
Jakarta – Dalam suasana akademik yang penuh antusiasme, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) Jakarta menggelar kuliah umum dengan menghadirkan Prof. Merlyna Lim, Ph.D., pakar global media digital dan masyarakat jaringan dari Carleton University, Kanada, Kamis (10/04/2025).
Lebih dari sekadar pengajaran, kuliah umum tersebut menjelma menjadi ruang reflektif kolektif. Prof. Merlyna, yang dikenal luas karena karya-karyanya mengenai politik digital dan media global, membedah fenomena kontemporer dengan pendekatan kritis, hangat, dan berlapis-lapis.
“Hari ini, saya ada di sini bukan semata karena undangan. Saya di sini karena algoritma. Karena jaringan. Karena relasi. Karena afeksi.” Kalimat pembuka itu bukan sekadar basa-basi dari Prof. Merlyna Lim. Di hadapan ratusan peserta Kuliah Umum bertema “Media Sosial dan Politik di Asia Tenggara” di STF Driyarkara, Jakarta, ia justru langsung mengarahkan perhatian pada pertanyaan mendasar: bagaimana kita memahami kehadiran kita di dunia sosial-digital yang penuh gejolak?
Dari Komunikasi ke Kekuatan: Desain Media Sosial yang Tidak Netral
Dalam pemaparan panjang selama dua jam, Prof. Merlyna mengajak para peserta untuk tidak melihat media sosial secara naif. Ia menolak narasi simplistik yang menyebut media sosial netral atau sekadar alat komunikasi. “Media sosial tidak pernah netral. Ia diciptakan dengan desain yang memiliki intensi—bukan untuk membangun demokrasi, tapi untuk memperluas pasar,” tegasnya.
Ia menjelaskan bagaimana algoritma bekerja berdasarkan logika pemasaran: memaksimalkan keterlibatan (engagement), menargetkan emosi pengguna, dan mengejar laba iklan. Inilah yang ia sebut sebagai algorithmic marketing culture—budaya algoritmik yang dibentuk oleh perpaduan antara prinsip pasar dan teknologi otomatisasi.
“Ketika rasa menjadi komoditas, maka politik pun berubah bentuk. Politik tidak lagi soal ide, melainkan soal sensasi, soal afeksi,” ungkapnya. Dalam lanskap ini, media sosial menjelma menjadi arena di mana kebencian dan pemujaan menjadi mata uang utama—yang dibayar dengan perhatian pengguna.
Polarisasi dan Ilusi Egalitarianisme
Menyoroti konteks Asia Tenggara, Prof. Merlyna memaparkan bagaimana kawasan ini mengalami ledakan digitalisasi, namun di saat bersamaan, juga menyaksikan penurunan kualitas demokrasi. Ia menyebut bahwa Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Myanmar merupakan negara dengan tingkat penetrasi media sosial tertinggi, namun juga memiliki sistem politik yang cenderung represif dan otoriter.
“Dulu kita percaya bahwa internet membawa demokratisasi. Tapi realitasnya, jaringan digital tak pernah benar-benar egaliter,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana algoritma memperkuat kekuasaan aktor-aktor dominan—baik negara maupun korporasi—seraya menyingkirkan suara-suara pinggiran. “The rich get richer, not just in money but also in visibility.”
Demokrasi Dalam Cengkeraman Algoritma
Salah satu poin krusial dalam kuliah umum ini adalah tentang “algoritmic politics”—politik yang dijalankan melalui manipulasi algoritma untuk mempengaruhi opini publik. Ia menguraikan bagaimana politisi dan elite kini menggunakan media sosial bukan hanya sebagai alat kampanye, melainkan sebagai senjata untuk menciptakan narasi palsu, membangun citra, hingga merekayasa persepsi publik.
“Lihat saja pemilu Indonesia dan Filipina. Siapa yang menguasai TikTok, Instagram, dan Facebook, dialah yang menang—bukan karena kebijakan, tapi karena berhasil menjual emosi,” ungkapnya. Di Filipina, fenomena “whitewashing” sejarah Marcos oleh Bongbong Marcos menjadi contoh konkret bagaimana positive disinformation dipakai untuk menciptakan kolektif amnesia atas sejarah kelam kediktatoran.
Politik Rasa: Dari Cebong vs Kampret hingga Joget TikTok
Prof. Merlyna mengkritik fenomena “fandom politics” di Indonesia—politik yang berbasis pada loyalitas emosional terhadap figur, bukan pada program atau ideologi. Istilah seperti “cebong” dan “kampret”, yang mencuat dalam Pilpres 2019, menjadi bukti bahwa pertarungan politik digital telah tereduksi menjadi binarisme afektif: antara kita dan mereka, antara cinta dan benci.
“Di TikTok, dua kata paling viral menjelang pemilu 2024 adalah ‘kucing’ dan ‘joget’—bukan ‘kebijakan ekonomi’, ‘pendidikan’, atau ‘hak asasi manusia’,” tuturnya dengan nada satiris. Menurutnya, konten politik yang laris justru adalah yang paling dangkal, emosional, dan mudah viral—karena itulah logika algoritma bekerja.
Antara Mobilisasi dan Demokratisasi
Walau mengakui bahwa media sosial efektif untuk mobilisasi massa—baik dalam protes sosial maupun kampanye politik—Prof. Merlyna memperingatkan bahwa mobilisasi bukanlah demokratisasi. Demokrasi sejati memerlukan deliberasi, konsolidasi, penguatan institusi, dan literasi politik—yang tidak bisa disediakan oleh logika instan dan cepat dari media sosial.
“Kita sering terjebak dalam ‘politik viral’. Isu ramai hari ini, lalu hilang besok. Tidak ada kesinambungan, tidak ada kedalaman,” ucapnya. Ia menyebut fenomena “No Viral, No Justice” sebagai simptom zaman: media sosial menjadi satu-satunya kanal keadilan, padahal itu tidak cukup untuk mengubah sistem.
Harapan di Tengah Algoritma
Meski banyak menyajikan analisis yang kritis, kuliah ini ditutup dengan nada yang penuh harapan. Prof. Merlyna menolak untuk bersikap pesimistis. Ia justru mengajak peserta untuk membangun jejaring-jejaring kemanusiaan yang tidak tunduk pada logika algoritmik. Ia menyebutnya sebagai “network spaces of hope”—ruang-ruang alternatif yang didasarkan pada solidaritas, pemahaman, dan cinta kasih.
“Kalau ada yang namanya politisasi kebencian, saya percaya kita juga bisa menciptakan politisasi kasih sayang,” ujarnya dengan penuh semangat. “Bukan cinta yang murahan, tapi cinta yang membebaskan.”
Kuliah umum ini bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga menginspirasi refleksi mendalam. Di tengah era di mana algoritma menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita dengar, dan bagaimana kita merasa, suara seperti Prof. Merlyna menjadi penanda bahwa masih ada ruang untuk berpikir, merasakan, dan bertindak secara kritis dan manusiawi.