Jumat, 18 Februari 2022
Pukul 19.30 – 21.00 WIB
Join Zoom Meeting
Meeting ID: 861 1140 9863
Passcode: 897254
Pada tahun 2015-2016, gelombang pengungsi memasuki Indonesia dalam upaya mereka untuk masuk ke Australia (Pulau Christmas). Salah satu dari kelompok pengungsi itu mengalami kapal yang tenggelam (capsized). Sekian orang tidak bisa diselamatkan, dan beberapa yang lain baru diselamatkan oleh nelayan beberapa hari kemudian. Hal ini terjadi di perairan Indonesia, yaitu di Selat Sunda, Samudera Indonesia, dan kemudian di Samudera Hindia.
Kelompok pengungsi yang bergelombang ini menyingkap kerentanan Asia Tenggara dalam hal penanganan pengungsi. Namun, lebih dari pada itu, pengungsi ini berasal dari wilayah yang mengalami konflik yang berkepanjangan dan mematikan. Para pengungsi ini memilih “lebih baik keluar dari wilayah mereka, apapun yang terjadi”. Situasi ini seringkali tidak ditangkap oleh masyarakat Indonesia. Pengungsi dan konflik mereka dianggap tidak berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat di Indonesia.
Ketika ada pengungsi yang bunuh diri karena tidak kunjung mendapatkan kartu pengungsi, masyarakat Indonesia, pemerintah Indonesia, pemerintah kawasan ASEAN belum lagi memahami betapa masalah pengungsi ini tetap berdampak pada keseharian. Pengungsi yang sudah berada di kota Jakarta, kota Makassar, kota Kuala Lumpur, atau kota-kota lain di ASEAN tetap memberikan gambaran “putus asa”.
Bagi keluarga pengungsi, terutama pengungsi anak, situasi putus asa ini juga sangat mewarnai mereka. Anak yang sebenarnya mempunyai hak atas pendidikan dan hak untuk mendapatkan layanan publik yang sepantasnya dihadapkan pada situasi yang sulit serta perpindahan keluarga dari satu situasi konflik ke situasi yang tidak kunjung jelas.
Bersamaan dengan pengungsi, ada para pihak yang memanfaatkan “keputusasaan” ini. Mereka menyediakan transport seadanya dengan harga mencekik, mengontrol pengungsi, dan menyiasati pemerintah dan aparat keamanan. Inilah yang kita sebut sebagai “trafficking”. Dalam bentuk lain, para pelaku “trafficking” ini juga memanfaatkan keputusasaan kelompok muda yang ingin bekerja di tempat lain. Di sinilah trafficking mengambil untung.
Sebagai sebuah diskusi, Jumat Keradmad ini menghadirkan kajian sekaligus upaya-upaya untuk menggalang solusi terhadap masalah pengungsi dan anti-trafficking. Hal-hal yang dibahas akan diangkat menjadi rekomendasi kebijakan atau advokasi.