
Jakarta – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang semakin pesat menimbulkan dilema dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Demikian permasalahan ini mencuat dalam diskusi bulanan bertajuk Philosophy Now di Radio Heartline, Senin (3/02/2025) yang menghadirkan Ignatius Haryanto, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) sebagai narasumber.
Dalam wawancara tersebut, Hary, demikian pria ini biasa disebut, menjelaskan bahwa AI beroperasi dengan mengumpulkan dan mengolah data dari berbagai sumber, sering kali tanpa izin eksplisit dari pemilik karya. “AI bisa menciptakan konten dalam hitungan menit, tetapi pertanyaannya, apakah bahan yang digunakan sudah mendapatkan izin? Ini yang masih menjadi perdebatan di tingkat global,” ujar doktor ilmu komunikasi lulusan Universitas Indonesia ini.
Haryanto menekankan bahwa dalam HAKI terdapat dua aspek penting: hak moral dan hak ekonomi. Hak moral memastikan pengakuan atas karya pencipta, sementara hak ekonomi berkaitan dengan keuntungan finansial yang diperoleh dari karya tersebut.
“Hak moral itu nomor satu, karena setiap pencipta ingin diakui. Sementara hak ekonomi bisa dinegosiasikan. Misalnya, ada peneliti yang melepaskan hak patennya agar hasil risetnya bisa digunakan untuk kepentingan publik,” tambahnya.
Hary juga menyoroti beberapa kasus pelanggaran HAKI yang melibatkan AI. Salah satunya adalah keputusan New York Times yang melarang penggunaan artikel mereka oleh ChatGPT tanpa izin. Kasus ini menunjukkan bahwa perusahaan media mulai memperketat perlindungan atas hak cipta mereka di tengah ekspansi teknologi AI.
Di Indonesia, diskusi mengenai HAKI dalam konteks AI masih minim. “Banyak yang masih kagum dengan teknologi ini tanpa menyadari dampaknya terhadap perlindungan hak cipta. Kita harus mulai lebih waspada,” katanya.
Selain itu, mantan wartawan Tempo ini mengingatkan bahwa AI yang terus berkembang membutuhkan pasokan data baru. Dengan berkurangnya sumber berbahasa Inggris, tidak menutup kemungkinan AI akan mulai mengambil data dari karya berbahasa Indonesia. “Ini bisa menjadi peluang sekaligus ancaman. Kita harus memastikan bahwa karya lokal tidak digunakan sembarangan tanpa izin,” tegasnya.
Menutup diskusi, Hary menekankan pentingnya regulasi yang lebih jelas untuk melindungi pencipta di era digital. “Teknologi memang berkembang pesat, tapi manusia tetap harus memegang kendali. Jangan sampai kita malah dikendalikan oleh teknologi. Prinsip etika dalam penggunaan AI harus tetap dijaga,”tegas Hary.
Dengan belum adanya regulasi yang kuat terkait AI dan HAKI, para pencipta disarankan untuk lebih aktif melindungi hak mereka dan menuntut transparansi dalam penggunaan teknologi AI, kata Hary.