
Jakarta — Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus (PRAKSIS) kembali menggelar Forum PRAKSIS Seri ke-8, kali ini mengangkat tema “Dari Reformasi ke Rekonsolidasi Militer: Apakah Kita Sedang Mundur?”. Diskusi yang berlangsung di Kolese Kanisius Jakarta, pada Jumat (25/04/2025) ini menghadirkan Nicky Fahrizal, peneliti Hukum dan Keamanan dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebagai narasumber utama.
Dalam pemaparannya, Nicky membedakan secara tegas antara dua konsep yang kerap tumpang tindih, yakni militerisasi dan militerisme. Ia menjelaskan, militerisasi merupakan ideologi yang mengagung-agungkan peran militer dan kekuatan bersenjata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, militerisme merujuk pada proses institusional atau kebijakan nyata yang bertujuan memperluas peran militer ke dalam ruang-ruang sipil.
Militerisasi, kata Nicky, adalah soal keyakinan atau nilai yang bersifat ideologis. Sebaliknya, militerisme adalah praktik nyata yang sering kali bersifat struktural. Militerisasi bertujuan menempatkan militer sebagai simbol kekuatan utama dalam kehidupan bernegara, sedangkan militerisme berorientasi pada efisiensi, kontrol keamanan, serta integrasi fungsi militer ke dalam urusan sipil.
Lebih jauh, ia menguraikan perbedaan aktor di balik kedua proses tersebut. Militerisasi, menurutnya, biasanya didorong oleh elite politik, kelompok masyarakat yang pro-militer, dan media yang berpihak pada militer. Sementara itu, aktor utama dalam militerisme adalah pemerintah, personel militer, dan para penyusun kebijakan negara.
Perbedaan keduanya juga tampak dari dampaknya. Militerisasi mendorong pemusatan kekuasaan di tangan militer dan membenarkan tindakan represi atas nama stabilitas nasional. Sementara itu, militerisme berujung pada kaburnya batas antara ranah sipil dan militer, sekaligus melemahkan prinsip supremasi sipil di dalam negara demokrasi.
Nicky juga mengaitkan fenomena ini dengan pemikiran Shang Yang (2021), yang memandang negara sebagai sebuah proyek rasional. Dalam pandangan ini, negara yang kuat adalah hasil rekayasa historis, bukan sekadar warisan turun-temurun yang diterima begitu saja. Pandangan seperti ini, lanjut Nicky, membuka jalan bagi lahirnya otoritarianisme halus, yang membangun struktur kekuasaan bersifat hierarkis, terpusat, dan otoritatif.
Dalam situasi semacam itu, partisipasi publik sering kali dikorbankan, hak-hak sipil tergeser ke pinggiran, dan stabilitas serta efisiensi diutamakan tanpa adanya mekanisme akuntabilitas yang memadai. Akibatnya, terjadi kecenderungan pembalikan dalam konfigurasi kekuasaan, di mana kekuatan sipil melemah, sementara supremasi militer semakin menguat.
Bila tren ini dibiarkan, lanjutnya, militer akan semakin mudah mengklaim peran besar dalam urusan-urusan sipil, dengan alasan menjaga kepentingan nasional atau memenuhi kebutuhan strategis negara. Dengan demikian, ruang sipil semakin tergerus oleh logika dan mekanisme militer.
Dalam forum ini, Nicky juga mencermati adanya tren struktural militerisasi yang makin menguat di Indonesia belakangan ini. Ia menunjuk pada kecenderungan normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan publik, di mana militerisasi tidak lagi dianggap sebagai anomali, melainkan mulai diposisikan sebagai bagian tak terpisahkan dari tata kelola negara.
Gejala ini, menurutnya, tampak jelas melalui peningkatan keterlibatan personel militer dalam fungsi-fungsi non-pertahanan. Salah satu contohnya adalah pelibatan militer dalam program pembinaan teritorial yang cakupannya meluas hingga ke wilayah-wilayah sipil, di luar kebutuhan pertahanan nasional semata.
Nicky menilai tren tersebut berbahaya bagi masa depan demokrasi. Ia memperingatkan bahwa normalisasi peran militer dalam ruang sipil berpotensi mendorong normalisasi kedaruratan. Dalam situasi seperti itu, penggunaan kekuatan militer untuk memperluas kewenangan eksekutif menjadi lebih mudah dilakukan tanpa disertai mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Jika dibiarkan, lanjut Nicky, keadaan ini akan berujung pada tindakan-tindakan ekstra-yuridis, mengaburkan norma hukum dan politik, serta melemahkan prinsip-prinsip negara hukum demokratis yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan bernegara.
Menghadapi potensi kemunduran ini, Nicky mengajak masyarakat sipil untuk lebih aktif terlibat dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Menurutnya, pengawasan publik terhadap ekspansi kekuasaan politik para penyelenggara negara, menjaga supremasi sipil, serta mencegah konsentrasi kekuasaan melalui jalur hukum, menjadi langkah penting untuk memastikan demokrasi tetap tegak di Indonesia.