Home Berita Alumni Pernyataan Sikap Bersama ; Darurat Kekerasan Polisi

Pernyataan Sikap Bersama ; Darurat Kekerasan Polisi

60
0

Pernyataan Sikap Bersama

DARURAT KEKERASAN POLISI: COPOT KAPOLRI LISTYO SIGIT

Kekerasan polisi terus terjadi dan membuat negara dalam kondisi darurat saat dunia, termasuk Indonesia, merayakan Hari Hak Asasi Internasional. Keberulangan kekerasan polisi telah memakan banyak korban fisik maupun jiwa namun tidak ada investigasi yang mampu sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat. Amnesty International menyebut ada 579 warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama rangkaian unjuk rasa 22-29 Agustus 2024 di sejumlah provinsi. Organisasi HAM Internasional tersebut juga mencatat dalam periode Januari-November 2024 terdapat total 116 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.

Merespon situasi ini, kami menyatakan negara dalam keadaan darurat kekerasan polisi. Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan menelan korban dalam luar biasa. Rendahnya transparansi hingga tidak adanya penghukuman yang tegas terhadap pelaku serta pemimpin komando dan petinggi-petinggi kepolisian menjadi penyebab utama berulangnya kekerasan aparat ini. Kekerasan aparat harus dilihat dalam konteks yang lebih besar yaitu sebagai kebijakan yang diambil oleh petinggi polri bukan hanya merupakan kejadian terbatas yang dilakukan oleh aparat di lapangan. Oleh karena itu reformasi menyeluruh harus dilakukan di tubuh polri tidak hanya terbatas pada penerapan SOP penanganan aksi damai.

Yang lebih berbahaya adalah cara pandang bahwa segala bentuk tuntutan masyarakat dianggap sebagai ancaman sehingga responnya selalu berujung pada aksi kekerasan yang dilakukan aparat. Bahkan dalam banyak situasi, kekerasan terjadi hanya karena ketersinggungan aparat kepolisian hingga kekhawatiran yang tak beralasan. Polisi kini menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung apalagi pelayan masyarakat. Kegagalannya bisa disebabkan oleh kepemimpinan hingga budaya institusi.

Maka penting bagi kami untuk menghancurkan adanya evaluasi atas kepolisian dengan menempatkan alat ukur HAM sebagai parameternya. Melalui alat ukur HAM, kepolisian tidak lagi bisa bertindak sewenang-wenang, tidak mudah digunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan politik setiap saat hingga terhindar dari wewenang yang dimiliki. Tak ada cara lain selain menuntut keterbukaan juga keterlibatan masyarakat dalam penentuan kepala Kepolisian.

Darurat kekerasan polisi telah membangunkan kita semua bahwa pengawasan dan kontrol atas kepolisian kapan dilakukan oleh semua kalangan termasuk kelompok masyarakat sipil. Semua tahu kita tidak hanya memerlukan kepolisian yang melindungi tetapi juga menjamin masyarakat untuk bebas menyatakan suara dan pendapat. Semestinya polisi belajar dari sejarah bahwa kemandirian yang diraih hari ini adalah perjuangan luar biasa dari semua gerakan masyarakat sipil di era 98. Polisi sebaiknya sadar diri bahwa posisi yang diraih hari ini bukan karena perjuangan institusinya. Maka wajib bagi polisi membayar ‘hutang sejarah’ itu dengan menghidupkan lagi kultur HAM dalam penggunaan resminya dan memberikan pintu seluas-luasnya masyarakat untuk mengontrol kinerjanya.

Pada peringatan HAM kali ini saatnya polisi mulai mengubah diri dengan melakukan:
1. Perombakan kepemimpinan termasuk di puncak pimpinan tertinggi yaitu Kapolri yang musti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menghindari ciri-ciri polisi negara demokrasi dan hak asasi.
2. Hentikan kebijakan penggunaan kekerasan dalam merespon aksi-aksi damai
3. Memberi ruang bagi publik untuk menilai kinerja polisi dengan membuka partisipasi masyarakat untuk memilih pimpinan kepolisian di tingkat pusat hingga daerah.
4. berkonsultasi aparat kepolisian di semua level untuk memahami, mengerti bahkan mampu bertindak sesuai dengan prinsip prinsip HAM
5. Memberikan hukuman keras pada aparat Kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dengan menjatuhkan sanksi pidana bukan sanksi etik.
6. Membatasi dan mengontrol kewenangan dan anggaran kepolisian yang selama ini tidak dikaitkan dengan kinerja polisi dalam penghormatan terhadap HAM.

Yogyakarta, 10 Desember 2024

1. Eko Prasetyo (Lembaga Gerakan Sosial Pendiri)
2. ⁠Ursula Lara (Lembaga Gerakan Sosial, mahasiswa FH UGM, pembaca deklarasi)
3. ⁠Lembaga Gerakan Sosial Paul FR)
4. ⁠Daniel Siagian (LBH Pos Malang)
4. ⁠Zico Mulia (Yayasan Tifda)
5. ⁠Tri Agus Santoso (Pijar, APMD)
6. ⁠Ainun Najiha (Mahasiswa)
7. ⁠Sukinah (Tokoh Pegunungan Kendeng)
8. ⁠Imanda (SMI)
9. ⁠Akbar Firdaus (SMI)
10. ⁠Syam Omar (SMI)
11. ⁠Usman Hamid (AII)
12. ⁠Dimas Bagus Arya (KontraS)
13.

Nara hubung:
Nasysilla Rose 08895330602

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here