Home Berita Alumni Antara Pasar Bebas dan Regulasi Ekonomi Indonesia

Antara Pasar Bebas dan Regulasi Ekonomi Indonesia

247
0
Yustinus Prastowo dalam diskusi Philosophy Underground : individu dan Pasar Bebas mengupas bagaimana pemikiran Mazhab Austria berpengaruh dalam sejarah ekonomi serta relevansinya terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini, Utan Kayu, Jumat (8/3/2025). Foto : Screenshot Youtube.

Jakarta – Diskusi Philosophy Underground 2025 kembali menghadirkan pemikiran kritis dalam kajian filsafat ekonomi. Kali ini, dalam sesi keempat, acara yang diselenggarakan oleh Center for Research on Ethics, Economics, and Democracy (CREED) bersama komunitas Utan Kayu membahas pemikiran Mazhab Austria dengan tema “Individu dan Pasar Bebas”, Jumat (8/03/2025). Yustinus Prastowo menjadi pemateri utama dalam diskusi mengupas bagaimana pemikiran Mazhab Austria berpengaruh dalam sejarah ekonomi serta relevansinya terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Latar Belakang Mazhab Austria

Prastowo membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa Mazhab Austria lahir pada tahun 1870-an dalam konteks Revolusi Marginalis, yang mengubah paradigma nilai ekonomi dari objektivitas ke subjektivitas. Tokoh utama mazhab ini, seperti Carl Menger, Eugen von Böhm-Bawerk, Ludwig von Mises, dan Friedrich Hayek, menekankan bahwa nilai suatu barang tidak ditentukan oleh biaya produksinya, tetapi oleh persepsi individu sebagai konsumen.

Ia juga menyoroti bahwa Mazhab Austria memiliki hubungan erat dengan sejarah perkembangan kapitalisme dan kritik terhadap sosialisme. “Mazhab ini berangkat dari keyakinan bahwa ekonomi bukan sekadar kalkulasi matematis, tetapi studi tentang tindakan manusia (human action),” ujar Prastowo, merujuk pada pemikiran Mises dalam bukunya Human Action.

Pasar Bebas dan Kritik terhadap Intervensi Negara

Dalam pemaparannya, Prastowo menjelaskan bahwa Mazhab Austria menolak intervensi negara yang berlebihan dalam ekonomi. Ia menyoroti bahwa Hayek, salah satu pemikir utama Mazhab Austria, mengkritik peran negara dalam ekonomi terpusat seperti di Uni Soviet, yang gagal menangkap dinamika pasar secara akurat. “Uni Soviet memang tidak terdampak Depresi Besar, tetapi ekonomi mereka stagnan karena perencanaan terpusat tidak bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang beragam,” katanya.

Salah satu teori Hayek yang dibahas dalam diskusi ini adalah business cycle theory, yang menjelaskan bagaimana intervensi negara melalui kebijakan moneter dapat menciptakan siklus boom and bust. “Jika Bank Sentral menurunkan suku bunga terlalu rendah untuk merangsang ekonomi, pada akhirnya akan muncul inflasi yang sulit dikendalikan,” jelas Prastowo.

Relevansi Mazhab Austria terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia

Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta menanyakan bagaimana pemikiran Mazhab Austria dapat diterapkan dalam kebijakan ekonomi Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan regulasi digital dan intervensi negara terhadap pasar tenaga kerja.

Salah satu peserta, Prita, mengangkat fenomena ojek online yang regulasinya sering kali tidak sejalan dengan dinamika pasar. Prastowo menanggapi dengan menekankan bahwa regulasi memang diperlukan, tetapi harus bersifat adaptif. “Pemerintah harus berperan sebagai fasilitator, bukan pengendali utama. Jika regulasi terlalu ketat, kita bisa kehilangan peluang inovasi,” jelasnya.

Pertanyaan lainnya datang dari Hari, yang menyoroti kemungkinan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam mengelola pasar bebas. Prastowo menyatakan bahwa meskipun teknologi dapat membantu meningkatkan efisiensi pasar, tetap ada batasan yang harus diperhatikan. “AI bisa membantu memprediksi pola permintaan dan penawaran, tetapi keputusan ekonomi tetap harus mempertimbangkan aspek manusiawi dan sosial,” katanya.

Daniel, peserta lain, mempertanyakan bagaimana membangun budaya ekonomi yang rasional di tengah masyarakat yang masih dipengaruhi oleh sistem feodal dan kebijakan ekonomi yang sering kali dipolitisasi. Prastowo menjelaskan bahwa edukasi ekonomi sangat penting untuk mendorong masyarakat menjadi konsumen dan pelaku ekonomi yang lebih rasional. “Jika kita ingin pasar yang sehat, maka kita harus memastikan bahwa individu memiliki akses terhadap informasi yang transparan,” ujarnya.

Kritik terhadap Sentralisasi dan Implikasi bagi Indonesia

Selain membahas aspek pasar bebas, diskusi juga menyoroti bahaya ekonomi yang terlalu tersentralisasi. Prastowo mencontohkan bahwa di Indonesia saat ini, kebijakan fiskal yang terlalu dikendalikan dari pusat dapat menghambat inisiatif di tingkat daerah. “Jika semua keputusan ekonomi harus menunggu persetujuan dari pusat, maka kita kehilangan fleksibilitas untuk merespons kebutuhan lokal dengan cepat,” katanya.

Terkait dengan isu korupsi yang diajukan oleh seorang peserta bernama Negara, Prastowo menjelaskan bahwa korupsi yang tinggi memang bisa menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, ia juga menyebut bahwa ada negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi yang tetap mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan. “Kita bisa belajar dari negara-negara seperti Ethiopia dan Laos, yang meskipun tingkat korupsinya tinggi, tetap mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8%,” jelasnya.

Namun, ia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan tata kelola yang baik dapat menciptakan ketimpangan sosial yang lebih besar. “Kuncinya adalah memastikan bahwa pasar tetap kompetitif dan transparan, serta bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir pihak,” tegasnya.

Menuju Ekonomi yang Lebih Fleksibel dan Adaptif

Diskusi ditutup dengan pernyataan Prastowo mengenai pentingnya keseimbangan antara pasar bebas dan regulasi yang tepat. “Mazhab Austria menawarkan wawasan yang berharga dalam memahami bagaimana ekonomi seharusnya bekerja. Namun, kita juga harus memahami bahwa setiap kebijakan ekonomi harus disesuaikan dengan konteks sosial dan politik masing-masing negara,” tutupnya.

Dengan berbagai perspektif yang muncul dalam diskusi ini, tampak jelas bahwa pemikiran Mazhab Austria tetap relevan dalam memahami tantangan ekonomi masa kini. Apakah Indonesia akan lebih condong ke pasar bebas atau tetap mempertahankan intervensi negara, akan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan ekonomi dirancang ke depan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here