Home Berita Alumni Peluncuran PRAKSIS Kuak Riset Terbaru tentang Demokrasi Indonesia

Peluncuran PRAKSIS Kuak Riset Terbaru tentang Demokrasi Indonesia

78
0
Provinsial Serikat Yesus Romo Benediktus Hari Juliawan SJ (berdiri) saat menyampaikan harapan atas lembaga Praksis, di Gedung Ignatius Lantai 9, Kolese Kanisius, Jakarta, Selasa (10/12/2024). Foto : Abdi Susanto

JAKARTA – Bertepatan dengan peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, Ordo Serikat Yesus meluncurkan Pusat Riset dan Advokasi bernama PRAKSIS di Gedung Ignatius Lantai 9, Kolese Kanisius, Jakarta, Selasa (10/12/2024) seusai perayaan ekaristi yang diadakan di Kapel Kanisius dengan Konselebran Utama Provinsial Serikat Yesus, Romo Benediktus Hari Juliawan SJ.

Peluncuran PRAKSIS dihadiri ratusan tamu, antara lain; para pengajar, dosen, peneliti, mahasiswa, anggota organisasi alumni, beberapa pengurus yayasan sosial, dan kolaborator Yayasan Praksis. Hadir juga dalam acara itu, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Profesor Al Makin.

Romo Beni, begitu Provinsial SJ ini biasa disapa menyebutkan, salah satu pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sejarah masa lalu adalah bahwa kehadiran Gereja dihargai justru bila membawa identitas yang jelas. Gereja mempunyai tradisi refleksi yang diterangi oleh prinsip-prinsip moral dalam Ajaran Sosial Gereja.

“Dalam refleksi tersebut Gereja menimbang peran dan tindakannya di tengah masyarakat dengan ancaman tribalisme dan cita-cita memajukan kebaikan bersama. Tradisi ini membentuk perspektif Katolik dalam melihat realitas masyarakat. Inilah harta kekayaan Gereja yang layak dibagikan,”ujar Beni.

Maka, dalam konteks seperti inilah, kata Beni, PRAKSIS didirikan dan melakukan penelitian. Menurut Beni, Gereja (Katolik) ikut serta dalam membentuk model demokrasi yang sekarang berkembang di Indonesia, menjadi lebih baik atau lebih buruk, maka Gereja ikut bertanggung jawab. “Semoga ini menjadi langkah awal bagi kita semua untuk mendialogkan kepentingan Gereja dan kepentingan bangsa Indonesia yang kita cintai bersama,”ujar Romo asal Ambarawa ini.

Sambil melihat masa lalu, Beni menyebutkan bahwa dalam sejarah Republik Indonesia, Gereja Katolik pernah tampil secara publik melalui Partai Katolik dan politisi-politisi di kabinet, membawa nama dan kepentingan Katolik.

Pada masa Orde Baru, kata Beni, identitas Katolik itu perlahan hilang dan menjelma dalam gerakan-gerakan sosial berciri developmentalis dan lobi-lobi elit di balik layar. Di masa ini yang berkembang adalah artikulasi kepentingan Katolik yang semakin sempit sementara kesejahteraan dan keadaban bersama disuarakan lewat narasi yang berciri nasionalis, seolah-olah Gereja tidak punya sumbangan yang khas.

Reformasi, kata Beni, membuka kembali gerbang politik identitas, namun sayangnya yang tumbuh adalah suara yang cenderung sektarian. Perkembangan ini mengkhawatirkan dan manifestasi Katolik di ruang publik mudah dituduh mengibarkan bendera politik identitas yang sama kerdilnya. Dalam suasana seperti itu Gereja memilih bergabung dengan gerakan kebhinekaan yang membela minoritas.

Bercermin dari pengalaman itu, kata Beni, Gereja Katolik Indonesia sebenarnya ikut membentuk dan dibentuk oleh dinamika politik ekonomi negeri ini. Meskipun terkesan malu-malu dan mencari teman, Gereja sebenarnya punya sumbangan. Sama halnya Gereja juga belajar dari interaksi dengan kekuatan-kekuatan sosial keagamaan lain di tengah masyarakat. “Gereja Katolik Indonesia tidak bisa sekadar menumpang; Gereja adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia,” ujar Beni.

Bergumul dengan Pengalaman Publik
Sementara itu, Direktur Karya (PRAKSIS) Romo Maswan Susinto SJ Menyebutkan, PRAKSIS mengawali debutnya dengan memaparkan hasil penelitian perdana, bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Hal ini dilakukan karena PRAKSIS merasakan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat dan bangsa Indonesia, serta bagian dari komunitas Gereja Katolik di Indonesia. “PRAKSIS belajar untuk ikut serta bergumul dengan pengalaman publik,” kata Romo yang biasa disapa Maswan ini.

Maswan menyebutkan, PRAKSIS memiliki visi menjadi pusat pengetahuan yang meningkatkan kontribusi Gereja dan warga Katolik demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, PRAKSIS melakukan penelitian, advokasi, dan pendidikan publik dalam bidang demokrasi, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan rekonsiliasi, seturut kaidah-kaidah keilmuan dan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja.

“Riset pertama ini menjadi penanda ikhtiar PRAKSIS untuk melanjutkan penjelajahan gagasan dan belarasa bersama dengan semua kolaborator yang menaruh perhatian mulia pada perkara hidup bersama di Indonesia. “Semoga – kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita – (Gaudium et Spes art. 1) menjadi pemantik pendar identitas PRAKSIS,”tegas Maswan.

Gejala Dedemokratisasi
Direktur Riset dan Advokasi PRAKSIS, Romo Baskara Tulus Wardaya SJ berharap, demokrasi akan sepenuhnya kembali di negeri ini, di mana pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat akan terwujud. Harapan itu, kata Baskara panggilan akrabnya, tidak sepenuhnya sia-sia.

Sistem pemerintahan demokratis yang demikian memang sempat terwujud. Namun, dalam perkembangannya sejumlah tanda menunjukkan bahwa perwujudannya tidak penuh. Terdapat tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia mengalami gejala de-demokratisasi dengan segala dampaknya.

Riset perdana PRAKSIS bertajuk “Mencari Demokrasi yang Memajukan Kebaikan Bersama”, kata Baskara merupakan buah dari upaya untuk memetakan, menjelaskan, dan memaknai situasi politik-ekonomi Indonesia selama kurun Waktu 2014-2024, khususnya perihal dedemokratisasi ini. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, kata Baskara, Indonesia menghadapi tantangan serius yang mengancam integritas demokrasi, yang antara lain ditandai dengan melemahnya akuntabilitas pemerintah, meningkatnya dominasi oligarki, dan merosotnya ‘kekuatan’ kelas menengah.

Selama kurun waktu sepuluh tahun itu, kata Baskara, indikator-indikator utama demokrasi menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Skor kebebasan sipil, misalnya, menurun signifikan dari 7,3 pada 2014 menjadi hanya 5,3 pada tahun 2023. Hal ini mencerminkan semakin terbatasnya ruang untuk kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat.

Sementara itu, kebebasan pers, salah satu pilar penting demokrasi, juga mengalami kemunduran. Peringkat kebebasan pers Indonesia menurun dari posisi 132 pada 2014 dengan skor 61,85, ke peringkat 111 pada tahun 2024, dengan skor hanya 51,15. Penurunan tajam ini menandakan kendala-kendala baru dalam kebebasan informasi, yang justru memerlukan keterbukaan dan akses informasi yang sehat untuk menjaga akuntabilitas pemerintah.

Dari segi ekonomi, kesenjangan yang semakin melebar juga memperlemah fondasi kelas menengah. Material Power Index (yang mengukur kekuatan ekonomi dari kelompok terkaya dibandingkan dengan rata-rata pendapatan masyarakat) mengalami lonjakan besar, dari 632,5 pada 2017 menjadi 1062,2 pada 2022. Kenaikan indeks ini menunjukkan konsentrasi kekayaan yang semakin tinggi di tangan elite, yang meningkatkan risiko ketidakseimbangan ekonomi dan melemahnya demokrasi substansial.

Kondisi ini, kata Baskara, semakin diperparah dengan kebijakan-kebijakan yang memperlemah perlindungan hak-hak pekerja dan mempersulit akses kelas menengah untuk berperan aktif dalam ruang politik. Ambil contoh misalnya UU Cipta Kerja. Meski belum lama ini disinyalir akan ada secercah harapan dengan terkabulnya gugatan beberapa pasal UU ini, namun tetap saja ini masih dinilai memberikan kelonggaran pada perusahaan besar untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan mudah. Yang pada akhirnya berdampak langsung pada ketidakstabilan ekonomi kelas menengah.

Direktur Public Engagement PRAKSIS, Romo Angga Indraswara, SJ saat memoderatori diskusi pemaparan hasil penelitian Praksis di Gedung Ignatius Lantai 9, Kolese Kanisius, Jakarta, Selasa (10/12/2024). Foto : Abdi Susanto

Rekomendasi
Laporan ini, kata Baskara tidak hanya ingin mengidentifikasi berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi bangsa ini, tetapi juga ingin menawarkan solusi nyata untuk mengatasinya. Rekomendasi yang disampaikan tidak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga kepada lembaga keagamaan dan masyarakat sipil sebagai bagian dari upaya bersama untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.

“Beberapa usulan strategis kami antara lain meliputi kebijakan pajak yang lebih adil dan penerapan kebijakan ekonomi yang inklusif, sehingga mampu menekan ketimpangan ekonomi yang kian meluas. Melalui kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial ini, kami berharap dapat memperkuat kelas menengah, yang berperan penting sebagai penyangga demokrasi dan kestabilan sosial,”ujar Baskara.

Selain itu, menurut Baskara, PRAKSIS ingin menekankan pentingnya perlindungan kebebasan sipil serta penguatan peran media sebagai pengawas independen. Media yang bebas dan bertanggung jawab merupakan instrumen esensial dalam mengawasi pemerintahan dan mendorong keterbukaan informasi publik, yang pada akhirnya mendukung akuntabilitas dalam proses demokrasi.

Dan yang membedakan pusat penelitian dengan yang lain, kata Baskara, PRAKSIS melibatkan perspektif Ajaran Sosial Gereja sebagai landasan moral, dengan tekanan bahwa upaya memperkuat akuntabilitas dan keadilan sosial tidak hanya merupakan tanggung jawab ekonomi dan politik, tetapi juga merupakan panggilan etis dan moral bersama.

“Melalui perspektif ini, kami ingin mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta dalam membangun tatanan sosial yang lebih berkeadilan, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Kami berharap laporan ini dapat memantik diskusi lebih lanjut dan mendorong aksi nyata untuk memperkuat demokrasi Indonesia yang adil dan inklusif. Semoga laporan ini tidak sekadar menjadi bacaan, tetapi juga menjadi inspirasi perubahan bagi masa depan Indonesia, khususnya bagi kelas menengah yang merupakan benteng pertahanan demokrasi dan motor penggerak stabilitas ekonomi bangsa,”tegas Baskara.