Home Kajian Lanskap Pemikiran Kritis: Tantangan dan Dinamika dalam Pendidikan

Lanskap Pemikiran Kritis: Tantangan dan Dinamika dalam Pendidikan

407
0
Ilustrasi pemikiran kritis. Istimewa

Berpijak pada penerapan Kurikulum Merdeka di semua jenjang satuan pendidikan, dapat diambil beberapa poin penting terkait gagasan mengenai berpikir kritis dalam konteks edukasi pembelajaran. Pertama-tama, perlu diakui bahwa berpikir kritis telah menjadi elemen sentral dalam perkembangan filsafat pendidikan selama empat puluh tahun terakhir.

Fenomena ini tercermin dalam pertumbuhan industri bernilai milyaran rupiah yang secara khusus memproduksi materi pendidikan, seperti buku, kursus, dan pamflet, dengan tujuan mengajarkan orang untuk berpikir kritis dalam berbagai konteks, mulai dari sejarah hingga ilmu pengetahuan dan sastra.

Konsep kritis ini, sebagaimana diuraikan oleh Ennis (dalam Winch & Gingell 2008:44), mencakup pengembangan keterampilan berpikir umum yang menjadi dasar bagi semua pemikiran masuk akal. Keterampilan tersebut melibatkan kemampuan mengamati, menyimpulkan, menggeneralisasi, memahami, dan menyatakan asumsi serta alternatif lainnya.

Tujuan dari pengajaran keterampilan pemikiran kritis terkait pada peningkatan kinerja siswa dalam berbagai bidang intelektual yang mereka minati. Pengajaran kritis tidak hanya memahamkan siswa terhadap konten akademis, tetapi juga membekali mereka dengan kemampuan berpikir kritis yang dapat diterapkan secara luas dalam kehidupan sehari-hari.

Seiring perkembangan pemikiran kritis, penting bagi pendidikan untuk terus mengeksplorasi dan mengatasi tantangan, seperti masalah transfer keterampilan antar domain, sehingga mampu menghasilkan generasi yang lebih mampu menganalisis, menyaring informasi, dan mempertanyakan dengan kritis dalam berbagai konteks.

Meskipun ada dukungan terhadap pengajaran keterampilan berpikir kritis, ada pula beberapa perdebatan dan tantangan. Salah satu yang cukup mencolok yakni masalah transfer keterampilan dari satu domain ke domain lain. Sebagai contoh, kemampuan berpikir matematis mungkin tidak dapat langsung diterapkan dalam sains tanpa pemahaman yang cukup tentang sains itu sendiri. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam mentransfer keterampilan berpikir kritis ke berbagai konteks.

Sejumlah kritikus, seperti Paul (dalam Winch & Gingell, 2008:44), menghadirkan perbedaan yang signifikan antara pemikiran kritis yang “lemah” dan “kuat.” Pemikiran kritis yang dianggap kuat memiliki ciri khas mampu berdiri sendiri, dapat diterapkan pada asumsi dan argumen sendiri, dan dilengkapi dengan kebajikan intelektual seperti kejujuran, keberanian, dan kerendahan hati.

Dalam pandangan demikian, pemikiran kritis yang kuat menjadi daya pendorong utama untuk membedakan antara alasan baik dan buruk, serta mampu menghindari egosentrisme dan sosiosentrisme dalam penalaran. Meskipun demikian, pandangan tersebut juga menimbulkan potensi untuk jatuh ke dalam relativisme kognitif, di mana penilaian objektif terhadap penalaran dapat terabaikan.

Sementara keberagaman pandangan dalam pemikiran kritis memberikan dimensi kompleksitas, perdebatan mengenai kekuatan dan kelemahan antara pemikiran kritis yang “lemah” dan “kuat” menjadi arena vital untuk dinavigasi dalam mengembangkan pendidikan yang efektif.

McPeck (dalam Winch & Gingell, 2008:45), sebagai kritikus utama terhadap konsep pemikiran kritis, menyampaikan pandangan menantang. Menurut dia, semua pemikiran, kecuali pada tingkat paling sepele, bersifat spesifik pada subjek dan sangat bergantung pada pengetahuan subjek tersebut.

Dalam konteks tersebut, McPeck menyarankan bahwa pendekatan pengajaran sebaiknya dilakukan oleh individu yang memiliki keahlian mata pelajaran yang diperlukan. Artinya, para siswa seharusnya diajar oleh para ahli yang memiliki pemahaman mendalam terhadap subjek tertentu, seiring dengan penekanan pada pengetahuan praktis.

Meskipun argumen dia menyoroti pentingnya keahlian dalam proses pengajaran, pandangan McPeck juga memberikan kontribusi terhadap diskusi seputar batasan transferabilitas keterampilan berpikir kritis antar domain, yang merupakan tantangan mendasar dalam membangun fondasi pendidikan holistik dan efektif.

Dalam rangka meningkatkan keterampilan berpikir umum, penting untuk melakukan penelitian empiris yang menyelidiki keberhasilan dan kegagalan siswa yang diberikan kursus berpikir kritis terpisah serta siswa yang diperkenalkan pada pemikiran kritis sebagai bagian dari pelatihan mereka dalam disiplin ilmu tertentu.

Penting untuk mempertimbangkan hubungan antara akal dan nilai dalam konteks berpikir kritis. Posisi Siegel, sebagaimana disampaikan dalam karya Winch & Gingell (2008:46), menyoroti dua unsur utama dalam berpikir kritis: unsur epistemik dan semangat kritis.

Unsur epistemik menekankan pada keterampilan atau kemampuan individu dalam menilai alasan dan argumen berdasarkan kriteria epistemik dan logis, memungkinkan mereka untuk membedakan antara alasan baik dan buruk. Sementara itu, semangat kritis merupakan suatu kompleksitas watak, sikap, kebiasaan berpikir, dan sifat-sifat karakter yang memastikan individu peduli untuk mencari alasan yang baik dan mempertanyakan alasan yang buruk.

Dengan demikian, pandangan Siegel menegaskan bahwa berpikir kritis bukan hanya tentang penguasaan keterampilan intelektual, tetapi juga tentang pengembangan karakter dan sikap kritis yang diperlukan dalam mengejar kebenaran dan pengetahuan yang lebih mendalam.

Dalam mengimplementasikan konsep berpikir kritis, pemerintah memegang peran krusial. Perbaikan kecil dan perhatian terhadap kemungkinan efek Hawthorne, yang ditemukan dalam penelitian di pabrik Hawthorne di Amerika pada tahun 1927-1932 bahwa orang-orang bereaksi positif jika diberi perhatian, bahkan jika terdapat perubahan dalam kondisi material mereka, perlu diperhatikan.

Efek ini menggarisbawahi pentingnya pengembangan skema pendidikan yang memperhitungkan aspek psikologis dan motivasi siswa. Integrasi berpikir kritis ke dalam seluruh kurikulum pendidikan menjadi suatu langkah positif untuk menciptakan lingkungan pembelajaran mendalam dan holistik. Pendidikan yang mencakup berpikir kritis tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga melibatkan pengembangan kemampuan berpikir yang mendalam, yang dapat diterapkan sepanjang kehidupan.

Sebagai catatan akhir, walaupun lanskap berpikir kritis mendapatkan perdebatan dan tantangan, pengembangan keterampilan yang demikian tetap menjadi fokus penting dalam pendidikan. Meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami, menganalisis, dan menilai informasi secara kritis dalam berbagai konteks menjadi kunci untuk menciptakan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mampu bersikap kritis, responsif terhadap nilai, dan mampu menghadapi kompleksitas dunia yang terus berkembang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here