
Jakarta – Di era masyarakat digital yang serba cepat dan terkoneksi, gagasan baru tentang demokrasi mulai mencuat ke permukaan. Salah satu konsep yang mengemuka adalah “demokrasi cair” (liquid democracy), sebuah bentuk demokrasi yang mencoba melampaui batas-batas model konvensional demi partisipasi yang lebih terbuka, fleksibel, dan berbasis keahlian. Gagasan ini menjadi pokok pembahasan dalam program Philosophy Now—talkshow rutin yang digelar oleh Radio Heartline dan Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD).
Acara yang digelar Senin (05/05/2025) secara daring ini menghadirkan Rika Febriani, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Padang, sebagai narasumber utama. Dipandu oleh pembawa acara, Rika mengupas tuntas konsep demokrasi cair, perbedaannya dengan sistem demokrasi konvensional, serta tantangan etis dalam realisasi masyarakat digital.
Dari Representatif Menuju Partisipatif
Rika memulai dengan menjelaskan bahwa demokrasi cair muncul sebagai respons terhadap keterbatasan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung. Dalam sistem demokrasi konvensional, masyarakat cenderung memberikan suara hanya pada saat pemilu, kemudian menyerahkan seluruh keputusan kepada wakil rakyat. “Demokrasi cair muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap model perwakilan yang sering kali melahirkan elitisme,” ujar Rika.
Berbeda dengan sistem konvensional, demokrasi cair memungkinkan setiap individu untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan atau mendelegasikan suaranya kepada individu yang dianggap lebih ahli dalam isu tertentu. “Misalnya, saya awam dalam bidang energi, tapi saya percaya kepada seseorang yang memang mendalami energi. Maka saya bisa mendelegasikan suara saya kepadanya dalam isu itu saja,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa sistem ini sangat bergantung pada sistem reputasi dan evaluasi kualitatif yang dibangun di ruang digital. “Dalam platform digital seperti Liquid Feedback, setiap individu bisa menyampaikan pendapat, lalu akan ada mekanisme umpan balik, penilaian, dan koreksi berdasarkan argumentasi dan keahlian,” jelasnya.
Masih Konseptual, Tapi Semakin Nyata
Menurut Rika, praktik demokrasi cair belum sepenuhnya hadir dalam sistem politik Indonesia. “Kita masih berada pada fase demokrasi langsung dan perwakilan. Tapi diskursus tentang demokrasi cair penting untuk mulai dibicarakan, karena ini terkait masa depan partisipasi publik,” ungkapnya.
Ia mencontohkan beberapa negara yang sudah mencoba sistem demokrasi cair dalam praktik politik mereka. Di Jerman, Partai Bajak Laut (Pirate Party) menggunakan Liquid Feedback untuk menentukan arah kebijakan. Di Amerika Serikat, beberapa komunitas digital menggunakan prinsip serupa untuk pengambilan keputusan bersama.
Rika menekankan bahwa di Indonesia, model ini bisa menjadi solusi atas polarisasi politik dan dominasi oligarki. “Kita bisa membayangkan sistem demokrasi yang lebih cair di tingkat komunitas, organisasi sosial, atau lembaga pendidikan terlebih dahulu, sebelum naik ke tingkat institusional,” katanya.
Tantangan Etika dan Risiko Elitisme Digital
Namun, Rika tidak menutup mata pada tantangan yang dihadapi demokrasi cair, terutama dalam hal etika dan potensi manipulasi. “Kalau tidak ada sistem evaluasi yang tepat, demokrasi cair bisa melahirkan elitisme baru: mereka yang menguasai narasi di ruang digital tapi tidak punya kredibilitas substansi,” jelasnya.
Dalam konteks ini, Rika mengangkat konsep etika diskursus dari filsuf Jürgen Habermas sebagai prinsip penting. Etika diskursus menekankan pada komunikasi yang terbuka, rasional, dan bebas dari dominasi. “Habermas percaya bahwa norma-norma sosial harus diuji lewat diskursus, dan keputusan hanya sah jika mendapat persetujuan dari semua yang terkena dampak,” urainya.
Ia menyayangkan bahwa ruang digital Indonesia justru sering dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi oleh bot atau buzzer. Padahal, demokrasi cair membutuhkan budaya komunikasi yang etis dan berlandaskan nalar publik. “Ini PR besar kita. Demokrasi cair harus ditopang oleh literasi digital, kedewasaan berpikir, dan partisipasi etis,” tegas Rika.
Menuju Kebijakan yang Lebih Adil dan Adaptif
Sebagai penutup, Rika menggarisbawahi bahwa demokrasi cair bukan sekadar konsep teknologi atau inovasi politik. “Ia adalah tawaran kebudayaan, sebuah cara baru memandang relasi kuasa, pengetahuan, dan tanggung jawab bersama dalam masyarakat,” katanya.
Dengan menghadirkan model partisipasi berbasis keahlian, demokrasi cair berpotensi melahirkan kebijakan publik yang lebih adil, kontekstual, dan responsif terhadap dinamika masyarakat. Namun semua itu, menurut Rika, hanya mungkin terjadi jika ada komitmen bersama untuk menciptakan ekosistem diskursus yang sehat di era digital.
Talkshow ini menjadi bagian dari upaya IKAD dalam membuka ruang refleksi kritis atas masa depan demokrasi Indonesia. Mengangkat tema-tema filosofis yang aktual dan relevan, acara ini diharapkan menjadi sumbangsih pemikiran yang memperkuat kesadaran publik terhadap hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara digital.