Apakah IKAD?
Pada mulanya adalah pengalaman totalitas personal-personal sebagai subjek dan objek, tubuh dan pikiran, yang bergerak dialektis untuk “menjadi” (becoming). Mereka berserak dan IKAD didirikan untuk mewadahi serakan pengalaman totalitas alumni dan karena itu IKAD pun berselancar dalam gerak dialektis kondisi materialitas alumni-alumninya.
Di manakah ranah gerak totalitas alumni?
Dalam “kehidupan sehari-hari” (la vie quotidienne, the everyday life) demikian saya mengutip konsep Henri Lefebvre (1901-1991).
“Kehidupan sehari-hari” adalah konsep Lefebvre yang terinspirasi oleh gerakan Surrealis yang antara lain menciptakan seni Dadaisme sebagai ekspresi pemberontakan terhadap makna keseharian (le quotidien, the everyday) sebagai kualitas hidup yang remeh, banal, penuh pengulangan, di bawah kapitalisme. Ranah keseharian tidak terkatalogkan dan mengalienasi manusia hanya sebagai objek kerja yang tidak berkesadaran. Oleh sebab itu penganut Surrealisme mengekspresikan seni alam bawah sadar (ketidaksadaran). Dengan mempelajari gerakan Surrealis ini, Lefebvre menemukan pengertian totalitas sebagai proses menjadi manusia total, yaitu selelau berkecenderungan membebaskan diri dari kondisi teralienasi. Keseharian adalah totalitas atas gerak dialektis dengan kehadiran dan ketidakhadiran, alienasi dan disalienasi, dan karena itu ia menyebutnya dengan istilah “kehidupan sehari-hari.” (la vie quotidienne) dan bukan keseharian (le quotidien)
Kita, alumni STF Driyarkara, mengada dan menjadi dalam “kehidupan sehari-hari.”
“Kehidupan sehari-hari” diibaratkan Lefebvre bagai teater epik yang menyajikan totalitas kehidupan manusia modern yang diwarnai dinamika tegangan, konflik dan kompromi. Totalitas epik ini hadir dalam waktu dan ruang sosial sehari-hari. Ruang sosial terdiri dari ruang objektif yang dibentuk oleh kapital yang selalu berupaya menghisap ruang subjektif yang dibentuk melalui jaringan relasi sosial, dan ruang subjektif berupaya untuk menolak tarikan ruang objektif. Demikian pula dengan waktu sosial, terdiri dari waktu linier yang dibentuk oleh kepentingan pertumbuhan ekonomi dan selalu berupaya menghisap waktu siklis yang dibentuk oleh alam. Dalam tolakan dan tarikan, sebagaimana halnya gravitasi bumi, “kehidupan sehari-hari” mewadahi perselancaran manusianya secara dialektis dan ritmik (makin bermukim di kota modern, ritme waktu makin cepat).
Alumni STF Driyarkara dalam “kehidupan sehari-hari” melakukan aktivitas pengulangan yang ritmik yang disebut Lefebvre dengan istilah mimesis. Alumni perempuan, sebagian mengemban sebagai ibu rumah tangga setiap hari menyediakan makanan bagi anggota keluarga, menjemput anak sekolah, menyambut suami pulang kerja dengan segelas kopi, dan mungkin tidak punya waktu untuk berdebat dalam Whatshap Group IKAD. Alumni laki-laki setiap hari berangkat kerja, mampir ke kedai kopi bersama kawan-kawannya sampai larut malam, diskusi atau debat dalam Whatshap Group IKAD, dan mungkin tidak punya waktu untuk mengurus pekerjaan domestik.
Walau dikatakan membosankan, tanpa aktivitas mimesis, dikatakan Lefebvre, tidak akan terjadi momen perubahan.
Momen adalah saat-saat individu mampu menerobos kebosanan yang menumpulkannya. Momen mengalahkan kepura-puraan teori, aturan dan hukum yang bertele-tele serta menantang kehidupan sehari-hari. Lefebvre belajar dari penganut surrealis dalam merayakan dadaisme sebagai momen menerobos aturan estetika dalam seni rupa. Momen bersifat sementara dan akan segera berlalu, bahkan terlupakan, tetapi selama perjalanan gerakannya seringkali menentukan dan bahkan revolusioner. Momen adalah saat-saat ketika sesorang menyadari tentang suatu situasi atau pengalaman di luar rutinitas empiris suatu aktivitas hidup. Momen adalah kilasan makna yang lebih luas dari sekedar peristiwa, sebab momen terhubung dengan totalitas.
Reformasi 1998 dengan tuntutan “Reformasi Total” adalah contoh tentang momen, sebagai proses dialektika dengan aktivitas mimesis dalam gerakan-gerakan sosial. Momen mengandaikan individu, kelompok, gerakan, mampu mencapai poeisis, yaitu aktivitas terciptakannya ide baru untuk membebaskan dirinya yang teralienasi sebagai “manusia total.” Kita tahu alumni STF Driyarkara hadir (presence) dalam momen tersebut, walau pun juga tidak hadir (absence), dan antara yang hadir dan tidak hadir merupakan totalitas reformasi itu sendiri.
Apa hubungan tuntutan “Reformasi Total” dan IKAD?
Alumni IKAD adalah manusia-manusia yang dibentuk dalam kampus STF Driyarkara berdasarkan semboyan Ex Philosophia Claritas, melalui filsafat mencapai kejernihan (akan kebenaran). Hal itu berarti alumni STF Driyarkara mengemban tugas masa depan untuk menemukan momen poiesis dalam mimesis “kehidupan sehari-hari,” yang tidak lain adalah gagasan revolusioner tentang pembebasan. Saya mengutip pernyataan Marx dalam Theses on Feuerbach (1845) nomor 11, bahwa para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, masalahnya adalah bagaimana mengubahnya. Lefebvre berusaha membebaskan
“kehidupan sehari-hari” dalam ranah filsafat dengan istilah Metaphilosophy (edisi Inggris 2016), yaitu memusatkan “kehidupan sehari-hari” yang dipandang residu untuk berdialog dengan filsafat yang spekulatif. Selain itu, ia mempraksiskan proyek filsafatnya itu ke dalam sosiologi yang disebut revolusi urban merebut hak atas kota.
Reformasi Total 1998 belum selesai, bahkan arah Indonesia didominasi oleh definisi elit-elit politik yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Kiranya keberagaman keahlian alumni STF Driyarkara dapat diolah untuk menemukan poiesis pembebasan bagi masa depan.
Hal itu membutuhkan kepemimpinan yang mampu merawat dan meruwat!
Kepemimpinan merawat adalah melakukan mimesis melalui aktivitas programatik, sedangkan meruwat adalah menemukan momen poiesis. Dalam pengamatan saya, kepemimpinan merawat dan meruwat yang bersumber pada ethic of care melekat dalam diri pemimpin perempuan. Sebab, perempuan dalam “kehidupan sehari-harinya” berselancar dalam tarikan waktu linier dan tolakan waktu siklis. Perempuan mengalami menstruasi setiap bulannya, hamil, melahirkan dan menyusui, yaitu mengikuti waktu siklis, tetapi ia juga harus mengikuti gerak waktu linier sebagai tenaga kerja upahan, waktu produksi, dan keterukuran kemajuan. Perempuan terlatih dalam tegangan terus menerus dan hal itu membuatnya peduli pada halhal yang dianggap remeh sebagaimana “kehidupan sehari-hari” yang bersangkutan dengan keberlangsungan hidup.
IKAD adalah wadah kecil tetapi sarat akan isi dan hal ini perlu dijaga agar tidak direduksi untuk kepentingan politik praktis. Alumni STF Driyarkara tentu mempunyai kebebasan untuk melakukan politik praktis tetapi IKAD bukan alat untuk itu. Justru IKAD penting sebagai sarana untuk mencapai totalitas, tanpa reduksi, dan wadah untuk mendialogkan keberagaman pandangan alumninya.
Ruth Indiah Rahayu
Cengkareng, 29 September 2024