Home Berita Alumni Fenomena Plagiarisme di Dunia Akademik: Antara Etika dan Ambisi Gelar

Fenomena Plagiarisme di Dunia Akademik: Antara Etika dan Ambisi Gelar

254
0
Hendar Putranto (kiri) bersama Jose Marwoto (kanan) dalam talkshow Philosophy Now di Radio Heartline Network, Senin (17/02/2025). Foto : Abdi

Jakarta – Maraknya kasus plagiarisme di kalangan akademisi dan penyalahgunaan jurnal predator menjadi keprihatinan di dunia pendidikan tinggi. Fenomena ini mencerminkan krisis etika komunikasi dalam produksi pengetahuan, di mana ambisi mengejar jabatan akademik kerap mengorbankan nilai kejujuran.

Dalam program Philosophy Now yang disiarkan oleh Heartline Radio bekerja sama dengan Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara, akademisi dan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Hendar Putranto mengungkapkan bahwa praktik-praktik tidak etis seperti plagiarisme dan penggunaan jasa joki dalam penulisan karya ilmiah semakin marak di kalangan akademisi.

Menurutnya, gelar akademik, terutama profesor, kini lebih banyak dikejar demi tunjangan dan status sosial, ketimbang didasari niat untuk benar-benar berkontribusi dalam dunia keilmuan. “Banyak akademisi yang memanfaatkan segala cara untuk mendapatkan jabatan profesor, termasuk mencontek, menggunakan jasa joki, dan menerbitkan karya di jurnal predator. Yang penting adalah mendapat kredit poin sebanyak-banyaknya,” ujar Hendar dalam perbincangan dengan host, Jose Marwoto di Radio Heartline, Senin (17/02/2025).

Jurnal Abal-abal dan Bisnis Publikasi Akademik

Salah satu isu besar yang dibahas dalam diskusi ini adalah jurnal predator, yakni jurnal yang tidak memiliki standar ilmiah yang ketat dan hanya mengejar keuntungan finansial.

“Jurnal-jurnal ini menawarkan publikasi cepat dengan biaya tertentu, tanpa melalui proses peer review yang seharusnya menjadi standar dalam dunia akademik,” jelas pria yang sedang menjalani program doktoral di bidang ilmu komunikasi di Universitas Indonesia.

Jurnal predator ini sering menggunakan nama yang terdengar ilmiah dan berkelas, seperti International Journal of Economy and Social Science, atau Budapest Interdisciplinary Journal. Beberapa bahkan berbasis di Indonesia, termasuk di daerah Deli Serdang (BIRCU Publisher) dan Cirebon.

Tarif untuk menerbitkan artikel di jurnal predator ini bervariasi, mulai dari Rp1,5 juta hingga belasan juta rupiah. Sementara itu, jurnal internasional bereputasi baik pun sebenarnya juga mengenakan biaya publikasi (APC – Article Processing Charge), tetapi dengan standar akademik yang jauh lebih tinggi.

“Sebagai perbandingan, kalau saya mengajar satu kelas satu semester, saya hanya mendapat antara 0,5 hingga 1 poin kredit. Sementara jika saya berhasil menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi tinggi, saya bisa mendapatkan hingga 40 poin kredit,” ungkap Hendar.

Kesenjangan sistem kredit ini mendorong banyak akademisi untuk mencari jalan pintas dengan menerbitkan artikel di jurnal predator demi mempercepat kenaikan pangkat. Kasus paling mencolok adalah seorang dekan di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta, yang dalam waktu tiga tahun setelah menyelesaikan gelar doktornya berhasil menjadi profesor dengan menerbitkan ratusan artikel di jurnal-jurnal yang meragukan.

“Normalnya, untuk mencapai gelar profesor butuh waktu lima hingga sepuluh tahun, tetapi karena ada celah dalam sistem, banyak akademisi yang bisa menempuh jalan cepat dengan cara yang tidak etis,” tambahnya.

Dampak AI dalam Dunia Akademik: Antara Inovasi dan Kemunduran

Selain isu plagiarisme dan jurnal predator, penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia akademik juga menjadi perhatian serius. AI generatif seperti ChatGPT semakin banyak digunakan oleh mahasiswa dan akademisi untuk membuat tulisan ilmiah.

Hendar menceritakan pengalamannya saat menghadapi mahasiswa yang presentasinya terdengar luar biasa canggih, tetapi ketika ditanya lebih lanjut, mereka tidak bisa menjelaskan isi materi yang mereka paparkan.

“Saya langsung bertanya, ‘Berapa persen dari presentasi ini yang dibuat dengan AI?’ Mereka hanya saling pandang, lalu akhirnya mengaku bahwa lebih dari 50 persen materinya dibuat oleh AI,” ujarnya.

Menurut Hendar, salah satu ciri tulisan berbasis AI adalah struktur kalimat yang tidak personal dan terlalu abstrak. “Misalnya, mereka akan menulis ‘mendesain kurikulum yang kolaboratif dan adaptif terhadap perkembangan zaman’, padahal mahasiswa semester 3 belum punya pengalaman mendesain kurikulum. Ini adalah red flag,” jelasnya.

AI sebenarnya bisa menjadi alat bantu yang bermanfaat, tetapi jika digunakan tanpa refleksi kritis, mahasiswa hanya akan menjadi ‘mesin penyalin’ yang tidak memahami isi tulisan mereka sendiri.

“Saya tidak menolak AI, saya sendiri menggunakannya, tetapi hanya sebagai asisten dalam menyusun gagasan, bukan sebagai pengganti proses berpikir,” kata Hendar.

Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa jurnal yang ia kelola mulai menemukan tulisan yang dibuat dengan AI. “Ada ciri khasnya. Tulisan-tulisan ini tidak punya subjek yang jelas, dan banyak menggunakan kalimat dengan pola yang terlalu umum,” ungkapnya.

Krisis Etika Akademik dan Solusi yang Ditawarkan

Menanggapi permasalahan ini, Hendar menekankan pentingnya membangun integritas akademik sejak dini, bukan hanya di perguruan tinggi, tetapi juga di lingkungan keluarga.

“Nilai kejujuran harus diajarkan sejak kecil. Jika seorang anak terbiasa dengan jalan pintas, maka ketika ia dewasa, ia akan cenderung mencari cara instan untuk mencapai kesuksesan, bahkan dengan mengorbankan etika,” jelasnya.

Ia mengutip kisah seorang narasumber dalam disertasinya yang gagal masuk akademi kepolisian karena tidak memiliki ‘orang dalam’. Ibunya lantas berkata kepadanya, “Yang penting kamu sudah jujur.” Kata-kata sederhana itu membentuk integritasnya hingga ia kemudian sukses dalam dunia akademik tanpa harus mencari jalan pintas.

Selain itu, Hendar juga menekankan pentingnya kembali ke refleksi filosofis dalam menghadapi tantangan zaman. Ia mengutip ajaran filsafat tentang Duc in Altum—sebuah prinsip yang berarti “bertolak ke tempat yang lebih dalam.”

“Dalam konteks akademik, ini berarti kita harus menggali lebih dalam, melakukan refleksi, dan tidak hanya sekadar mengejar gelar,” katanya.

Sebagai penutup, Hendar menyampaikan pantun reflektif:

“Ubur-ubur ikan lele,
Burung tekukur piaraan Sule,
Makan bubur tusuk sate,
Jangan takabur, ayo belajar Le!”

Diskusi ini menjadi pengingat bagi dunia akademik Indonesia untuk lebih memperhatikan etika dalam produksi pengetahuan. Dengan adanya transparansi dan upaya bersama, diharapkan integritas akademik dapat terjaga demi masa depan pendidikan yang lebih baik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here