Home Kajian Demokrasi Menunjukkan Tren yang Mengkhawatirkan

Demokrasi Menunjukkan Tren yang Mengkhawatirkan

52
0

Sudah sejak awal berdirinya Republik ini, sistem pemerintahan yang kita sepakati bersama adalah sistem pemerintahan demokrasi. Kita tinggalkan sistem pemerintahan kolonial. Kita tinggalkan pula sistem pemerintahan feodal yang pernah lama berlaku di Kepulauan Nusantara ini, khususnya pada masa pra-kolonial. Dalam kesepakatan atas sistem pemerintahan yang berasaskan demokrasi itu kita bertekad untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, di mana rakyat-lah yang memegang mandat dan kuasa tertinggi dalam penyelenggaraan negara.

Apa boleh buat, dalam perjalanannya prinsip-prinsip demokrasi yang kita sepakati bersama itu mengalami pasangsurut. Sistem demokrasi parlementer yang kita peluk pada dekade pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 sering diwarnai oleh jatuh-bangunnya pemerintahan. Sementara itu, demokrasi terpimpin yang pada pertengahan 1959 menggantikannya melahirkan pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang ternyata tidak selalu efektif dalam menyelesaikan berbagai tantangan sosial, politik, ekonomi yang ada.

Pada penghujung demokrasi terpimpin bahkan terjadi pembantaian massal oleh sesama anak bangsa. Pemerintahan baru yang lahir dari prahara politik yang dimulai pada pertengahan 1965 secara formal menggunakan sistem pemerintahan demokrasi, namun dalam kenyataannya kekuasaan politik berpusat di tangan sebuah sistem pemerintahan otoritarian yang mengabaikan hak-hak warga negara.

Angin segar sempat berhembus ketika pada tahun 1998 sistem pemerintahan otoritarian itu tumbang. Saat itu kita berharap bahwa demokrasi akan sepenuhnya kembali di negeri ini, di mana pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat akan terwujud. Harapan itu tidak sepenuhnya sia-sia. Sistem pemerintahan demokratis yang demikian memang sempat terwujud. Namun demikian, dalam perkembangannya kemudian
sejumlah tanda menunjukkan bahwa perwujudannya tidak penuh. Terdapat tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia mengalami gejala de-demokratisasi—dengan segala dampaknya.

Dalam rangka mengeksplorasi tanda-tanda kemunduran itulah PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) melakukan penelitian ini. Secara khusus, PRAKSIS ingin meneliti dinamika demokrasi pada periode 2014-2024, dua periode pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi yang sama. Dengan menggunakan banyak data sekunder, kami berusaha memetakan, menjelaskan, dan memaknai situasi politik dan ekonomi di Indonesia selama periode tersebut, khususnya dari sudut-pandang pelaksanaan demokrasi. Untuk itu, setelah mengeksplorasi data-data deskriptif terkait situasi politik da ekonomi yang ada, kami berupaya menunjukkan terjadinya pergeseran sosial, politik dan ekonomi yang terjadi dalam rentang-waktu satu dekade tersebut.

Kemudian, dalam terang Ajaran Sosial Gereja (Katolik), kami merefleksikan data dan analisis yang kami miliki dari perspektif etis-teologis. Dari situ kami lantas merekomendasikan sejumlah langkah bersama yang kiranya perlu kita ambil demi memajukan demokrasi yang memperjuangkan kebaikan bersama (common good). Hasilnya adalah sebuah laporan penelitian, yang ringkasan-nya sedang Anda simak ini. Tentu saja hasil temuan penelitian PRAKSIS bukanlah sebuah kata akhir. Justru sebaliknya: diharapkan bahwa apa yang kami temukan dan laporkan dalam penelitian ini akan menjadi awal dan pemantik bagi pencarian, penelitian dan diskursus-diskursus tentang demokrasi di Indonesia selanjutnya. Apapun bentuknya, diharapkan bahwa pencarian, penelitian dan diskursus itu nantinya akan semakin memperkaya dan mematangkan perjalanan demokrasi demi kebaikan bersama di negeri yang kita cintai bersama ini.

Ringkasan Laporan Riset bertajuk “Mencari Demokrasi yang Memajukan Kebaikan Bersama” ini merupakan buah dari upaya, sekali lagi, untuk memetakan, menjelaskan, dan memaknai situasi politik-ekonomi Indonesia selama dasawarsa 2014-2024. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia kini menghadapi tantangan serius yang mengancam integritas demokrasi, yang antara lain ditandai oleh melemahnya akuntabilitas pemerintah, meningkatnya dominasi oligarki, dan merosotnya ‘kekuatan’ kelas menengah.

Selama kurun waktu sepuluh tahun tersebut, indikator-indikator utama demokrasi menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Skor kebebasan sipil, misalnya, menurun signifikan dari 7,3 pada tahun 2014 menjadi hanya 5,3 pada 2023, mencerminkan semakin terbatasnya ruang untuk kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat.

Sementara itu, kebebasan pers, salah satu pilar penting demokrasi, juga mengalami kemunduran. Peringkat kebebasan pers Indonesia menurun dari posisi 132 pada 2014 dengan skor 61,85, ke peringkat 111 pada tahun 2024, dengan skor hanya 51,15. Penurunan tajam ini menandakan adanya kendala-kendala baru dalam kebebasan informasi, yang justru memerlukan keterbukaan dan akses informasi yang sehat untuk menjaga akuntabilitas pemerintah.

Di sisi ekonomi, kesenjangan yang semakin melebar juga memperlemah fondasi kelas menengah. Material Power Index—yang mengukur kekuatan ekonomi dari kelompok terkaya dibandingkan dengan rata-rata pendapatan masyarakat—mengalami lonjakan besar, dari 632,5 pada tahun 2017 menjadi 1062,2 pada 2022. Kenaikan indeks ini menunjukkan konsentrasi kekayaan yang semakin tinggi di tangan elite, yang meningkatkan risiko ketidakseimbangan ekonomi dan melemahnya demokrasi substansial.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya kebijakan-kebijakan yang memperlemah perlindungan terhadap hak-hak pekerja dan mempersulit akses kelas menengah untuk berpartisipasi secara aktif dalam ruang politik. Sebagai contoh, UU Cipta Kerja ─walaupun belum lama ini disinyalir akan ada secercah harapan dari terkabulnya gugatan beberapa pasal UU ini─ dinilai memberikan kelonggaran pada perusahaan besar untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara lebih mudah, yang berdampak langsung pada ke-(tidak)-stabilan ekonomi kelas menengah.

Laporan ini tidak hanya ingin mengidentifikasi berbagai problematika sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi bangsa ini, tetapi juga ingin menawarkan solusi konkret untuk mengatasinya. Rekomendasi yang kami sampaikan tidak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga kepada institusi keagamaan dan masyarakat sipil sebagai bagian dari upaya bersama untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.

Beberapa usulan strategis kami antara lain meliputi reformasi kebijakan pajak yang lebih adil dan penerapan kebijakan ekonomi yang inklusif, sehingga mampu menekan ketimpangan ekonomi yang kian meluas. Melalui kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial ini, kami berharap dapat memperkuat kelas menengah, yang berperan penting sebagai penyangga demokrasi dan kestabilan sosial.

Selain itu, kami ingin menekankan pentingnya perlindungan kebebasan sipil serta penguatan peran media sebagai pengawas independen. Media yang bebas dan bertanggung jawab merupakan instrumen esensial dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan mendorong keterbukaan informasi publik, yang pada akhirnya mendukung akuntabilitas dalam proses demokrasi.

Dalam analisis ini, kami juga melibatkan perspektif Ajaran Sosial Gereja sebagai landasan moral, dengan menekankan bahwa upaya memperkuat akuntabilitas dan keadilan sosial tidak hanya merupakan tanggung jawab ekonomi dan politik, tetapi juga merupakan panggilan etis dan moral bersama. Melalui perspektif ini, kami ingin mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam membangun tatanan sosial yang lebih berkeadilan, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan mewujudkan kesejahteraan bersama.

Kami berharap laporan ini dapat memantik diskusi lebih lanjut dan mendorong aksi nyata untuk memperkuat demokrasi Indonesia yang adil dan inklusif. Semoga laporan ini tidak sekadar menjadi bacaan, tetapi juga menjadi inspirasi perubahan bagi masa depan Indonesia, khususnya bagi kelas menengah yang merupakan benteng pertahanan demokrasi dan motor penggerak stabilitas ekonomi bangsa.

Terima kasih atas perhatian dan kerja sama dari semua pihak yang mendukung terwujudnya laporan ini. Semoga laporan ini dapat menjadi tonggak untuk langkah maju menuju demokrasi yang lebih substansial dan berkeadilan.

Salam demokrasi,
Baskara T. Wardaya, SJ
Direktur Riset PRAKSIS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here