Home Berita Alumni Urban Sketching: Menciptakan Ulang Realitas Lewat Garis, Warna, dan Narasi

Urban Sketching: Menciptakan Ulang Realitas Lewat Garis, Warna, dan Narasi

289
0
Dio Bowo (kanan). Proses menggambar menjadi latihan kepekaan, sekaligus kontemplasi. Foto : Screenshoot Youtube

Jakarta — Sketsa bukan hanya sekadar alat perancang dalam seni rupa. Di tangan para urban sketcher (sketser), ia juga menjelma menjadi medium pencatatan visual yang hidup, reflektif, dan eksistensial. Hal ini diungkapkan oleh Dionisius Bowo, dosen Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dalam program talkshow “Philosophy Now” yang merupakan kerja sama Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) dan Radio Heartline.

Dengan tema “Urban Sketcher: Melihat Dunia Satu Gambar Satu Waktu”, talkshow yang berlangsung pada Senin, (19/05/2025) secara daring ini menggali lebih dalam makna dan praktik urban sketching sebagai suatu bentuk estetika yang bersifat partisipatif, personal, sekaligus filosofis.

“Urban sketching bukan hanya praktik menggambar kota. Ini adalah bentuk kesadaran penuh terhadap ruang dan waktu, terhadap lingkungan yang sedang kita alami. Setiap garis di atas kertas adalah penciptaan ulang realitas,” ujar Dionisius Bowo.

Fenomena Global
Fenomena urban sketching mulai mencuat ke permukaan sejak tahun 2007, ketika Gabriel Campanario, seorang jurnalis dan ilustrator asal Spanyol, membentuk komunitas daring pertama di platform Flickr. Dua tahun kemudian, tepatnya 2009, komunitas ini bertransformasi menjadi organisasi nirlaba bertajuk Urban Sketchers. Sejak saat itu, gerakan ini menyebar ke berbagai kota besar dunia, termasuk di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Bali, hingga Medan dll.

Yang menarik, komunitas ini bersifat sangat inklusif. Tidak ada prasyarat teknis untuk bergabung. Bahkan mereka yang sama sekali tidak memiliki latar belakang seni bisa belajar dan berkembang di dalamnya.

“Banyak dari mereka adalah arsitek, desainer interior, atau lulusan seni rupa. Tapi banyak juga ibu rumah tangga, pensiunan, bahkan pelajar. Yang penting adalah keinginan untuk mencatat dunia melalui sketsa,” jelas pria yang biasa dipanggil Dio.

Di Indonesia, komunitas-komunitas lokal bahkan membentuk varian yang unik seperti Sketsa Pulang Kerja (SPK), Jakata Food Sketchers (JFS), hingga komunitas dengan nuansa spiritual seperti Jubileum Sketch Project — kelompok sketcher Katolik yang sembari berdoa, menggambar Porta Santa dan gereja-gereja dalam rangka Tahun Yubileum.

Sketsa Sebagai Alat Penciptaan Ulang Realitas
Dio menekankan bahwa urban sketching bukan hanya menggambar apa yang dilihat, tetapi memilih apa yang ingin dicatat. Di sinilah terjadi perbedaan mendasar dengan fotografi.
“Kamera merekam semuanya yang di depan lensa secara apa adanya, tapi sketcher memilah, memilih obyek yang akan digambar. Ia menghadirkan apa yang dianggap penting, mengabaikan yang tidak perlu. Bahkan biasanya menambahkan narasi, catatan sejarah, puisi, pengalamannya atau bahkan emosi yang dirasakan di tempat itu,” ungkapnya.

Menurut Dio, inilah yang menjadikan sketsa bukan sekedar tiruan realitas. Mengutip filsuf Perancis Mikel Dufrenne mengacu fenomenologi pengalaman estetisnya, Dufrenne menekankan bahwa karya seni adalah objek estetis yang “menghadirkan dunia,” bukan hanya merepresentasikannya. Sketsa urban, dalam konteks ini, bukan hanya catatan visual tentang ruang kota, melainkan cara dunia kota itu hadir secara afektif dan eksistensial kepada si sketser maupun nanti pada pemirsanya.

Sketsa urban bukan hanya ‘gambar kota’, tetapi pengalaman kota yang dihadirkan melalui sensitivitas estetik. Detail seperti bayangan pohon di trotoar, garis miring bangunan tua, atau posisi manusia dalam ruang bukanlah elemen teknis belaka, tetapi bagian dari “dunia yang dirasakan, dialaminya”

Praktik yang Membumi dan Meditatif
Dio sendiri mengaku sebagai solo sketcher yang tidak cukup aktif di komunitas. Ia mulai aktif membuat sketsa perjalanan sejak 2014, diawali ketika saat melakukan perjalanan ziarah ke Fatima dan Lourdes. Sejak saat itu, ia membawa sketchbook, pena, dan cat air ke mana pun pergi — dari jalan-jalan di kota hingga sudut bangku KRL.

“Saya tinggal di Cakung dan bekerja di Taman Ismail Marzuki. Hampir setiap hari naik KRL, dan saya seringkali, membuat sketsa di kereta. Orang-orang tidur, berpura-pura tidur, sibuk dengan ponsel — itu semua menarik jika kita amati dengan mata sketser,” ceritanya.

Menurutnya, proses menggambar ini menjadi latihan kepekaan, sekaligus kontemplasi. “Ketika menggambar, kita dipaksa melambat, mengamati detail yang sering luput. Itu seperti meditasi.” Karya-karya sketsa Dio bisa dilihat di akun Instagramnya, @diobowo.

Urban Sketching Sebagai Alat Riset dan Rekreasi
Tidak hanya sebagai ekspresi artistik, urban sketching kini juga digunakan sebagai metode dalam penelitian ilmiah. Dio sendiri saat ini tengah menempuh studi doktoral dengan topik riset sketsa urban.

“Saya juga menggunakan sketsa sebagai alat dokumentasi dalam riset. Ia melengkapi wawancara, FGD, dan observasi. Bahkan dalam konteks akademik, sketsa sah dijadikan data observasi,” katanya.

Selain itu, menurutnya urban sketching juga bisa menjadi bentuk rekreasi dan silaturahmi. “Dalam rapat yang membosankan, menggambar bisa jadi cara terbaik untuk tetap hadir secara mental. Banyak teman saya yang justru menyimak lebih baik saat tangannya sibuk mencoret,” ungkapnya sambil tertawa.

Melawan Kecerdasan Buatan: Kembali ke Tangan dan Tubuh
Menariknya, dio juga melihat urban sketching sebagai bentuk perlawanan halus terhadap teknologi yang serba otomatis, termasuk AI (Artificial Intelligence). “Sekarang gambar bisa dihasilkan seketika simsalabim dengan prompt. Dengan urban sketching, kita justru diajak kembali menggunakan tubuh, memperlakukan tubuh sebagaimana mestinya. Itu keren,” tegasnya.

“Kebertubuhan dalam karya kreatif itu penting. Kita tidak hanya memproduksi gambar, tapi juga menciptakan keterhubungan — dengan tempat, dengan momen, dan dengan orang-orang.”

Jejak Global
Komunitas Urban Sketchers global secara rutin mengadakan simposium internasional. Sejak pertama kali digelar di Lisbon Portugal (2011), pertemuan ini telah menjelajah berbagai kota dunia — dari Barcelona, Singapura, Manchester, hingga yang terakhir di Buenos Aires 2024. Tahun ini, simposium ke-13 akan digelar di Poznań, Polandia, pada Agustus 2025. “Sayangnya saya belum pernah ikut hadir pada simposium tersebut,” ujar Dio.

Urban sketching bukan tentang hasil akhir, tapi tentang proses hadir sepenuhnya, kata Dio. Di tengah kota yang hiruk-pikuk dan dunia yang serba instan, sketsa urban mengajak kita melambat, mengamati, mencatat, dan menyadari lingkungan sekitar kita.
“Sketsa adalah salah satu cara mencintai kota. Kota bukan hanya sebagai tempat hadirnya kehidupan, tapi sebagai ruang yang penuh cerita. Dan setiap orang bisa menjadi pencatatnya,”

Pada akhirnya, fenomena sketsa urban mengingatkan kita bahwa di balik kesibukan dan kekacauan kota modern, ada keindahan yang menunggu untuk ditemukan dan diabadikan. Setiap goresan sketsa adalah sebuah pengakuan akan keberadaan kita dalam lanskap urban, sebuah cara untuk mengatakan, “Aku ada di sini, aku melihat, dan aku merayakan kota ini.”

Dalam dunia yang semakin digital dan cepat, sketsa urban menjadi jangkar yang menghubungkan kita kembali dengan lingkungan fisik kita, satu gambar pada satu waktu.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here