Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dalam kenyataan menyulitkan banyak guru untuk menyampaikan bahan ajar secara baik. Ada banyak kasus, guru tidak dapat mendampingi para siswa secara baik. Dua kasus yang diungkapkan antara lain pertama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim (dalam Kompas.Com, 2020) pada suatu kesempatan pernah menyinggung adanya oknum guru yang hanya memberi tugas kepada para siswa tanpa bimbingan di rumah. Dalam mengerjakan tugas-tugas tidak jarang para siswa terpaksa belajar sendiri, mencari bahan jawaban yang diminta guru, dan kemudian membaca teks-teks yang sulit mereka pahami. Kedua, kasus lain yang sama sekali berbeda, yaitu guru di ruang luring maupun daring mempunyai cara mengajar yang cenderung tetap, monolog dan kurang dialog. Guru tersebut berusaha keras menyampaikan materi ajar, tanpa memperhatikan apakah para siswa yang mereka ajar sungguh belajar atau tidak. Guru tersebut yakin bahwa yang terpenting materi ajar tersampaikan, terjadi transfer pengetahuan sesuai dengan rencana pembelajaran yang sudah dibuat. Dua kasus yang diuraikan bukan kondisi ideal dalam ruang pendidikan di sekolah baik secara luring maupun daring.
Sekolah merupakan ruang formatif dalam pembinaan peserta didik. Secara teoritis yang paling mudah dilakukan seorang pendidik dalam sosialisasi ilmu adalah transfer pengetahuan. Siswa seperti lembaran kosong dan guru yang menggoreskan tinta pengetahuan di atasnya. Mangunwijaya (dalam Sindhunata, 2001) menegaskan bahwa siswa bukanlah objek pembelajaran. Seorang siswa walau masih anak-anak atau remaja tetap merupakan manusia seutuhnya, yang tidak ada beda dengan orang dewasa. Hanya saja para siswa disebut manusia utuh mini yang perlu dibantu bertumbuh baik secara fisik maupun intelektual. Seorang guru yang ideal mampu mengajak para siswa pada kesadaran diri sebagai subjek utama pendidikan. Sukacita para siswa dalam belajar terletak pada diri siswa sendiri. Siswa perlu menyadari bahwa mereka dapat menemukan kebahagiaan di dalam belajar mengembangkan diri. Seorang filsuf Denmark, Soren Kierkegaard (dalam Everydaypower.Com, 2022) berpendapat bahwa seseorang yang berpaling ke luar berpikir kebahagiaan hidupnya terletak di luar dirinya, tetapi kemudian orang itu menyadari hal itu keliru dan berbalik ke dalam, menemukan bahwa sumber sukacita ada pada dirinya.
Guru dan siswa perlu berada pada garis kebahagiaan yang sama dalam mengembangkan diri sebagai pendidik pada satu sisi dan siswa pada sisi yang lain. Dalam formasi istilah membentuk dan dibentuk merupakan korelasi yang memberikan manfaat kedua belah pihak. Posisi sejajar yang demikian membuat sosialisasi ilmu, seperti transfer pengetahuan menjadi tidak lagi relevan untuk dipraktikkan begitu saja. Jalan keluar terbaik, yaitu pendidikan — secara imajiner — dibuat melingkar, guru berada di tengah-tengah siswa sebagai fasilitator, mentor, dan pendidik. Posisi melingkar ini bukan berarti lingkaran dalam bentuk nyata seperti di ruang kelas tetapi di kedalaman batin sang pendidik. Dalam batin, guru merasa berada di tengah-tengah siswa sehingga dalam mengajar, pendidik tidak memposisikan diri pada relasi subjek-objek, tetapi subjek-subjek.
Menurut Maria Montessori (dalam Lillard, 2013) orang dewasa perlu membantu anak-anak sejak awal. Orang dewasa memberikan mereka lingkungan yang tepat di dalam suasana gembira karena anak-anak memerlukan penyesuaian diri dengan dunia baru yang berbeda. Orang dewasa khususnya guru dan orangtua siswa diharapkan memberikan suasana kondusif bagi peserta didik dalam belajar dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Para guru mendampingi para siswa dengan suasana belajar yang interaktif, menyenangkan dan orangtua di rumah mendukung anak-anak mereka dengan perhatian prima, mulai dari memperhatikan perkembangan psikologis, pertumbuhan fisik dan mental supaya fungsi talenta dan bakat dapat dioptimalkan dengan baik. Cara pendampingan yang memperhatikan segala aspek membantu pertumbuhan anak dan remaja menjadi lebih baik.
Tolok ukur pendampingan yang baik, diindikasikan bahwa para siswa dapat merefleksikan apa yang mereka lakukan untuk perkembangan diri, mampu memperhatikan dan memperlakukan sesama dengan baik. Refleksi yang mendalam bersumber dari kedalaman hati. Oleh karenanya di sekolah, para siswa selain diberikan pelajaran sesuai kurikulum juga dilatih menuliskan refleksi. Seorang filsuf Yunani, Aristoteles (dalam Goodreds.Com, 2022) secara eksplisit mengatakan Knowing yourself is the beginning of all wisdom. Orang yang mengenal dirinya sendiri merupakan awal dari semua kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang bersumber dari refleksi atas pengenalan diri terpancar dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang.
Untuk menunjang kedalaman refleksi para siswa, sekolah perlu memberi materi tambahan terkait bidang humaniora dalam seni budaya. Dalam pendidikan humaniora, Tagore (Nussbaum, dalam Damayanti, 2021) mendorong sekolah agar memberikan kebebasan pada siswa untuk mengeksplorasi diri mereka melalui permainan peran. Para siswa dilatih peran untuk berpikir kritis dan peka terhadap dimensi sosial yang dialami mereka. Dramatisasi aktivitas, seni teatrikal, dan latihan beretorika membatu para siswa untuk memahami realitas yang dialami. Dengan aneka latihan permainan peran, para siswa dapat memahami dirinya di hadapan dunia kontemporer yang mereka alami. Kesadaran subjek pun akan bertumbuh seiring perkembangan kedewasaan mereka. Model pendidikan formatif yang demikian tidak mungkin dilakukan dengan cara sosialisasi ilmu semata. Jalan pintas sosialisasi ilmu akan membuat para siswa terasing dengan dirinya. Ilmu pengetahuan seperti barang asing yang dimasukkan ke dalam pikiran peserta didik. Tidak heran, mereka dapat memberontak, mengeluh banyak tugas, dan mempertanyakan untuk apa itu semua bagi diri mereka. Sosialisasi ilmu perlu diubah pola dan dinamikanya menjadi internalisasi pengetahuan melalui pembelajaran antar subjek yang berdaulat. Guru dan siswa berkolaborasi bersama dalam hubungan korelatif fasilitator, mentor, dan pendamping sebagai pendidik dengan para siswa mereka sebagai peserta didik, formandi — istilah Latin — yang siap untuk difasilitasi, dididik dan didampingi.
Catatan akhir penulis menekankan bahwa proses pendidikan tidak berjalan baik jika dilakukan melalui jalan pintas, sosialisasi ilmu semata. Sosialisasi ilmu yang demikian dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam mengembangkan bakat dan talenta yang mereka miliki. Pendidikan dasar dan menengah membutuhkan ruang formatif bagi para siswa untuk mengembangkan diri secara optimal. Relasi antar subjek guru dan siswa membantu para peserta didik bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, dewasa, peduli, dan berkarakter. Semoga dalam situasi pandemi Covid-19, para guru di Indonesia tetap bersemangat dalam memajukan kehidupan bangsa melalui dunia pendidikan. Bangsa yang besar dan cerdas ada karena negara mempunyai guru-guru yang andal dan peduli dalam mendidik para siswa, generasi penerus.
Referensi:
Damayanti, C. (2021). Imajinasi sebagai Pendamping Pendidikan, Sebuah Pergulatan Folosofis Martha Nussbaum dalam Merawat Kemanusiaan, Yogyakarta: Jivaloka Mahacipta.
Everydaypower.Com. (2022) diakses melalui https://everydaypower.com/soren-kierkegaard-quotes/.
Goodreds.Com. (2022) diakses melalui https://www.goodreads.com/author/quotes/2192.Aristotle.
Kompas.Com. (2020). diakses melalui https://nasional.kompas.com/read/2020/03/24/15391751/mendikbud-singgung-guru-yang-hanya-beri-tugas-berat-tanpa-bimbingan.
Lillard A.S. (2013). Playful Learning and Montessori, diakses melalui https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1077161.pdf.
Sindhunata, (2001). Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
Terima kasih Romo atas tulisan yang sangat inspiratif.