P
engantar
Pada akhir Agustus s/d awal September 2020 lalu terjadi polemik pengucapan kata “Anjay” yang viral di kanal YouTube. Polemik ini dipantik oleh pemain sinetron, model dan DJ, Lutfi Agizal vs. barisan pembela “Anjay” seperti Young Lex, Rizky Billar, Nikita Mirzani. Polemik kemudian ditimpali (dimoderasi) pesohor YouTube seperti Deddy Corbuzier dan Denny Sumargo , sampai akhirnya mluber ke ranah publik virtual yang lebih luas serta diliput sejumlah media daring seperti kompas.com, detik.com, pikiran-rakyat.com, liputan6.com, tempo.co, tribunnews.com, viva.co.id, dan suara.com.
Menurut ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Sirait, ‘anjay’ bisa dimasukkan ke dalam kekerasan verbal seperti tercantum dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kata ‘anjay’ bisa ditujukan untuk merendahkan martabat dengan seolah-olah menggantikan kata anjing.
Namun benarkah pengucapan kata “Anjay” seperti dipersoalkan Agizal, Sirait, dll. (barisan kontra-Anjay) sebagai ‘kata yang merendahkan/menghina orang lain, dan ciri dekadensi moral yang harus segera dihentikan’ ini menunjuk pada intensi buruk/jahat dari si penutur? Atau, justru viralitas “Anjay” (dan sejumlah bahasa gaul lainnya yang muncul digunakan dalam satu dekade ini, seperti lebay, jablay, alay, dll.) dapat dipahami sebagai “ekspresi bentuk seni dalam lingkungan teknologi baru?” Sebagian lainnya mungkin bertanya, jangan-jangan ini cuman bentuk ‘main-main’ dari penggiat budaya pascamodernis yang bertumpu pada ‘penalaran ironis’?
Penulis akan menganalisis sekelumit persoalan sosial-budaya di atas dengan menggunakan dua kerangka bacaan utama berikut.
membaca amanah dari tulisan awali McLuhan 50 tahun lalu (1964) bukan lagi terletak pada apakah kita mempersilakan medium itu hadir sebagai pendatang baru di depan kita
Membaca Ulang Media Hot & Cold dalam Understanding Media (McLuhan, [1964] 1994)
Membaca Understanding Media: The Extensions of Man karya McLuhan perlu diletakkan dalam perspektif sejarah keilmuan Komunikasi, Kajian Media, dan Perkembangan Teknologi maupun dampaknya terhadap cara berpikir tentang Ekologi Media secara keseluruhan (Islas, 2016) maupun tentang keserbahadiran “Medium sebagai Pesan” itu sendiri (Jin, 2015), atau, dkl. Ontologisasi Media.
Terkait Ekologi Media, pernyataan Robert K. Logan, murid dari McLuhan dan seorang anggota generasi kedua dari mazhab Toronto mengatakan demikian:
Karenanya, membaca amanah dari tulisan awali McLuhan 50 tahun lalu (1964) bukan lagi terletak pada apakah kita mempersilakan medium itu hadir sebagai pendatang baru di depan kita (Media baru seperti YouTube, misalnya) namun bahwa “the medium has already trespassed on the territory of our existence and become our innate epistemological faculty or subjectivity that dominates” (Jin, 2015: 819).
Dalam Pengantar untuk edisi kedua bukunya (1994), McLuhan memproblematisasi perubahan semantik dari kata hot dan cool yang tadinya berarti “deeply involved” (hot) dan “detached objectivity dan disinterestedness” (cool) menjadi pemaknaan cool sebagai terminologi bahasa gaul (Slang) yang baru, yaitu “sejenis komitmen dan partisipasi dalam situasi-situasi yang melibatkan keseluruhan daya kemampuan kita” (McLuhan, 1994: 5). McLuhan lebih jauh menjelaskan bahwa dalam Understanding Media, khususnya bab berjudul “Media Hot and Cold” (McLuhan, 1994: 26-35), yang mau ia tunjukkan adalah perubahan-perubahan struktural berskala besar dalam ‘cara melihat manusia’ (new perceptual habits), yang salah satunya muncul dari cara manusia menggunakan bahasa dan media berbasis teknologi.
yang mau ia tunjukkan adalah perubahan-perubahan struktural berskala besar dalam ‘cara melihat manusia
Secara lebih khusus, bahasa Slang, demikian McLuhan, menjadi metafor yang menarik untuk menangkap dan memahami perubahan-perubahan struktural itu karena keberadaannya tidak didasarkan pada teori-teori (Media), namun pada pengalaman langsung (immediate experience) penggunanya, sehingga ia dapat dijadikan ancer-ancer segera untuk mendeteksi perubahan persepsi tersebut (McLuhan, 1994: 6).
Datangnya teknologi baru dan gugus perubahan yang dibawanya serta menjadi latar belakang bagi terciptanya lingkungan baru juga. Pada era media elektronik sebagai medium baru, misalnya, kontennya masih lawas, yaitu era industri, namun yang sudah ditransformasi menjadi sebuah bentuk seni (an art form). Kehadiran TV sebagai medium baru, kontennya masih lawas yaitu film (layer lebar), begitu seterusnya ketika ditarik mundur sampai ke era Yunani klasik, Plato, ketika tulisan (Greek alphabet) sebagai medium baru yang mentransformasi dialog lisan sebagai kontennya menjadi bentuk seni.
Mengikuti logika distingtif “hot and cool media” McLuhan di atas, tidak sulit memahami bahwa yang dimaksud “hot media” adalah media yang sarat dengan data dan minim partisipasi (pendengar, pemirsa), sementara “cool media” adalah karakter media yang tinggi dalam partisipasi atau completion oleh audiens (McLuhan, 1994: 26). Pembedaan karakteristik hot and cool media ini juga tentu saja berdampak pada penerimaan audiens (media effects/reception), misalnya dalam hal penyensoran konten media (otonomi/heteronomy), pembelajaran (langsung/berjenjang, pribadi atau terlembaga, sensory/cognitive-oriented) dan identitas diri (terfragmentasi/tidak).
Cool Modernity: Membaca Modernitas dan Budaya Pascamodern (McGuigan, 2006)
Terinspirasi oleh distingsi hot and cool media McLuhan di atas, McGuigan mengkonseptualisasikan wajah modernitas sekarang sebagai cool modernity yang digerakkan oleh proses cool seduction. Berikut tesis yang diajukan McGuigan dalam bukunya Modernity and Postmodern Culture (edisi kedua, terbit 2006):
Sebelum sampai ke tesis di atas, mari kita simak genealogi singkatnya. Dalam buku MPC ini, McGuigan memahami kelindan antara tarikan konsep modernitas dan dorongan impuls pascamodernitas dalam dunia yang semakin mengglobal, tanpa jatuh ke dalam jebakan reduksionistik salah satu kubu , entah itu merasionalisasikan segala hal yang dilabeli modern, termasuk pemikiran/konseptualisasi maupun merelativisasi gugus kritik yang dilabeli pascamodern.
“McGuigan memahami kelindan antara tarikan konsep modernitas dan dorongan impuls pascamodernitas dalam dunia yang semakin mengglobal, tanpa jatuh ke dalam jebakan reduksionistik salah satu kubu”
Pada dasarnya McGuigan setuju bahwa dalam konteks dunia yang semakin mengglobal dan terhubung, tetap perlu dibedakan antara gugus budaya yang semakin bercirikan pascamodern (dalam hal seni, hiburan, dan kehidupan sehari-hari) dengan epistemologi yang tetap bercirikan modern, meskipun mengalami transisi moda rasionalitas, dari instrumental menjadi cynical/ironic dan berujung pada critical. Tegasnya, “perbedaan cara menalar menghasilkan perbedaan fungsi. Nalar instrumental itu berguna tapi buta. Nalar ironis itu menyenangkan tapi tidak bertanggungjawab. Nalar kritis itu penting menghidupkan” (McGuigan, 2006: 171).
Ada kekuatan tunggang-langgang berakar tunggang yang tidak terperi pertumbuhan dan ekspansinya, yaitu hegemoni kekuasaan pasar dengan dorongan pencarian keuntungan dan akumulasi kapital, alias KAPITALISME
McGuigan membuka bukunya dengan menandaskan fakta bahwa pada pergantian Milenium yang lalu, kita merasa hidup dalam zaman yang serba tidak pasti, the uncertainty & unexpected abound. Ada kekuatan tunggang-langgang berakar tunggang yang tidak terperi pertumbuhan dan ekspansinya, yaitu hegemoni kekuasaan pasar dengan dorongan pencarian keuntungan dan akumulasi kapital, alias KAPITALISME.
Dengan bubarnya Uni Soviet (1988), runtuhnya tembok Berlin (1989) dan terpecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara independen (1992), Komunisme tidak lagi menjadi ideologi alternatif seteru Kapitalisme bahkan di negara-negara kapitalis sendiri, ide demokrasi sosial semakin merosot menjadi ‘kurang sosialis’.
Dalam arti ini, kisah modernitas menjadi proyeksi masyarakat dan struktur sosial yang paripurna. Juga meskipun ratapan TINA (There Is No Alternative) terus bergaung di berbagai penjuru dunia, ada juga gerakan lain yang terus berdenyut, yaitu gerakan mewujudkan keadilan global sebagai bagian dari gugus kritik terhadap Kapitalisme (Klein, 2000).
Intinya, muncul-hadirnya “Pascamodernisme” perlu dibaca sebagai bagian integral dari gugus kritik yang meluas terhadap totalisasi ideologi, cara pengaturan, logika dominan dan praktik kekuasaan pasar yang hegemonik yang dipaksakan Kapitalisme (dalam sosok paham Neo-Liberalisme sebagai Filsafat Politik dan Budaya).
McGuigan membedakan istilah postmodernism dan postmodernity. Menurutnya, Pascamodernisme merujuk pada ide-ide filosofis, yang sebagian besar turunan dari teori pascastrukturalis dan formasi-formasi budaya yang erat dikaitkan dengan mentasnya budaya pop secara global. Sementara, pascamodernitas merujuk pada klaim-klaim masyarakat ataupun peradaban yang kurang lebih mendukung klaim besar bahwa kita sedang hidup dalam periode sejarah transisi dari modern ke pascamodern.
McGuigan sendiri tidak sepenuhnya setuju bahwa peradaban kapitalis dan kapitalisme sudah terbukti secara sah dan meyakinkan dilampaui oleh bentuk-bentuk peradaban dan ide filosofis besar lainnya, terutama dengan melihat fakta sejarah runtuhnya Komunisme di atas. Karenanya, McGuigan cenderung melihat kapitalisme bukan hanya sebagai sistem ekonomi yang sedang berkuasa, namun juga sebagai “sebuah tahapan lanjut dari perkembangan sosial…yang sekarang banyak dianggap tidak lagi dapat dilewati” (McGuigan, 2006: 3).
“McGuigan cenderung melihat kapitalisme bukan hanya sebagai sistem ekonomi yang sedang berkuasa”
Dalam arti inilah maka tesis McGuigan (2009) tentang cool capitalism sebagai modus essendi translasi disafeksi menjadi acceptance dan compliance dan cool seduction sebagai modus vivendi demokratisasi konsumerisme terlegitimasi secara sosio-budaya (bdk. Samuels, 2009).
Menarik untuk mempersoalkan lebih jauh polemik ‘anjay’ yang diangkat pada bagian Pengantar tadi, juga fenomena munculnya banyak bahasa gaul “baru” yang lain setelah mentasnya era New Media, dengan bertanya, misalnya, bagaimana menjelaskan viralitas bahasa gaul dalam Ekologi Media Baru, contohnya: YouTube as ‘cool media’ (McLuhan, 1994)? atau, dengan menempatkan diri sebagai seorang periset media berparadigmakan kritis, bagaimana menjelaskan tahapan-tahapan dari viralitas bahasa gaul yang termediatisasi dalam skema instrumental — ironic — critical reason (McGuigan, 2006)?
REFERENSI
Rujukan Utama
McGuigan, J. ([1999] 2006). Modernity and Postmodern Culture, 2nd edition. Berkshire: Open University Press.
McLuhan, M. ([1964] 1994). Understanding Media: The Extensions of Man. New York dan London: Routledge.
Rujukan Pelengkap
Islas, O. (2016). Understanding Media: The Extensions of Man (1964), the foundations of Marshall McLuhan’s tetrad. Explorations in Media Ecology, 15(1), 81-91.
Jin, H. (2015) Understanding media’s extensions Commemoration of the 50th anniversary of the publication of Marshall McLuhan’s Understanding media: the extensions of man. Critical Arts: South-North Cultural and Media Studies, 29(6), 818-826. DOI: 10.1080/02560046.2015.1151118
Logan, R. (2010). Understanding New Media: Extending Marshall McLuhan. New York: Peter Lang.
McGuigan, J. (2009). Cool Capitalism. London dan New York: Pluto Press.
Samuels, R. (2009). New Media, Cultural Studies, and Critical Theory after Postmodernism: Automodernity from Zizek to Laclau. New York: Palgrave Macmillan.
Catatan Akhir
[1] “ANJAY LUTFI AGIZAL MAU LOE APA SIH⁉ Deddy Corbuzier Podcast” diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=QYwcLV_bkNI
[1] “SAH!! SEMUA BOLEH NGOMONG ANJAY!!” diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=z321QdKiw0w