Home Berita Alumni Uang sebagai The Great Equalizer: Antara Kepercayaan, Kekuasaan, dan Moralitas

Uang sebagai The Great Equalizer: Antara Kepercayaan, Kekuasaan, dan Moralitas

45
0
Oni Suryaman. Kita sering menganggap uang itu seperti udara, sesuatu yang taken for granted. Padahal, uang adalah ciptaan manusia. Talkshow Philosophy Now, Senin (03/03/2025). Foto : Screenshoot Youtube.

Jakarta – Dalam kehidupan sehari-hari, uang sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Uang ada, beredar, dan digunakan tanpa banyak pertanyaan. Namun, dalam sebuah diskusi yang disiarkan oleh Radio Heartline dalam program Philosophy Now, Penerjemah Profesional lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Oni Suryaman yang juga mendalami pemikiran Georg Simmel, memaparkan bahwa uang adalah ciptaan manusia yang telah menjadi begitu mendasar hingga sering disalahartikan sebagai sesuatu yang alami.

“Kita sering menganggap uang itu seperti udara, sesuatu yang taken for granted. Padahal, uang adalah ciptaan manusia. Ia bukan bagian dari alam, tetapi sistem yang kita ciptakan sendiri,” ujar Oni dalam wawancara yang dipandu oleh Host Jose Marwoto, Senin (03/03/2025).

Menurut Oni, uang tidak hanya menjadi alat tukar dalam transaksi, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Ia menghubungkan manusia dalam sistem ekonomi yang kompleks, menjembatani kebutuhan, bahkan menciptakan kesetaraan dalam arti yang berbeda—yakni sebagai penyetara (equalizer).

Dalam perjalanan sejarah, manusia tidak selalu menggunakan uang dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Sistem barter adalah bentuk transaksi tertua, di mana seseorang menukar barang atau jasa dengan yang lain sesuai kebutuhan. Namun, sistem ini memiliki keterbatasan karena sulitnya menentukan nilai yang setara antara dua barang atau jasa.

“Dulu, orang bisa menukar hasil buruan dengan pakaian dari kulit binatang. Namun, sistem ini tidak selalu praktis. Misalnya, berapa ekor ayam yang sebanding dengan satu pikul padi? Perbedaan kebutuhan dan keinginan mempersulit transaksi,” jelas Oni.

Dari sinilah muncul kebutuhan akan sesuatu yang bisa menjadi alat tukar yang lebih stabil, seperti emas dan perak. Hampir semua peradaban di dunia, dari Mesir Kuno hingga Kekaisaran Romawi, sepakat bahwa emas adalah benda berharga yang dapat digunakan sebagai standar nilai. Seiring waktu, muncul koin emas dan perak sebagai bentuk awal mata uang.

Namun, membawa emas dalam jumlah besar juga memiliki tantangan tersendiri. Pada masa kekaisaran Tiongkok, uang kertas pertama kali diperkenalkan sebagai bukti kepemilikan emas yang tersimpan dalam kas kerajaan. “Pada mulanya, kertas ini hanya digunakan oleh pejabat atau prajurit kerajaan yang harus bertransaksi di wilayah lain tanpa membawa emas secara fisik. Namun, lama-kelamaan, masyarakat mulai mempercayai kertas ini sebagai alat tukar yang sah,” tambahnya.

Uang dan Kepercayaan: Fondasi Sistem Ekonomi Global

Salah satu konsep fundamental dalam filsafat uang adalah kepercayaan. Uang hanya memiliki nilai karena orang-orang percaya bahwa uang tersebut dapat ditukar dengan barang atau jasa yang mereka butuhkan.

“Tanpa kepercayaan, uang tidak akan berarti apa-apa. Jika besok semua orang tiba-tiba tidak percaya pada rupiah, maka nilainya akan runtuh. Inilah sebabnya kita sering melihat inflasi besar-besaran di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi, seperti Zimbabwe atau Venezuela,” ungkap Oni.

Dalam sistem ekonomi modern, nilai uang bahkan semakin abstrak. Dengan adanya kartu kredit, uang digital, dan teknologi pembayaran nirkontak, banyak transaksi terjadi tanpa ada pertukaran fisik uang. Bahkan, di beberapa negara maju, seperti Tiongkok, transaksi sudah bisa dilakukan hanya dengan pemindaian wajah atau telapak tangan.

“Saat ini, kita bisa membeli barang hanya dengan mengetukkan ponsel atau memindai QR code. Ini membuktikan bahwa uang sudah semakin lepas dari bentuk fisiknya dan lebih bergantung pada sistem kepercayaan yang telah kita bangun,” katanya.

Salah satu aspek paling menarik dari filsafat uang adalah bagaimana ia menyamakan segalanya. Uang memungkinkan segala sesuatu memiliki nilai yang bisa dibandingkan—mulai dari harga makanan, jasa tenaga kerja, hingga hal-hal yang lebih sensitif seperti organ manusia.

“Dalam sistem uang, segala sesuatu bisa dihargai. Misalnya, jasa tukang sehari dihargai Rp100.000, sementara refleksi kaki dua jam juga Rp100.000. Artinya, secara sistem, dua hal yang berbeda itu setara,” jelas Oni.

Namun, di sinilah muncul paradoks besar: ketika uang menjadi ukuran universal, ia menghapus aspek moralitas dari transaksi.

“Begitu kita memberi harga pada sesuatu, kita kehilangan dimensi moralnya. Misalnya, jika ginjal dihargai Rp1 miliar, maka ginjal menjadi setara dengan mobil seharga Rp1 miliar. Begitu pula dengan narkotika atau bahkan nyawa manusia dalam sistem perdagangan manusia. Dalam pandangan uang, semua itu hanya persoalan nilai tukar,” katanya.

Fenomena ini menjelaskan mengapa dalam sejarah, perdagangan manusia, korupsi, hingga pembunuhan bayaran bisa terjadi—karena uang memungkinkan semua hal untuk dipertukarkan tanpa mempertimbangkan aspek moral.

“Ini adalah kritik terbesar terhadap sistem keuangan modern. Kita tidak bisa membiarkan uang mengendalikan segalanya. Jika kita ingin mempertahankan nilai-nilai moral, ada hal-hal yang tidak boleh kita beri harga,” tegas Oni.

Sebagai penutup, Oni menekankan pentingnya memahami bahwa uang hanyalah alat, bukan tujuan hidup.

“Dalam pandangan Kristiani, uang harus menjadi hamba, bukan tuan. Sayangnya, godaan untuk menjadikan uang sebagai penguasa sangat besar. Kita bisa membeli kekuasaan, pengaruh, bahkan suara dalam pemilu dengan uang. Jika kita tidak memahami sifat uang dengan baik, maka kitalah yang akan diperbudak olehnya,” tuturnya.

Filsafat uang, seperti dijelaskan Georg Simmel dalam The Philosophy of Money, menurut Oni, tidak hanya memberikan wawasan tentang bagaimana uang bekerja, tetapi juga bagaimana kita seharusnya bersikap terhadapnya.

“Memahami sifat uang sebagai The Great Equalizer membantu kita menyadari bahwa meskipun uang dapat menyamakan segala sesuatu, tidak semua hal seharusnya diperjualbelikan,”tegas Oni.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here