
Jakarta – Demokrasi di Indonesia sedang mengalami deconsolidation, di mana institusi politik yang seharusnya berfungsi untuk kesejahteraan rakyat justru dikendalikan oleh elite ekonomi dan militer. Hal ini disampaikan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Dr. Budi Hernawan dalam seminar internasional yang digelar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara sekaligus merayakan Dies Natalis ke-56.
Seminar yang dibuka oleh Ketua STF Driyarkara Dr. Simon Lili Tjahjadi ini bertajuk “Kembalinya Aliansi Militer dan Oligarki serta Dampaknya terhadap Demokrasi dan Perdamaian di Asia Tenggara” dan diselenggarakan secara hybrid, pada Sabtu (22/02/2025).
Budi menyoroti 50 orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 25% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mencerminkan ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Ia juga membahas bagaimana sumber daya alam di Papua dieksploitasi untuk kepentingan oligarki, sementara masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat yang seharusnya. Proyek-proyek strategis nasional seperti pembangunan jalan selebar 1 km di Papua, menurutnya, mencurigakan dan berpotensi memperkuat dominasi militer dalam wilayah tersebut. “Pembangunan jalan ini bukan sekadar infrastruktur, tetapi bisa menjadi alat kontrol terhadap masyarakat setempat,” ujarnya.
Lebih lanjut, lulusan PhD dari The Australian National University, Canberra ini menjelaskan, aliansi militer dan oligarki telah menciptakan sistem patronase yang mengakar dalam struktur pemerintahan. Oligarki tidak hanya menguasai ekonomi tetapi juga berperan dalam menentukan kebijakan politik yang menguntungkan segelintir orang. “Mereka yang memiliki akses ke sumber daya ekonomi juga memiliki kontrol terhadap keputusan politik. Ini menyebabkan demokrasi hanya menjadi simbol tanpa substansi,” tegasnya.
Selain itu, penulis buku berjudul Torture and Peacebuilding in Indonesia: The case of Papua ini menyoroti peningkatan peran militer dalam urusan sipil. Pemerintah saat ini sedang membahas revisi undang-undang yang akan memperluas peran militer ke sektor-sektor seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut Budi, kebijakan ini justru semakin mengikis batas antara militer dan pemerintahan sipil, yang berisiko mengembalikan Indonesia ke era otoritarianisme. “Militer memiliki peran besar dalam mengamankan kepentingan oligarki, sehingga kebijakan yang mereka dorong sering kali bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi menjaga stabilitas bagi kepentingan elite ekonomi,” tambahnya.
Budi juga mengkritisi bagaimana pemerintah terus menggunakan isu keamanan sebagai alasan untuk meningkatkan kehadiran militer di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, termasuk Papua. “Narasi tentang ancaman separatisme dan ketidakstabilan digunakan untuk membenarkan kehadiran militer yang lebih besar. Padahal, di balik itu, ada kepentingan ekonomi yang sangat besar,” jelasnya.
Dalam sesi diskusi, beberapa peserta mengajukan pertanyaan terkait bagaimana cara menghadapi dominasi oligarki dan militer. Menanggapi hal ini, Budi menekankan pentingnya gerakan masyarakat sipil untuk terus mengkritisi kebijakan negara dan memperjuangkan transparansi. “Kita perlu terus mendukung kebebasan akademik dan media independen agar wacana demokrasi tetap hidup,” tegasnya.
Ia juga menyerukan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pemantauan kebijakan publik dan penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil agar dapat menekan pemerintah untuk lebih transparan dan bertanggung jawab.
Kejadian Serupa di Thailand
Dalam acara yang dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri, M.Mum., dari Universitas Indonesia ini menghadirkan juga akademisi dari Institute fo Peace Studies, Prince of Songkla University Thailand, Rungrawee Chalermpirorat, Ph.D.
Rungrawee membahas situasi serupa di Thailand, terutama dalam konflik di wilayah Pattani, Thailand bagian selatan. Menurutnya, Thailand juga mengalami kemunduran demokrasi akibat dominasi militer dan oligarki, yang menyebabkan maraknya pelanggaran hak asasi manusia.
Katanya, di Thailand, pemerintah menerapkan strategi illiberal peace, di mana konflik diselesaikan melalui represi ketimbang dialog. Pemerintah Thailand mengontrol wacana publik dan membatasi kebebasan berekspresi dengan menekan media serta akademisi yang bersikap kritis. “Pemerintah menggunakan militer tidak hanya untuk keamanan, tetapi juga untuk mengendalikan opini publik dan menghambat oposisi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bagaimana diskriminasi terhadap masyarakat di wilayah Pattani terus berlangsung. Kelompok minoritas Muslim di Thailand selatan menghadapi perlakuan represif dari aparat negara, termasuk pengawasan ketat, penahanan sewenang-wenang, dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. “Situasi di Pattani menunjukkan bagaimana militer dan oligarki bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan dan mengeliminasi oposisi politik,” tambahnya.
Peraih gelar PhD dari Australian National University’s Department of Political and Social Change ini juga menyoroti kesamaan antara Indonesia dan Thailand dalam hal peran oligarki dalam politik. “Di kedua negara, para oligark memiliki akses langsung ke pengambilan kebijakan, memanfaatkan hubungan dengan elit politik dan militer untuk mempertahankan kepentingan bisnis mereka,” jelasnya. Ia juga menggarisbawahi bagaimana kebijakan ekonomi yang dikendalikan oleh oligarki sering kali berorientasi pada kepentingan jangka pendek yang mengabaikan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.
Selain paparan dari kedua pembicara utama, seminar ini juga menghadirkan perwakilan dari Ikatan Alumni STF Driyarkara, Arif Susanto dan Komunitas Papua, Romo Alexandro Ranga OFM. Analis politik Arif Susanto menyoroti tantangan yang dihadapi demokrasi di Asia Tenggara dan perlunya integrasi gerakan masyarakat sipil lintas negara. Sementara Alexandro Ranga memberikan gambaran tentang realitas kehidupan masyarakat Papua yang terdampak langsung oleh proyek-proyek strategis nasional yang dianggap lebih menguntungkan oligarki daripada rakyat.
Diskusi semakin hangat dengan berbagai pertanyaan dari peserta seminar, termasuk kekhawatiran akan semakin kuatnya pengaruh militer di pemerintahan dan kebijakan publik. Salah satu isu yang mencuat adalah proyek pembangunan jalan selebar 1 km di Papua, yang dicurigai memiliki agenda tersembunyi di luar kepentingan pembangunan infrastruktur semata.
Di akhir acara, baik Budi dan Rungrawee berharap diskusi akademik ini dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran publik terhadap ancaman yang dihadapi demokrasi di Indonesia dan Asia Tenggara. “Jika kita tidak bergerak sekarang, maka masa depan demokrasi kita akan semakin terancam,”ujar Budi. Senada dengan itu, Rungrawee juga menegaskan bahwa “kesadaran dan perlawanan publik menjadi kunci untuk mencegah demokrasi semakin terkikis oleh kekuatan militer dan oligarki.”