Jakarta – Kondisi ekonomi Indonesia dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran mengalami kemunduran. Demikian hasil survei para pakar ekonomi semester I 2025 yang dirilis oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyebutkan.
Survei yang melibatkan 42 ahli ekonomi dari berbagai latar belakang ini mengungkapkan dari seluruh responden, 55 persen menyatakan ekonomi memburuk dalam tiga bulan terakhir, dengan tujuh di antaranya menganggap situasi jauh lebih buruk. Hanya satu responden yang melihat adanya perbaikan.
Ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi juga cenderung pesimistis. Sebanyak 23 dari 42 ahli memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah di periode mendatang, sementara hanya enam orang yang optimistis bahwa ekonomi akan tumbuh lebih baik. Skor rata-rata ekspektasi sebesar -0,36 dengan tingkat kepercayaan 7,36 mencerminkan ketidakpastian terhadap prospek ekonomi Indonesia. Dalam aspek inflasi, sebagian besar responden menilai tekanan harga masih stagnan, namun 20 orang memperkirakan inflasi akan meningkat dalam periode mendatang. Hasil ini menunjukkan bahwa stabilitas harga masih menjadi perhatian utama dalam dinamika ekonomi saat ini.
Pasar tenaga kerja juga menjadi salah satu sorotan utama dalam survei ini. Sebanyak 19 responden menilai bahwa kondisi pasar tenaga kerja saat ini memburuk, dan sembilan lainnya menyebut situasi semakin sulit. Angka ini semakin mengkhawatirkan ketika mayoritas responden juga memperkirakan bahwa kondisi pasar tenaga kerja di masa depan tidak akan membaik. Situasi ini diperburuk dengan pandangan mayoritas ahli ekonomi yang menilai lingkungan bisnis semakin tak bersahabat. Dari 42 responden, hanya tiga orang yang melihat adanya perbaikan, sementara 17 lainnya menilai kondisi usaha memburuk.
Dalam hal kebijakan pemerintah, mayoritas responden menganggap kebijakan fiskal yang ada tidak efektif dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan. Sebanyak 88 persen responden menilai kebijakan fiskal saat ini tidak efektif, dengan skor rata-rata -1,05 dan tingkat kepercayaan 7,83. Sementara itu, kebijakan moneter mendapat respons yang lebih beragam dengan skor rata-rata netral (0,00) dan tingkat kepercayaan 7,14, mencerminkan ketidakpastian dalam efektivitas kebijakan tersebut.
Di bidang sosial, mayoritas ahli ekonomi menilai inklusivitas di Indonesia masih jauh dari harapan, dengan skor rata-rata -0,62 dan tingkat kepercayaan 8,00. Ketimpangan ekonomi dan sosial pun dinilai semakin melebar dalam tiga bulan terakhir. Dalam aspek politik, stabilitas nasional juga dipandang mengalami kemunduran. Sebanyak 28 dari 42 responden menilai stabilitas politik semakin memburuk, dengan skor rata-rata -0,88 dan tingkat kepercayaan tinggi sebesar 8,10. Selain itu, mayoritas responden menilai tingkat korupsi di Indonesia stagnan atau semakin memburuk, dengan skor rata-rata -0,88 dan tingkat kepercayaan 8,02.
Dalam evaluasi terhadap 100 hari pertama pemerintahan baru, mayoritas responden merasa kecewa. Sebanyak 36 dari 42 responden menilai kebijakan ekonomi pemerintah tidak efektif, dengan skor rata-rata -1,17 dan tingkat kepercayaan 8,31. Dalam aspek inklusivitas dan pengurangan ketimpangan, tidak ada satu pun responden yang menilai bahwa upaya pemerintah berefek efektif. Bahkan, reformasi institusional dianggap mengalami kemunduran dengan skor rata-rata -1,36, mencerminkan pesimisme yang tinggi terhadap perubahan struktural di negara ini.
Namun, di tengah pesimisme yang meluas, beberapa kebijakan pemerintah dinilai masih memiliki dampak positif. Program diskon tarif listrik, penghapusan utang macet UMKM, serta kenaikan upah minimum menjadi beberapa kebijakan yang dianggap berdampak baik oleh para ahli ekonomi. Meski demikian, sebanyak 23,8 persen responden tetap meyakini bahwa tidak ada satu pun program pemerintah yang benar-benar memberikan efek positif yang signifikan terhadap perekonomian.
Survei ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Dengan kondisi ekonomi yang memburuk, kebijakan yang dianggap kurang efektif, serta meningkatnya ketimpangan sosial dan politik, pemerintah memiliki tugas berat untuk mengembalikan kepercayaan publik. Apakah arah kebijakan ke depan akan membawa perbaikan atau justru semakin memperburuk keadaan masih menjadi pertanyaan yang menunggu jawaban.
BACA SURVEY LPEM FEB UIĀ DI SINI