Secara sederhana, “nomad” dipahami sebagai “anggota kelompok masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya”.[1] Dari pengertian sederhana ini, bisa ditarik pemahaman tentang nomadisme atau nomadologi, yakin: “sifat inkonsistensi yang ditandai dengan perpindahan dari satu ruang ke ruang lainnya”.
Pengertian tentang “nomad” serta turunannya seperti nomadisme atau nomadologi di atas tidak bisa dilacak asalnya dari studi-studi di ranah politik. Istilah-istilah ini bermula dari kajian-kajian di ranah psikologi dan filsafat, khususnya filsafat post-strukturalis. Istilah “nomad” berkembang di dua ranah ini karena berkaitan dengan “konsep diri” yang merupakan bidang garapan psikologi serta berkaitan dengan “cara berada” setiap entitas (individu, kelompok, masyarakat) yang menjadi pertanyaan perrenial filsafat.Baik dalam filsafat maupun psikologi, nomadisme atau nomadologi merupakan cara pandang paling sahih untuk memahami manusia, kelompok, atau masyarakat post-modernisme.
Saya mencoba meneropong penerapan nomadisme atau nomadologi dalam keseluruhan kajian, termasuk politik, dilakukan oleh filsuf kenamaan Perancis Gilles Deleuze dan psikolog Felix Guattari, khususnya dalam buku mereka yang berjudul Nomadology: The War Machine. Buku ini sendiri merupakan karya terakhir yang ditulis Gilles Deleuze selama hidupnya, yang mengisyaratkan bahwa nomadologi merupakan konsep final dan paling matang dalam sejarah pemikirannya.[2]
Bagi Deleuze dan Guattari, nomadologi terjadi dalam politik berupa sifat inkonsistensi yang dilakukan oleh para aktor politik terhadap identitas, ideologi, atau partai sebagai ruang politik. Digerakkan oleh “mental nomad”, para aktor berkelana tanpa etika dan rasa malu di ruang politik (partai), keyakinan, identitas, dan ideologi. Secara gamblang, nomadologi dalam pemahaman Deleuze dan Guattari, dapat dijelaskan dalam tiga hal. Pertama, nomadologi politik adalah kecenderungan anti-sistem, anti-fondasi, anti-identitas, dan anti-ideologi. Kedua, nomadologi politik adalah petualangan dari satu ruang politik (political space) – seperti partai politik, lembaga politik, wilayah administratif – ke ruang politik lainnya. Ketiga, nomadologi politik adalah kecenderungan (bahkan keyakinan) tanpa rasa malu dan etika yang dilakukan oleh para aktor politik (elite atau parpol) untuk terus mengganti tanda, kode, makna, simbol, slogan, moto, semboyan, dan lambang. Singkatnya, nomadisme politik adalah perubahan terus-menerus pada tingkat semiotika politik.
Nomadologi, dalam pemahaman Deleuzian-Guattarian, kami pakai juga untuk membaca fenomena politik di Indonesia pasca reformasi. Bagi kami, politik di Indonesia mengalami transisi besar-besaran dari ideologi menuju nomadologi. Ideologi sangat kuat pada masa sebelum kemerdekaan dan berlanjut pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Zaman ideologi ini ditandai dengan sikap “konsistensi”: konsisten dengan identitas, teritori politik (partai, wilayah, jabatan), visi-misi, platform, dan elemen-elemen politik lainnya. Pada zaman ini, nasionalisme, agama, komunisme merupakan ideologi yang sangat kuat menjiwai aktor-aktor politik (parpol maupun politisi). Salah satu faktor kunci yang membuat ideologi begitu kuat adalah “kecerdasan” para founding fathers dalam “meramu” ideologi yang bisa menjawab pelbagai kepentingan dan pluralisme masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan hasil ramuan dari pelbagai unsur yang tepat menjawab kondisi Indonesia yang pluralis.
Namun, sejak Soeharto tumbang, konsistensi terhadap ideologi mulai dipertanyakan. Hal ini muncul bersamaan dengan isu “berakhirnya ideologi” yang dikumandangkan oleh Daniel Bell. Pancasila mendapat tantangan kuat dan mulai diragukan “kesaktiannya”. Penantang terbesar Pancasila adalah nomadologi itu sendiri. Nomadologi, karena itu, tidak hanya berkaitan dengan cara pandang terhadap fenomena mutakhir kehidupan masyarakat, tetapi juga merupakan kondisi-kondisi mutakhir itu sendiri. Sebagai sebuah fenomena mutakhir, nomadologi politik adalah inkonsistensi baik di tingkat individu (elite politik atau politisi), yang berpindah-pindah partai dan identitas politis, maupun di tingkat lembaga (partai politik), yang berpindah-pindah ideologi atau bahkan tanpa ideologi sama sekali (hanya memperlakukan ideologi sebagai dokumen).
Salah satu pengertian nomadologi adalah kecenderungan anti-sistem, anti-fondasi, anti-identitas, dan anti-ideologi. Nomadologi tidak bisa berhenti pada hal-hal yang bersifat tetap atau konsisten. Nomadologi lebih merayakan proses perpindahan itu sendiri sebagai ideologi baru. Dari pemahaman singkat ini, kelihatan dengan sangat jelas kontradiksi antara nomadologi dan ideologi.
Ideologi, seperti dijelaskan pada bab 1 buku ini, merupakan sistem yang bersifat tetap (fondasional) yang dapat dijadikan acuan dan pedoman bagi sebuah gerakan sosial serta menjadi identitas bagi gerakan tersebut. Ciri-ciri nomadologi – seperti anti-sistem, anti-fondasi, anti-identitas, anti-ideologi – bertolak belakang dengan ideologi yang merupakan sebuah sistem fondasional yang dipakai sebagai acuan dan penentu identitas.
Dalam Pemilu di era reformasi (Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019), pengabaian terhadap ideologi dan penerapan nomadologi terjadi entah disadari atau tidak. Untuk itu, kami akan melacak peralihan dari ideologi ke nomadologi, baik dari ranah visi atau platform maupun praksis politik partai-partai.
FUNGSI IDEOLOGI BAGI PARTAI POLITIK
Terminologi partai politik masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan politik. Giovanni Sartori mendefinisikan partai politik secara longgar sebagai “kelompok politik apa saja yang ikut serta dalam Pemilu dan mampu menempatkan orang-orangnya dalam jabatan-jabatan publik.[1] Berdasarkan pengertian ini, partai politik bertujuan untuk meraih jabatan politik, mendapatkan kekuasaan, dan mengontrol proses perumusan kebijakan. Selanjutnya, LaPalombara dan Weiner mengartikan partai politik sebagai organisasi yang berakar dalam masyarakat, melakukan kegiatan secara berkesinambungan tanpa harus bergantung pada masa jabatan atau masa hidup pemimpinnya, berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan, dan ikut serta dalam pemilihan umum.[2] Carl Friedrich memberi batasan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dan konsisten dengan tujuan merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu ia akan memberikan kegunaan materiil dan ideal kepada para anggotanya. Soltau mendefinisikan partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai satu-kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.[1]
Hal menarik yang bisa diserap dari beberapa definisi yang diajukan oleh para pakar di atas adalah penekanan kuat pada fungsi parpol untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan politik. Partai politik, karena itu, sangat dekat dengan kepentingan elite politik dan semakin jauh dari kepentingan rakyat. Studi Pridham (1990), Rose dan Mishler (1998), serta Morlino (1998) membuktikan bahwa hubungan antara partai politik dengan masyarakat semakin lemah karena partai politik terlalu berfokus pada usaha mengejar dan mempertahankan kekuasaan.[2]
Kritik terhadap parpol yang cenderung memperjuangkan kepentingan elite politik ini juga merupakan salah satu agenda reformasi di Indonesia. Reformasi dipahami, terutama, sebagai transisi dari sistem politik otoritarian Orde Baru menuju sistem politik demokrasi. Proses ini lazim disebut sebagai “konsolidasi demokrasi”. Dalam proses konsolidasi demokrasi tersebut, parpol memiliki arti yang sangat penting. Parpol menempati posisi sentral karena memiliki fungsi utama untuk melanggengkan proses demokratisasi lewat usaha-usaha seperti memenangkan Pemilu, mengagregasikan ragam kepentingan masyarakat, menyusun alternatif kebijakan, dan mempersiapkan para calon pemimpin yang akan duduk dalam pemerintahan.[3] Pengakuan tentang pentingnya partai politik sebagai penentu keberhasilan demokrasi ini disimpulkan dari sejumlah studi, seperti studi Clapham (1993) dan Sanbrook (1996) di Afrika, Diamond (1998) di Asia, serta Dix (1992), Rueshemeyer (1992), dan Norden (1998) di Amerika Latin.[4]
Selain itu, dalam definisi-definisi yang diajukan di atas, kata “ideologi” atau fungsi ideologi tidak nampak. Padahal, ideologi merupakan unsur penting dari keberadaan parpol. Ideologi merupakan identitas pemersatu, tujuan perjuangan, atau elön vital-nya parpol. Karena itu, kami lebih mengartikan partai politik sebagai: “kelompok masyarakat yang terorganisasi secara rapi dan stabil, dipersatukan dan dimotivasi oleh ideologi tertentu, berusaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui Pemilu, guna melaksanakan alternatif kebijakan yang disusunnya.” Dengan kata lain, parpol merupakan representation of ideas atau mencerminkan preskripsi tentang Negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan hendak diperjuangkan.
Dari pengertian ini bisa ditarik definisi ideologi itu sendiri. Ideologi dipahami sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dasar, keyakinan, atau asas yang dijadikan pedoman dan acuan normatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sini, ideologi dianggap mampu membangkitkan kesadaran serta memberikan orientasi dan motivasi dalam perjuangan. Ideologi mengharuskan aktor politik untuk berpikir dan berperilaku demi perubahan masyarakat, bangsa, dan Negara ke arah yang lebih baik. Jelas, ideologi berorientasi pada “perubahan yang lebih baik”.
Berdasarkan pengertian yang kami ajukan di atas bisa ditarik juga fungsi dari ideologi bagi partai politik. Sebagai realitas subyektif (apa yang seharusnya), ideologi berperan sebagai: 1) sistem kepercayaan yang memberikan kesadaran dan pencerahan bagi kehidupan dalam arti luas; 2) landasan legitimasi politik, penuntun atau acuan bagi seluruh kebijakan dan perilaku politik, serta tali pengikat kegiatan politik; 3) penuntun atau acuan bagi kehidupan politik parpol sehari-hari yang diterapkan secara konsisten dan konsekuen; 4) jiwa setiap kegiatan parpol, baik berupa pernyataan, kritikan, program, maupun permasalahan politik; 5) representasi perjuangan nilai dalam parpol untuk ikut memberikan warna bagi bangunan imajiner sebuah bangsa; 6) pengikat sosial untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
Dalam setiap fungsinya, parpol harus mengedepankan ideologi. Pertama, dan paling utama, partai politik berfungsi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi yang diyakini. Cara yang digunakan oleh partai politik untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan adalah dengan ikut serta dalam Pemilu. Dalam Pemilu, partai politik akan berhadapan dengan fungsi-fungsi turunan seperti seleksi calon, kampanye, dan menyelenggarakan pemerintahan (legislatif dan/atau eksekutif). Apabila kekuasaan untuk memerintah telah diperoleh maka partai politik itu berperan pula sebagai pembuat keputusan politik; sementara jika tidak mencapai mayoritas dalam parlemen maka partai politik berperan sebagai pengontrol terhadap partai mayoritas. Dalam semua fungsi turunan ini, baik sebagai penentu kebijakan maupun sebagai pengontrol, ideologi partai politik harus tetap menjadi landasan berpolitik.
Kedua, sosialisasi politik, yakni proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup, baik secara formal maupun informal. Sementara dari segi metode penyampaiannya, sosialisasi politik dapat disampaikan melalui pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan proses dialogis antara partai politik dengan anggota masyarakat. Melalui pendidikan politik, anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai, norma, simbol, atau ideologi partai politik. Sementara indoktrinasi politik adalah proses sepihak dimana partai politik memobilisasi dan memanipulasi masyarakat untuk menerima nilai, norma, simbol, atau ideologi yang dianggap parpol sebagai sesuatu yang ideal dan baik. Tentu saja, dalam proses demokratisasi, indoktrinasi seperti ini dihindari. Namun, yang paling penting, sosialisasi politik bertujuan agar ideologi partai politik meresap dalam hati masyarakat. Karena itu, fungsi ini harus diperhatikan dan ditingkatkan oleh partai politik.
Ketiga, rekrutmen anggota, yakni proses seleksi, pemilihan, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dan karena itu ideologi merupakan faktor penting. Ideologi merupakan standar yang harus dalam proses rekrutmen anggota partai politik. Tentu saja, yang diangkat adalah orang-orang yang sejalan dengan ideologi partai.
Keempat, penyatu kepentingan, yakni proses menampung, menganalisis, dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda atau bertentangan menjadi alternatif kebijakan yang bersifat universal. Fungsi ini sangat menonjol dalam sistem politik demokrasi dan karena itu ideologi digunakan sebagai cara memandang dan menyelesaikan masalah.
Kelima, kontrol politik, yakni kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan terhadap substansi kebijakan. Fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi untuk memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus-menerus. Kontrol politik atau pengawasan harus didasarkan pada tolak ukur yang jelas sehingga kegiatan ini memiliki visi yang jelas dan objektif. Tolak ukur yang dimaksudkan di sini adalah ideologi yang dijabarkan ke dalam berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, dalam melaksanakan fungsi kontrol dan pengawasan politik, partai harus menggunakan ideologi sebagai “jangkar” karena ideologi merupakan hasil kristalisasi nilai dan kesepakatan bersama.
Selain dari definisi dan fungsi partai politik, hubungan antara ideologi dengan partai politik dapat dilihat dari jenis-jenis partai politik. Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasi menjadi tiga tipe, yakni partai politik pragmatis, doktriner, dan kepentingan. Partai politik pragmatis ialah suatu partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tidak terikat kaku pada ideologi tertentu. Program dan kegiatan partai politik ini bergantung dan diatur oleh pemimpinnya. Meski demikian, partai pragmatis tetap memiliki jangkar ideologi walaupun banyak mengalami deviasi. Demikian juga halnya dengan partai doktriner. Partai doktriner ialah suatu partai politik yang memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologi. Ideologi yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat nilai politik yang dirumuskan secara konkret dan sistematis dalam bentuk program-program kegiatan yang pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh partai. Selanjutnya, partai kepentingan merupakan suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti kelompok petani, buruh, etnis, agama, lingkungan hidup yang ingin berpartisipasi secara langsung dalam kehidupan politik. Partai-partai seperti ini tetap memiliki jangkar ideologi tertentu supaya berbeda dengan partai-partai lain yang sejenis. Dari pengelompokkan partai politik berdasarkan asas dan orientasi ini, jelas bahwa ideologi, entah kuat atau tidak, tetap merupakan basis identitas parpol dan jangkar parpol untuk memperoleh kekuasaan dan menetapkan visi.
Ideologi dalam konstruksi dan artikulasi politik sebuah parpol merupakan amunisi yang mujarab dan efektif untuk mengikat individu-individu partisipan, memobilisasi masyarakat untuk mencapai tujuan parpol yang lebih besar, serta memberi legitimasi pada proses-proses politik seperti suksesi kepemimpinan nasional. Fungsi pemersatu, penggerak, dan legitimasi ideologi dalam parpol juga ditegaskan oleh Teun Adrianus van Dijk. Teun menyebutkan bahwa ideologi bertujuan untuk mengatur tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi merupakan landasan bagi setiap individu atau kelompok untuk membentuk solidaritas di antara anggota.[1] Efektivitas ideologi dalam menggerakan dan menyatukan massa partisipan dan masyarakat inilah yang mendorong Antonio Gramsci untuk mengingatkan bahwa tidak ada satu rezim yang berkuasa tanpa mengoperasikan ideologi tertentu.[2] Atau, di tempat lain, pengamat politik Daniel Dhakidae mengingatkan bahwa ideologilah yang membuat sebuah parpol politik mampu mengumpulkan suara dari konstituennya. Tanpa ideologi sebuah partai bisa ditinggalkan pemilih.[3]
Selain itu, dTop of Formari perspektif antropologi politik, ideologi bersifat adaptif, kontekstual, dan berlanjut,[4] sejauh kegunaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Ideologi bersifat adaptif jika bersifat inklusif dan diterima oleh seluruh masyarakat. Pancasila, misalnya, bersifat adaptif karena Bung Karno merancangnya dengan berbasis pada nilai-nilai universal yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai universal yang tertuang dalam kelima sila Pancasila adalah agama, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Ideologi bersifat kontekstual jika keberadaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Ideologi yang berakar pada kapitalisme, misalnya, dikatakan tidak kontekstual jika diterapkan pada masyarakat agraris. Itulah sebabnya, Bung Karno menyusun Pancasila sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia yang plural. Sementara ideologi dikatakan berlanjut jika keberlangsungannya tidak bersifat sementara atau jangka pendek, tetapi berkelanjutan. Artinya, konseptualisasi atau rumusan ideologi tersebut dapat diproyeksikan dan diterjemahkan ke dalam setiap zaman. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang bersifat perenial dan karena itu memenuhi kriteria ketiga ini. Selain itu, ideologi dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kualitas perilaku politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang politisi dikatakan memiliki kualitas politik tinggi jika perilaku politiknya dilandasi oleh ideologi. Dengan berlandas pada ideologi, politisi tampil sebagai pribadi ideal yang memperjuangkan kepentingan banyak orang. Seorang politisi dikatakan memiliki kualitas politik rendah jika perilaku politiknya dilandasi oleh
motif kepentingan individual atau golongan (motif primordial) dan hanya melaksanakan rutinitas politik semata. Artinya, ideologi tidak dijadikan acuan atau pedoman bagi perilaku politiknya. Kualitas perilaku politik dinilai paling rendah jika politisi mempraktikkan apa yang disebut dengan “politik dagang sapi”. Secara singkat, “politik dagang sapi” dipahami sebagai politik yang disusupi jual-beli kepentingan.[1] Jadi, politisi “dagang sapi” adalah politisi yang penuh dengan intrik-intrik kepentingan. Agar politik dagang sapi ini tidak terjadi, partai politik harus merekrut kader-kader partai dengan tolak ukur ideologi atau dengan mempertimbangkan aspek moralitas dan kompetensi. Berdasarkan aspek moralitas, kader partai yang diidamkan adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi untuk memperjuangan ideologi partai, loyal, konsisten, serta tidak mengenal kompromi dengan segala bentuk kooptasi kekuasaan. Dari aspek kompentensi, kader-kader partai politik harus memiliki kompetensi akademik. Perekrutan kader mesti diperhatikan sebaik-baiknya oleh partai politik karena merekalah “corong” parpol di parlemen untuk menyuarakan kepentingan rakyat.
NOMADOLOGI DALAM PARTAI POLITIK
Uraian di atas memperlihatkan posisi sentral ideologi serta klasifikasi partai politik yang jelas berdasarkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai politik pasca reformasi (entah dalam Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 maupun 2019) menghadapi persoalan krisis identitas dan kegamangan ideologi. Tiga penyebab mendasar yang kami catat adalah: 1) elite politik yang duduk di DPR atau yang menjadi anggota partai didominasi oleh generasi peralihan; 2) politik pasca reformasi adalah politik yang berada di abad virtual dimana kekuatan rakyat diganti oleh kekuatan jaringan; 3) partai-partai politik pasca reformasi berada di antara tarikan dan pengaruh ideologi asing (kapitalisme dan liberalisme) dan usaha mempertahankan nasionalisme asali.
“Kematian ideologi” merupakan wacana kuat yang kemudian, diam-diam, dipraktikkan oleh partai. Ideologi dalam era reformasi adalah sekumpulan nilai ideal dan prinsipil yang disimpan rapi dan hanya berfungsi sebagai “penghias” administrasi kelembagaan. Selain itu, ideologi hanya digunakan untuk memperoleh suara dalam Pemilu dan kemudian tidak dipakai lagi seusai kampanye. Dengan kata lain, partai-partai politik cenderung melihat ideologi sebagai sekumpulan nilai yang dipakai untuk memperoleh kekuasaan semata. Hal seperti ini disebut dengan “ideologi status quo”.
Untuk membuktikan hilangnya peran ideologi bagi Parpol, beberapa fakta dan data dapat diangkat kembali. Hilangnya peran ideologi Parpol dapat dibuktikan dari hasil jajak pendapat masyarakat, antara lain hasli jajak pendapat Litbang Kompas.[2] Jajak pendapat ini melibatkan 1.097 responden dari 33 ibu kota provinsi se-Indonesia. Kepada responden diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui persepsi mereka tentang ideologi Parpol. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa parpol telah kehilangan ideologi. Parpol lebih mengedepankan kepentingan pragmatis dan tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi.
Masyarakat menilai bahwa Demokrat adalah partai yang paling konsisten mempertahankan ideologinya (35%), mengalahkan partai-partai lama yang mengklaim diri “partai ideologis”, seperti PDIP (yang hanya mencapai angka 25%), PKS (hanya meraih 17%), Golkar (12%), Gerindra (2%), PAN (1.5%), PPP (sekitar 1%), HANURA (0.6%) dan PKB (sekitar 0.4%). Dalam hitungan skala, masyarakat menilai Partai Demokrat paling konsisten (tertinggi) mencapai 40.7% – 29.6%, diikuti PDIP dengan angka 23.5% – 27.4% dan PKS 13.2% – 25.2%. PAN yang mengaku parpol reformis ternyata di mata masyarakat memiliki tingkat konsistensi sangat rendah, yakni hanya 1.5% – 0.9%, masih di bawah parpol baru Gerindra dengan tingkat konsistensi mencapai 2.8% -3.5%. Secara umum, masyarakat menilai bahwa parpol, baik parpol besar maupun kecil, menganggap ideologi hanya formalitas belaka dan tidak diimplementasikan untuk perubahan melalui proses pemikiran normatif.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas tersebut memperkuat penilaian sebagian besar pengamat bahwa perilaku parpol cenderung berdasarkan pragmatisme. Artinya, sebagai pengganti ideologi, aktivitas partai politik dilandasi oleh keputusan-keputusan yang bersifat pragmatis, tidak menetap (nomadis), dan oligarkis. Partai politik sering sekali bersuara dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri. Beberapa partai nasional, seperti PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan Partai Demokrat, terlalu pragmatis sehingga memungkinkan terjadinya shady deals, yakni kesepakatan-kesepakatan yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Robert Michels menyebut pragmatisme, nomadisme, dan oligarki ini sebagai hukum besi yang berlaku dalam parpol.[3]
Meskipun hasil jajak pendapat Kompas di atas mengatakan bahwa Partai Demokrat adalah yang paling konsisten mempertahankan ideologinya, pandangan positif terhadap Demokrat ini sebenarnya dipengaruhi oleh ketokohan SBY sebagai pendiri Demokrat. Sebab, sejak awal, partai binaan Presiden SBY ini telah mengklaim diri sebagai partai catch-all yang menampung semua kalangan untuk masuk ke dalam partai. Sebagai partai inklusif dan catch-all, garis batas ideologi terancam menjadi kabur dan orientasi partai pun menjadi lebih populis serta berbasis pada “suara”.
Di PDI-P, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dengan jujur mengakui bahwa selama Pemilu-pemilu pasca reformasi pragmatisme telah menghilangkan roh partainya. Dalam evaluasi internalnya, PDI-P menyadari, pragmatisme itu menurunkan suara PDI-P pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 1999, PDI-P berada di urutan pertama dengan perolehan suara 33,7%. Pemilu 2004, dengan raihan suara 18,5%, PDI-P kalah dari Golkar (21,6%). Pada Pemilu 2009, perolehan suara PDI-P makin melorot ke urutan ketiga. PDI-P yang mendapat 14% suara kalah dari Partai Demokrat (20,4%) dan Golkar (14,5%).[4]
Demikian juga halnya dengan PPP. Partai berbasis Islam ini memang menegaskan bahwa ideologi sebagai platform (principal ideology) seharusnya bisa diejawantahkan dalam ideologi kerja (working ideology). Namun, sampai kini, PPP tak berhasil mewujudkannya. Fakta berikut dapat membuktikan bagaimana PPP tidak konsisten menjalankan ideologi partainya. Pada Pemilu 1999, ada tiga isu penting yang muncul dalam kampanye, yaitu agama, otonomi daerah, dan ekonomi kerakyatan. Ketika PPP (dan Partai Bulan Bintang) kalah dalam perjuangannya memasukkan Piagam Jakarta pada perubahan UUD 1945 tahun 2002, isu agama menjadi tidak penting lagi. Saat isu otonomi daerah diselesaikan secara hukum dengan keluarnya perundang-undangan, isu itu tak muncul lagi.
Contoh lain adalah PAN (Partai Amanat Nasional). Dalam proses penyusunan calon anggota legislatif, partai ini masih melihat apakah calon bersangkutan Muhammadiyah atau bukan. Padahal, partai ini selalu mengklaim dirinya sebagai partai terbuka.
PKS, dalam Munas pada 16-20 Juni 2010, mulai ragu apakah tetap berbasis pada ideologi atau tidak. Pasalnya, beragam gagasan baru muncul dari partai berlambang bulan sabit dan padi ini (Islam), antara lain gagasan “partai terbuka”, “PKS untuk semua”, hingga arah baru partai yang mencoba untuk bertransformasi menjadi catch-all party. PKS seperti tidak punya beban ideologis dengan perjuangan partai-partai Islam sebelumnya, yang telah babak belur sebagai partai ideologis.
Dari fakta-fakta di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa banyak partai politik berlomba-lombanya menginklusifkan diri dan mewadahi semua basis pemilih tanpa memperhatikan peran ideologi sebagai variabel sentral dalam pembuatan keputusan di internal partai. Fenomena ini disebut oleh Giovanni Sartori sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Menurut Sartori, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi secara baik, ideologi partai akan mengarah ke tengah sehingga batas penyekat ideologi antarpartai akan semakin kabur.[5] Dengan kata lain, partai-partai politik akan semakin pragmatis dalam upayanya mendapatkan kekuasaan.
Partai-partai politik di Indonesia sebenarnya belum menjalankan kodrat sebagaimana layaknya parpol seperti dipraktikkan di Negara-negara lain, terutama Negara-negara maju. Di Negara-negara maju, partai-partai politik memiliki tiga fungsi, yakni fungsi dalam Pemilu, fungsi dalam organisasi, dan fungsi dalam pemerintahan. Berkaitan dengan fungsi dalam Pemilu, partai harus bisa menyederhanakan pilihan-pilihan bagi para pemilihnya, mendidik warga negara, memproduksi simbol-simbol untuk mengikat kesetiaan, dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik. Sebagai organisasi, partai-partai politik melakukan rekrutmen, pelatihan, artikulasi kepentingan, dan agregasi. Sementara berkaitan dengan pemerintahan, mereka harus menciptakan mayoritas, mengorganisasikan pemerintahan, mengimplementasikan kebijakan, mengorganisasikan perbedaan, dan melakukan kontrol. Dari semua fungsi itu, yang sudah dijalankan oleh partai- partai politik di Indonesia baru rekrutmen, dalam arti menempatkan orang-orang jika ia berhasil memobilisasi massa untuk berkuasa. Kegagalan parpol menjalankan fungsi yang lain disebabkan mereka tidak memiliki ideologi atau cita-cita partai yang inklusif dan dilaksanakan dengan baik.
Persoalannya, mengapa kecenderungan sentrifugal tersebut terjadi di Indonesia dan menghinggapi partai yang sejak awal dikenal sebagai partai kader dengan basis ideologi paling kuat seperti PKS, atau partai dengan basis massa paling nasionalis seperti PDIP? Ada beberapa argumen.
Pertama, terjadi proses institusionalisasi demokrasi dengan menggunakan logika perwakilan secara baku. Sistem kepartaian dalam Pemilu pasca reformasi 1998 telah diatur dan dilembagakan dalam sebuah mekanisme yang baku. Adanya proses institusionalisasi tersebut, di satu sisi, telah menyebabkan adanya mekanisme baku yang memungkinkan kekuasaan dapat dikelola secara demokratis. Akan tetapi, di sisi lain, institusionalisasi tersebut juga berdampak pada kaburnya garis batas ideologi pada masing-masing partai karena partai diatur untuk fokus pada upaya memenangkan suara publik. Sehingga, spektrum ideologi partai pun menjadi bergeser ke “tengah”.
Kedua, proses demokrasi berjalan dengan logika transfer legitimasi dari rakyat ke elite. Bagi Joseph Schumpeter, “democracy is the rule of the politician“.[6] Demokrasi adalah persoalan bagaimana rakyat mentransfer legitimasinya kepada elite-elite politik (perwakilan) melalui Pemilu. Implikasinya, masing-masing partai cenderung terkena fenomena yang disebut oleh Robert Michels sebagai “hukum besi oligarki”. Ada kecenderungan segelintir elite untuk menguasai struktur pengambilan keputusan di internal partai akibat proses demokrasi yang kian elitis. Kecenderungan oligarkis ini menyebabkan kebijakan dihasilkan lewat kompromi dengan partai lain. Dengan kata lain, ideologi secara perlahan-lahan tergantikan oleh proses negosiasi kepentingan antarelite.
Ketiga, ketika partai ingin memasukkan anggota-anggotanya ke jajaran menteri, terjadi proses yang disebut oleh Hanta Yuda sebagai “kompromi-kompromi internal” dengan presiden.[7] Adanya kompromi internal ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Menegosiasikan kepentingan, dalam konteks ini, berarti pengingkaran terhadap ideologi parpol.
CATATAN KAKI :
[1] Alwi Shahab, “Politik Dagang Sapi” (dimuat di Republika, Minggu, 13 Mei 2007).
[2] “Ideologi 9 (sembilan) Parpol di DPR”, Kompas, 17-19 Maret 2010.
[3] Robert Michels, Political Parties (New York: Free Press, 1966), hlm. xxvii.
[4] Detik News, Rabu, 20 Agustus 2008.
[5] Giovani Sartori, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), hlm. 24.
[6] J.A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy (New York: Harper Torchbooks, 1947), hlm 112.
[7] Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 17-55. Dalam buku yang memfokuskan studi pada kabinet SBY-JK (2004-2009) ini, Hanta Yuda menyoroti adanya problem dan potensi kompromi yang dihadapi oleh Presiden dalam kekuasaan. Pasca reformasi, pemerintah memang melakukan purifikasi dalam sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia. Purifikasi tersebut antara lain diwujudkan dengan mengurangi kuasa yang cenderung koruptif pada lembaga kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada parlemen untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden. Hanya saja, desain institusional tersebut menimbulkan masalah tersendiri: kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang legislative heavy tersebut menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik partai politik. Akibatnya, selama masa pemerintahan SBY-JK, terjadi tarik-menarik kepentingan antara presiden dan partai politik dalam pelbagai hal.
[1] Teun Adrianus van Dijk, Ideology: A Multidisciplinary Approach (London: Sage Publications, 1998), hlm. 5, 117.
[2] Dante L. Germino, Antonio Gramsci: Architect of a New Politics (Lafayette-LA: Louisiana Press University, 1990), hlm. 157.
[3] Daniel Dhakidae, “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia”, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia (Jakarta, LP3ES, 1985).
[4] Bdk. Jonathan Spencer, Anthropology, Politics, and the State. Democracy and Violence in South Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm 79-89.
[1] Gregory S. Mahler, Comparative Politics: An Institutional and Cross-National Approach (New Jersey: Prentice Hall, 1992), hlm. 147
[2] Ingrid van Biezen, “On the Internal Balance of Party Power: Party Organization in New Democracy”, Party Politics, Vol. 6, No. 4 (London: Sage Publication, 2000), hlm. 395.
[3] Ichlasul Amal (ed), Teori-teori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. xi.
[4] Vicky Randal dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, dalam Party Politics, Vol. 8, No. 1 (London: Sage Publication, 2000), hlm. 5.
[1] Giovanni Sartori, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), hlm. 17.
[2] Joseph LaPalombara & Myron Weiner (Ed.), Political Parties and Political Development (New Jersey: Princeton University Press, 1970), hlm 133.
[1] Lih. http://www.thefreedictionary.com/nomadism.
[2] Lih. Pengantar Michel Foucault dalam Gilles Deleuze & Felix Guattari, Nomadology: The War Machine (New York: Semiotext(e), 1986), hlm ix.