Paulo Freire (dalam britannica.com, 2024) lahir 19 September 1921, Recife, Brasil dan meninggal 2 Mei 1997, São Paulo adalah seorang pendidik terkemuka asal Brasil. Pemikiran dirinya berakar pada pengalaman saat mengajar para petani Brasil membaca dan menulis. Melalui metode interaktif yang dirancang, Freire mendorong para siswa agar aktif bertanya kepada guru, memungkinkan mereka mencapai keterampilan literasi hanya dalam waktu sekitar 30 jam pelajaran.
Pada tahun 1963, dia diangkat sebagai direktur Program Literasi Nasional Brasil. Namun, setelah terjadi kudeta militer pada tahun 1964, Freire ditahan dan akhirnya memilih mengasingkan diri. Dia kembali ke Brasil pada tahun 1979 dan terlibat dalam pendirian Partai Pekerja.
Saya sendiri mengenal tokoh pendidikan yang satu ini di tahun 2000, ketika berinteraksi dan berdiskusi dengan beberapa mahasiswa di Wisma SJ Depok. Ada beberapa pokok pemikiran Freire yang menarik untuk dibahas terkait pendidikan. Paulo Freire (1970) dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed memandang pendidikan sebagai proses dinamis yang terus-menerus “diciptakan ulang” membawa kita pada pemahaman bahwa pendidikan bukan sekadar sistem transfer pengetahuan.
Lebih dari itu, pendidikan adalah arena transformasi yang menggabungkan kekekalan nilai-nilai kemanusiaan dengan perubahan kontekstual dalam masyarakat. Freire (1970) mengkritik “metode perbankan” dalam pendidikan, yang mengasumsikan pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat disimpan dan diinvestasikan tanpa melibatkan daya kritis siswa.
Metode perbankan dalam analisis Freire (1970) menekankan keabadian dan menjadi reaksioner; pendidikan yang menimbulkan masalah—yang tidak menerima masa kini “berperilaku baik” maupun masa depan yang telah ditentukan sebelumnya—mengakar pada masa kini yang dinamis dan menjadi revolusioner. Metode ini cenderung mempertahankan status quo dan menghalangi terjadinya transformasi sosial, karena peserta didik tidak diberi ruang dalam menilai, bertanya, dan mengajukan persoalan menegnai realitas hidup mereka.
Sebaliknya, Freire (1970) memperkenalkan konsep “pendidikan dengan pengajuan masalah,” sebuah pendekatan yang tidak hanya menantang masa kini tetapi juga membuka kemungkinan bagi masa depan secara lebih baik. Pendidikan ini mengajak siswa untuk mengidentifikasi keterbatasan dan ketidaksempurnaan dalam masyarakat, yang tidak dipandang sebagai nasib tidak terelakkan, tetapi sebagai tantangan yang menuntut tindakan.
Pendidikan profetik, menurut Paulo Freire, menanamkan harapan bahwa manusia mampu berubah dan berkontribusi pada dunia secara lebih adil dan setara. Pandangan demikian berpijak pada pemikiran bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses yang melibatkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial.
Freire mengajarkan bahwa dalam proses pendidikan, manusia tidak hanya mempelajari sejarah tetapi juga memahami konteks sosial yang membentuknya, sehingga mereka dapat memerdekakan diri dari struktur yang menindas. Freire (1970) menekankan pentingnya “kesadaran kritis” (conscientização) yang memungkinkan peserta didik mengenali dan menantang ketidakadilan struktural di sekitarnya.
Selain itu, pendekatan pendidikan yang bersifat profetik ini tidak hanya bertujuan mengubah individu tetapi juga membangun masa depan lebih bijak melalui refleksi kritis terhadap situasi masa kini. Dengan mengajak peserta didik berpikir secara mendalam tentang isu-isu yang dihadapi, Freire memandang pendidikan sebagai sarana transformasi sosial yang menghasilkan ruang untuk dialog terbuka dan kolaboratif antara pendidik dan peserta didik. Pendekatan tersebut menurut Gadotti (1994) menempatkan pendidikan sebagai alat untuk mendesain ulang masa depan yang lebih baik dan lebih manusiawi, sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi inti dari pendidikan profetik.
Freire menekankan pentingnya titik tolak pendidikan “di sini dan saat ini”—pada situasi konkret yang dialami oleh peserta didik. Dalam konteks demikian, pendidikan tidak bisa dimulai dari abstraksi atau teori yang jauh dari kehidupan mereka, tetapi harus berakar pada relevansi pengalaman sehari-hari di dalam realitas sosial mereka.
Dengan demikian, pendidikan menjadi gerakan historis yang mengidentifikasi dirinya dengan perjuangan umat manusia dalam upaya melampaui keterbatasan diri, agar menjadi lebih sadar akan kekuatan mereka dalam mengubah keadaan. Hanya melalui pemahaman mendalam terhadap hubungan manusia dengan dunia, pendidikan dapat menjadi agen perubahan sosial yang autentik dan efektif.
Sebagai catatan akhir yang perlu ditekankan, pendidikan seharusnya berfungsi membangkitkan kesadaran kritis—membentuk generasi yang tidak hanya memahami realitas, tetapi juga mampu mengintervensi dan merombaknya. Dalam konteks demikian pendidikan menemukan tujuan pokok hakiki, yakni bukan hanya untuk memproduksi pengetahuan, tetapi juga meneguhkan manusia sebagai subjek sejarah yang memiliki potensi agar terus bergerak maju, menghasilkan perubahan, dan membangun masa depan secara lebih adil.