
Buku dan Filsafat
Buku merupakan benda yang tidak terpisahkan dari dunia Sastrapratedja. Tentu saja tidak hanya sekadar menjadi harta benda yang sedikit demi sedikit mengisi rak buku perpustakaan pribadinya. Namun, bundelan teks-teks tersebut menjadi medium untuk mengaktualisasikan gairah intelektualnya, yaitu penjelajahan di bidang filsafat.
Lalu apa filsafat? “Objek filsafat yang bisa apa saja, tidak pakai teori besar juga tidak apa-apa. Toh, di masa tua, Heidegger mengatakan, “Puncak filsafat itu ya puisi.” Kami baru memahami mengapa Sastrapratedja acapkali mengutip puisi atau lirik lagu, contoh dari Lady Gaga, yang meneriakkan krisis kemanusiaannya.
Selain itu, Sastrapratedja tahu bahwa mahasiswanya memiliki keterbatasan dana untuk membeli buku-buku berkualitas. Ia mengajari kami suatu cara mengakses khasanah buku berkualitas secara gratis, yaitu dengan menggunakan libgen –pustaka perlawanan terhadap korporasi penerbit bertaraf internasional.
Mengarungi Filsafat Bersama Murid-muridnya
Sering kali dalam mengajar, Sastrapratedja meminta murid-muridnya membaca paragraf demi paragraf sebuah buku. Setelahnya, kami diminta mengomentari paragraf terbaca, mengenai gagasan penulisnya yang memberi wawasan. Metode ini mungkin terkesan konvensional untuk perkuliahan yang saat ini didominasi oleh presentasi menggunakan poin-poin tetapi nilainya setara “emas.”
Sastrapratedja berpendapat: “Dialektika antara teks dan pemahaman subjektif pembaca adalah kegiatan bermakna eksistensial.” Pemaknaan itu tidak melulu dihasilkan lewat gerakan harmoni dari pancaindra menuju teks, melainkan melalui konflik interpretasi. Ia menegaskan bahwa gerakan untuk mencapai makna eksistensial sangat mungkin terjadi dalam bentuk “perdebatan-perdebatan.” Dengan demikian, konflik interpretasi membuka kemungkinan pandangan baru lewat kritisisme, termasuk kritik-diri. Metode polemis inilah yang diajarkannya untuk membaca, memahami, dan membuka diri terhadap pandangan yang berlainan.
Manusia Adalah Mahluk Etis
Sastrapratedja berpendapat bahwa tidak ada pengertian “pra-ada” atau asli tentang manusia. Karena manusia merupakan makhluk sejarah, maka menurutnya kemanusiaan terbentuk dan berubah dalam sejarah. Kita hanya bisa mengetahui hal-hal apa (anthropological constants) yang ada pada manusia, bukan kemanusiaan itu sendiri. Sebab, menurutnya, kemanusiaan adalah suatu peristiwa dan bukan data. Karena itu kita perlu menghindari pemaksaan konsep tertentu tentang kemanusiaan.
Pemaknaan manusia sebagai mahluk sejarah adalah ia bergerak menuju pencapaian etis yang ditandai oleh kesadaran akan pentingnya bertanggungjawab terhadap orang lain. Capaian etis ini menunjukkan makna diri manusia sebagai eksisten yang unik dalam merumuskan dirinya dan membedakan dengan mahluk lainnya.
Dalam merumuskan dirinya, manusia memerlukan bahasa. Artinya, mempelajari dan mendalami tentang apa itu manusia senantiasa bersentuhan dengan perkara bahasa. Sastrapratedja menyampaikan bahwa selain menjadi ungkapan kemanusiaan kita yang universal, bahasa juga menunjukkan eksistensi kita sebagai makhluk sosial.
Ungkapan sebagai mahluk sosial melalui bahasa meneguhkan bahwa manusia adalah mahluk berkesadaran sekaligus belum pernah selesai dalam merumuskan norma definitif mengenai kemanusiaannya. Oleh sebab itu, Sastrapratedja mendorong murid-muridnya untuk membuka diri terhadap perdebatan tentang manusia dan kemanusiaan hingga masa posmodern dewasa ini.
Maka menjadi penting bagi pendidik untuk membantu penjelajahan manusia atas kemanusiaannya melalui tiga jenis nilai, yakni nilai-nilai kreatif, nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai bersikap, yang menurut Sastrapratedja mempunyai relevansi untuk membantu murid dalam menemukan alasan mengapa ia belajar, apa artinya bagi masa depan atau hanya sekedar menyenangkan orang tua?.
Paradoks Manusia Sejarah
Sastrapratedja percaya bahwa diri manusia merupakan medan ambiguitas. Dalam diri tiap-tiap manusia, berpadu dinamis dimensi-dimensi yang berbeda dan bahkan bertentangan, yaitu kesetiaan dan pengkianatan, sikap taat dan pemberontakan, kesalehan dan tipu daya, kerendahan hati dan ketakacuhan, keberanian dan sikap pengecut, kebijaksanaan dan kekerasan, kecintaan dan kebencian, ketekunan dan sikap malas, dan seterusnya
Medan ambiguitas manusia dikupas Sastrapratedja dalam mata kuliah Antropologi Filosofis tentang pembentukan “aku” dalam berhubungan dengan dunia objektif yang membuahkan kesadaran. Rekonstruksi filosofis tentang subjektivitas itu berujung pada kesimpulan Husserl bahwa terdapat paradoks dalam subjektivitas, di satu pihak adalah “aku” yang mempunyai kehendak bebas dalam melakukan intensionalitas terhadap dunia, dan di lain pihak dunia sekaligus memperlakukan “aku” sebagai objek atau proyek, selain juga hanya dimaknai secara biologis.
Manusia diperlakukan sebagai proyek oleh para ilmuwan dan pengambil kebijaksanaan yang memimpin negara. Sastrapratedja menolak tren yang umum dalam ilmu ekonomi, contohnya, yang memisahkan kajian empiris dengan kajian normatif. Demi dapat mengklaim kajian itu bersifat saintifik, para ekonom acap kali menanggalkan muatan etis yang seharusnya menyertai konsep-konsep ekonomi yang mereka gunakan. Sebagai contoh, terlihat adanya pencopotan imperatif etis dalam sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam konsep ekonomi untuk menjawab masalah kemiskinan hanya sebagai masalah material belaka. Dengan demikian dimensi etis merupakan dimensi yang tidak terelakkan lantaran praktik sosial selalu melibatkan interaksi antarmanusia.
Sastrapratedja merujuk pada Husserl yang berpendapat bahwa krisis manusia dan kemanusiaan berasal dari pemisahan sains-teknologi dan kebijakan dari filsafat. Selain itu, ia mengingatkan perlunya menyeimbangkan hasrat kebebasan manusia secara individual melalui cara komunal, tapi sekaligus mengingatkan bahwa represi atas kebebasan ini menyimpan potensi “ledakan.”
Krisis Budaya Manusia Indonesia
Sastrapratedja menilai krisis manusia Indonesia disebabkan oleh pandangan ilmuwan yang memisahkan sains-teknologi dan kebijakan dengan filsafat dalam membangun identitas bangsa. Pembangunan identitas bangsa adalah upaya metafisik karena mempunyai relevansi dengan pembangunan kualitas manusia dan kemanusiaan dan bukan sekedar fisik. Ia meyakini Pancasila dapat menyelamatkan manusia Indonesia dari krisis sepanjang imperatif etis yang ada dalam Pancasila menjadi kesatuan dengan ilmu dan dan kebijakan.
Menurutnya, krisis manusia Indonesia, juga berasal dari cara manusia memahami agama. Dalam menghadapi tantangan sekularisme dan globalisasi nilai-nilai konsumerisme, agama malah dipraktikkan sebagai dogma. Dogma membatasi pertumbuhan individu menjadi manusia etis untuk bertanggungjawab kepada yang lain. Sastrapradja menekankan bahwa imperatif etis tidak seharusnya bersumber hanya dari ajaran agama. Ia mengajak kita untuk mengubah cara manusia memandang Allah.
Ia merujuk pada Jean-Luc Marion yang berpendapat bahwa manusia terjebak ke dalam ilusi yang idolatris mengenai Allah sebagai “Ada” (Being). Belajar dari sinetron “Tukang Bubur Pergi ke Mekah,” ia memberi contoh bagaimana manusia Indonesia memandang Allah sebagai subjek yang mereka cari sampai ke Mekah, Kita sebaiknya ke luar dari cangkang pandangan ini dengan cara melepaskan Allah sebagai subjek dan menuju sikap ikonis yang membuka diri di hadapan Allah. Sikap ikonis adalah membuka diri di hadapan Allah sehingga manusia mampu menerima keterberian sebagai peristiwa kepenuhan(saturated phenomenon). Hal ini juga berlaku bagi yang tidak mempercayai agama resmi, melainkan mempercayai kekuatan semesta alam. Dengan mengubah cara pandang ini, Sastrapratedja meyakini akan tumbuh titik temu dalam melihat agama sebagai sarana membangun solidaritas sosial dan kesejahteraan umat manusia sehingga akan bertumbuh sikap dialog dan toleransi.
Pesan Sastrapratedja Kepada Murid-muridnya
Dalam kesibukan sebagai manusia ekonomi di era digital, Sastrapratedja mengingatkan murid-muridnya agar mampu menciptakan saat rehat. Rehat diperlukan sebagai pengingat bahwa kita adalah makhluk reflektif. Siapa yang tidak sanggup mengambil waktu untuk melakukan rehat akan beresiko menjadi seperti kuda beban yang bekerja tanpa henti. Kita membutuhkan rehat reflektif dan bertanya bukan hanya tentang apa yang sudah, sedang dan akan dibuat tetapi juga tentang mengapa masih dirasa perlu untuk melakukan atau tidak melakukannya. Dalam rehat semacam itu terdapat semacam keberanian untuk melepaskan diri sejenak dari pekerjaan yang menyita tenaga dan perhatian sehingga kita dapat menjumpai kemanusiaan kita sebagai mahluk etis, mahluk sejarah, dan mampu menerima keterberian sebaga peristiwa kepenuhan dari Allah.
Ruth Indiah Rahayu
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara Periode 2024-2028