marx, seorang filsuf sekaligus ekonom yang sering disebut sebagai penghancur kapitalisme kembali menjadi topik utama dalam diskusi Philosophy Underground edisi Jumat (21/02/2025) malam. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Center for Research on Ethics, Economic, and Democracy (CREED) bersama Komunitas Utan Kayu ini, Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis periode tahun 2020-2024 Yustinus Prastowo menyampaikan, meskipun Marx telah lama meninggal, pemikirannya masih hidup dalam realitas ekonomi dunia saat ini.
“Marx bukan sekadar teoritikus, tetapi seorang kritikus kapitalisme yang luar biasa tajam. Meskipun dunia telah mengalami perubahan besar sejak zamannya, banyak konsep yang ia kemukakan justru semakin terbukti relevan dalam ekonomi modern,” ujar Prastowo membuka pemaparannya.
Prastowo menjelaskan bahwa pemikiran Marx sangat erat dengan kritik terhadap eksploitasi tenaga kerja. Dalam labor theory of value, Marx menekankan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah jam kerja yang digunakan untuk memproduksinya. Namun, dalam sistem kapitalisme, pekerja hanya dibayar sebagian dari nilai yang mereka ciptakan, sementara sisanya diambil sebagai surplus oleh pemilik modal.
“Kapitalisme bekerja dengan cara menciptakan nilai lebih dari tenaga kerja, yang kemudian diklaim oleh pemilik modal. Inilah yang oleh Marx disebut sebagai eksploitasi,” jelasnya.
Selain eksploitasi, Prastowo juga menyinggung konsep alienasi yang dikemukakan oleh Marx, di mana pekerja terasing dari hasil kerjanya sendiri. Ia mencontohkan pekerja industri manufaktur yang hanya melakukan satu bagian kecil dari proses produksi, tanpa pernah benar-benar melihat hasil akhirnya.
“Seorang buruh mungkin hanya menjahit bagian kecil dari sebuah tas mewah yang dijual dengan harga ratusan juta rupiah. Dia tidak akan pernah mampu membeli tas itu, apalagi mendapatkan keuntungan dari penjualannya. Ini adalah bentuk nyata dari alienasi yang dikritik Marx,” ungkap matan Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara Periode 2021-2024.
Menurutnya, fenomena ini semakin terlihat dalam dunia kerja modern, termasuk dalam industri kreatif dan digital, di mana tenaga kerja tetap menjadi komoditas yang diperjualbelikan, sementara nilai yang mereka hasilkan sering kali diambil oleh perusahaan besar.
Kapitalisme dan Kontradiksi Internalnya
Salah satu pertanyaan utama dalam diskusi ini adalah apakah kapitalisme, sebagaimana yang dikritik Marx, akan mengalami kejatuhan. Menanggapi hal ini, Prastowo menyoroti tiga kontradiksi internal yang dapat membuat kapitalisme runtuh. Pertama, tendensi turunnya profit. Kapitalisme mendorong peningkatan produktivitas melalui inovasi teknologi, tetapi di saat yang sama, biaya produksi yang semakin tinggi dapat menekan profitabilitas dalam jangka panjang.
Kedua, overproduction dan underconsumption. Kapitalisme sering kali menghasilkan lebih banyak barang daripada yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, karena daya beli buruh tetap rendah. Akibatnya, terjadi krisis ekonomi yang berulang. Ketiga, krisis ketimpangan ekonomi. Kapitalisme telah menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam, dengan sebagian besar kekayaan dunia dikuasai oleh segelintir orang, sementara mayoritas pekerja semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka.
“Kapitalisme terus beradaptasi, tetapi kita tidak bisa menutup mata terhadap dampaknya. Ketimpangan ekonomi global semakin memburuk, dan ini menunjukkan bahwa kritik Marx terhadap kapitalisme bukan hanya sejarah, tetapi kenyataan hari ini,” ujar pria asal Gunung Kidul, Yogyakarta ini.
Salah satu fenomena baru yang muncul dalam ekonomi modern adalah dominasi model bisnis berbasis sewa (rent-based economy), seperti layanan cloud computing, streaming platform, dan ekonomi berbasis aplikasi.
“Dulu, jika kita membeli sesuatu, kita benar-benar memilikinya. Sekarang, kita hanya menyewa. Musik, film, bahkan perangkat lunak semuanya berbasis langganan. Ini adalah bentuk baru dari ekstraksi nilai surplus yang tetap sesuai dengan kritik Marx terhadap kapitalisme,” jelasnya.
Prastowo juga menyinggung bagaimana perusahaan teknologi seperti Google, Apple, dan Amazon menciptakan model bisnis di mana mereka memperoleh keuntungan dari data dan aktivitas pengguna, tanpa harus membayar pekerja secara langsung untuk nilai yang dihasilkan.
“Ini adalah kapitalisme dalam bentuk yang lebih canggih. Tidak hanya tenaga kerja yang dieksploitasi, tetapi juga data dan kebiasaan pengguna dijadikan komoditas yang menghasilkan keuntungan bagi segelintir elite korporat,” tambahnya.
Marxisme di Indonesia: Antara Stigma dan Potensi
Ketika membahas relevansi pemikiran Marx di Indonesia, Prastowo mengakui bahwa stigma terhadap Marxisme masih sangat kuat. Namun, ia menegaskan bahwa pemikiran Marx tidak harus diartikan sebagai dukungan terhadap komunisme, melainkan sebagai alat analisis ekonomi yang dapat membantu memahami ketimpangan sosial dan ekonomi.
“Di negara-negara maju, pemikiran Marx sudah menjadi kajian akademik yang mapan. Di Indonesia, kita masih terjebak dalam stigma lama. Padahal, memahami Marx tidak berarti kita harus menjadi komunis, tetapi bisa menjadi bagian dari usaha mencari solusi terhadap persoalan ekonomi yang kita hadapi,” tegasnya.
Menurutnya, konsep seperti employee stock ownership program (ESOP) atau kepemilikan saham oleh pekerja merupakan contoh bagaimana pemikiran Marx dapat dikontekstualisasikan dalam sistem ekonomi modern. Model ini memungkinkan buruh tidak hanya menjadi tenaga kerja, tetapi juga pemegang saham yang turut menikmati keuntungan dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Menutup diskusi, Prastowo menekankan bahwa alih-alih menolak pemikiran Marx secara mentah-mentah, kita perlu menggunakannya sebagai alat untuk memahami dan mengkritisi ketimpangan ekonomi saat ini.
“Jika kita ingin membangun sistem ekonomi yang lebih adil, kita harus berani mengkritisi kapitalisme, bukan hanya menerima keadaan begitu saja. Itulah yang Marx ajarkan: berpikir kritis, mempertanyakan, dan mencari solusi,”ujar lulusan Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara.
Diskusi ini mendapat respons antusias dari peserta, dengan berbagai pertanyaan seputar relevansi Marxisme dalam berbagai aspek kehidupan modern, mulai dari ketenagakerjaan hingga industri kreatif. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan ketimpangan ekonomi global, tampaknya pemikiran Karl Marx akan terus menjadi bahan kajian yang tak lekang oleh waktu.