
Jakarta – Forum Praksis seri ke-7 yang diselenggarakan Divisi Riset Praksis menggelar diskusi mendalam mengenai akumulasi primitif, krisis reproduksi sosial, dan daya transformasional agensi perempuan. Bertempat di Kolese Kanisius, Jakarta, Jumat (14/03/2025), acara ini menghadirkan Ruth Indiah Rahayu, peneliti di Research Center for Crisis and Alternative Development Strategies (INKRISPENA) sekaligus Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) sebagai pembicara utama.
Dalam diskusi ini, Ruth mengajak peserta untuk melihat bagaimana akumulasi primitif—proses ekspropriasi dan privatisasi sumber daya publik oleh kapitalisme—masih terjadi dalam bentuk baru, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan sejak 1970-an. Proses ini tidak hanya mengancam keberlanjutan komunitas agraris, tetapi juga mempersempit ruang sosial perempuan yang selama ini menjadi penjaga sistem reproduksi sosial.
Dalam pemaparannya, Ruth menjelaskan bahwa akumulasi primitif adalah bagian dari mekanisme kapitalisme yang terus diperbarui. Di Indonesia, proses ini dilakukan melalui pemberian konsesi hutan kepada perusahaan besar, baik dalam sektor perkebunan maupun pertambangan.
“Pemerintah mengeluarkan konsesi kepada perusahaan untuk mengindustrialisasi hutan, mengubahnya menjadi perkebunan skala besar dan tambang batu bara. Ini adalah bentuk akumulasi awal yang menghancurkan cara hidup subsisten masyarakat agraris,” ujarnya.
Di Sumatera dan Kalimantan, komunitas yang sebelumnya mengandalkan hutan untuk kehidupan mereka kini kehilangan akses terhadap tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Selain itu, ruang sosial perempuan juga semakin dipersempit. Jika sebelumnya mereka memiliki peran penting dalam mengelola sumber daya dan menjaga ketahanan pangan keluarga, kini mereka semakin bergantung pada sistem ekonomi berbasis pasar.
Proses ini, menurut Ruth, bukan hanya perampasan fisik, tetapi juga penghancuran sistem nilai dan pola hidup komunitas. Dengan menghilangkan sistem ekonomi berbasis subsistensi, kapitalisme memaksa masyarakat untuk masuk ke dalam mekanisme ekonomi upahan yang eksploitatif.
“Ketika komunitas kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya, mereka tidak hanya kehilangan sumber pangan, tetapi juga sistem sosial yang selama ini menopang mereka. Perempuan, yang selama ini berperan dalam reproduksi sosial, akhirnya terdorong ke dalam ekonomi berbasis utang dan kerja upahan yang tidak stabil,” jelasnya.

Reproduksi Sosial dan Dampaknya pada Perempuan
Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama dalam diskusi ini adalah bagaimana penghancuran sistem subsistensi berdampak pada kerja-kerja reproduksi sosial perempuan.
Ruth mengkritik pandangan yang menganggap bahwa nilai lebih kapitalisme hanya berasal dari kerja produksi di pabrik atau perkebunan. Menurutnya, reproduksi sosial—yang mencakup pengasuhan, perawatan, hingga produksi budaya—juga merupakan bagian dari kapitalisme, meskipun sering kali tidak dianggap sebagai kerja produktif.
“Perdebatan saya di kalangan Marxis laki-laki adalah bahwa mereka hanya menekankan perampasan nilai lebih untuk akumulasi kapital hanya di ranah produksi, dan bukan di ranah reproduksi sosial. Saya mengatakan bahwa pencurian nilai lebih juga terjadi di ranah reproduksi sosial dimana perempuan secara tradisional diposisikan. Sebagai penjelajahan teori dan praktik, saya kemudian tertarik untuk menekuni studi reproduksi sosial, bahkan disertasi saya pun tentang ini,” katanya.
Sebagai contoh, Ruth mengangkat kasus komunitas agraris di desa-desa di Rejang Lebong, Bengkulu, yang mengalami perubahan drastis akibat peralihan dari pertanian subsisten ke pertanian komoditas.
“Dulu mereka makan dari hasil bumi sendiri, sekarang semuanya bergantung pada pasar. Pendapatan naik, tapi yang terjadi bukan kesejahteraan, melainkan fenomena obesitas akibat konsumsi makanan instan yang semakin meningkat,” jelasnya.
Model Ekonomi Alternatif: Commoning dan Ketahanan Komunitas
Meski tekanan kapitalisme semakin kuat, beberapa komunitas masih bertahan dengan sistem commoning, yakni praktik berbasis kepemilikan kolektif dalam mengelola sumber daya.
Ruth mencontohkan komunitas Kasepuhan Ciptagelar di Banten Kidul, yang berhasil mengembangkan sistem energi mikrohidro 118.000 watt untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka secara mandiri. Bahkan, komunitas ini mendirikan stasiun TV sendiri yang hanya menayangkan konten berbasis budaya lokal, sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni media komersial.
“Di Ciptagelar, mereka menolak TV komersial karena dianggap merusak pendidikan komunitas. Mereka memilih membuat TV sendiri yang isinya tentang kehidupan mereka, bukan iklan atau hiburan yang tidak relevan,” ujar Ruth.
Dalam hal ketahanan pangan, komunitas ini juga memiliki lumbung padi yang mampu bertahan hingga 90 tahun, serta menyimpan 164 varietas benih untuk menjaga keberlanjutan pertanian mereka.
Selain itu, ia juga menyoroti gerakan agraria yang dipimpin oleh perempuan, seperti Supriyanti di Desa Bandung Jaya, Bengkulu, yang berhasil memimpin perjuangan komunitasnya untuk merebut kembali tanah mereka melalui skema perhutanan sosial.
“Gerakan ini bukan hanya tentang tanah, tetapi juga tentang membangun kembali ruang sosial perempuan. Supriyanti tidak hanya merebut kembali tanah, tetapi juga mengorganisir perempuan untuk menghidupkan kembali praktik ekonomi berbasis solidaritas,” jelasnya.
Menghidupkan Solidaritas dan Perlawanan Kolektif
Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang refleksi akademik, tetapi juga ajang bagi komunitas dan aktivis untuk merumuskan strategi perlawanan terhadap penghancuran sistem subsistensi.
Para peserta yang terdiri dari akademisi, mahasiswa, serta perwakilan komunitas agraris mengajukan berbagai pertanyaan kritis, mulai dari bagaimana mempertahankan hak atas tanah hingga bagaimana membangun solidaritas lintas sektor.
Di akhir diskusi, Ruth menegaskan bahwa perlawanan terhadap akumulasi primitif bukan hanya tugas akademisi atau aktivis, tetapi membutuhkan gerakan kolektif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
“Kita perlu merebut kembali tata kelola sumber daya yang lebih adil, memperkuat ruang sosial perempuan, dan mengembangkan sistem ekonomi berbasis commoning. Ini bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang membangun kembali dunia yang lebih adil bagi komunitas agraris dan perempuan,” pungkasnya.
Forum ini menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar korban eksploitasi kapitalisme, tetapi juga aktor utama dalam transformasi sosial. Diskusi ini diharapkan menjadi pemantik bagi gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidup yang lebih berkeadilan.