Home Berita Alumni Manusia dan Krisis Ekologi: Filsafat sebagai Solusi

Manusia dan Krisis Ekologi: Filsafat sebagai Solusi

74
0
Dalam program Philosophy Now yang disiarkan melalui Radio Heartline 100,6 FM, filsuf dan dosen Universitas Pelita Harapan (UPH), Alex Aur, menyoroti peran filsafat dalam memahami serta mencari solusi atas permasalahan ekologi. Foto : Abdi

Jakarta – Krisis lingkungan hidup semakin nyata di tengah perubahan iklim dan eksploitasi alam yang tak terkendali. Dalam program Philosophy Now yang disiarkan melalui Radio Heartline 100,6 FM, pada Senin (20/01/2025) dosen Universitas Pelita Harapan (UPH), Alex Aur, menyoroti peran filsafat dalam memahami serta mencari solusi atas permasalahan ekologi.

Menurut Alex Aur, perubahan ekologi yang terjadi saat ini tidak terlepas dari cara manusia memandang alam. Dalam sejarah filsafat, terjadi pergeseran paradigma dari kosmosentris (alam sebagai pusat), ke teosentris (Tuhan sebagai pusat), hingga akhirnya ke antroposentrisme (manusia sebagai pusat).

“Pada era modern, manusia menempatkan dirinya sebagai pusat segala sesuatu. Alam dipandang sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi kepentingan manusia. Hal ini berkontribusi pada krisis ekologi yang kita hadapi saat ini,” ujar Alex.

Dalam perspektif antroposentrisme, manusia merasa memiliki kuasa penuh atas alam, yang kemudian didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alam tidak lagi dipandang sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik, melainkan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan tanpa batas.

Untuk mengatasi krisis ini, lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini mengusulkan pendekatan fenomenologi tubuh yang dikembangkan oleh filsuf Prancis, Maurice Merleau-Ponty. Fenomenologi tubuh menekankan pentingnya pengalaman langsung manusia dalam berinteraksi dengan alam melalui tubuhnya.

“Kita harus melatih sensibilitas tubuh kita untuk lebih peka terhadap lingkungan. Bau tanah saat hujan, hembusan angin di kulit, atau suara air terjun adalah sinyal dari alam yang dapat membangun kesadaran kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekologi,” jelasnya.

Menurutnya, manusia perlu mendengarkan alam bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan tubuh. Dengan cara ini, relasi antara manusia dan alam menjadi lebih harmonis dan tidak sekadar berdasarkan eksploitasi.

Membangun Kesadaran Ekologis

Alex Aur juga menekankan pentingnya perubahan cara pandang terhadap alam. Ia mengajak masyarakat untuk mengadopsi konsep ekologi integral seperti yang dikembangkan dalam ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus, di mana manusia dan alam saling terhubung dalam sistem yang berkelanjutan.

“Alam bukan sekadar objek yang bisa dieksploitasi. Jika kita terus merusaknya, kita sebenarnya sedang menghancurkan sumber kehidupan kita sendiri,” ujarnya.

Sebagai langkah awal, ia menyarankan praktik sederhana seperti memilah sampah, mengurangi konsumsi berlebihan, serta menghargai alam dengan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Pendekatan ini tidak hanya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam kebijakan publik dan pendidikan.

Menutup diskusi, Alex Aur menekankan pentingnya epoche, yaitu menahan diri dari eksploitasi yang berlebihan dan memberi ruang bagi alam untuk menampakkan dirinya. Dengan begitu, manusia dapat membangun hubungan yang lebih etis dan berkelanjutan dengan lingkungan.

“Kita perlu melatih diri untuk mendengarkan alam dan membiarkan tubuh kita merasakan dampaknya. Jika alam rusak, kita juga akan rusak,”ujarnya mengakhiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here