Home Berita Alumni Forum Praksis Bahas Laudato Si’ dan Krisis Pengungsian Akibat Bencana Ekologis

Forum Praksis Bahas Laudato Si’ dan Krisis Pengungsian Akibat Bencana Ekologis

219
1
Romo Martinus Dam Febrianto SJ, lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sekarang menjadi Direktur Jesuit Refugee Service Indonesia bicara tentang dampak perubahan iklim terhadap migrasi manusia, Jumat (14/02/2025) di Kolese Kanisius, Jakarta. Foto : Abdi Susanto (IKAD0

Jakarta – Krisis lingkungan semakin nyata dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang terpaksa berpindah akibat bencana ekologis. Demikian kesimpulan penting yang didapat dari diskusi bulanan yang diselenggarakan Lembaga Riset dan Advokasi Praksis yang digelar Jumat, (14/2/2025) di Kolese Kanisius Jakarta.

Diskusi yang bertajuk Laudato Si’, Perpindahan Paksa karena Bencana Ekologis, Kiprah Jesuit Refugee Service, dan Kemungkinan Kolaborasi ini menghadirkan Direktur Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia Romo Martinus Dam Febrianto SJ. Romo Dam, begitu dia disapa membahas bagaimana eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, perubahan iklim, serta ketidakadilan sosial telah menciptakan gelombang pengungsi lingkungan yang terus meningkat. Dam juga menyoroti keterkaitan antara krisis lingkungan dan keadilan sosial.

Sepuluh tahun setelah ensiklik Laudato Si’ diterbitkan oleh Paus Fransiskus, kerusakan lingkungan tetap berlangsung dalam laju yang mengkhawatirkan. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan tidak hanya menyebabkan degradasi ekosistem, tetapi juga mengancam kehidupan banyak orang yang harus meninggalkan tempat tinggal mereka akibat bencana yang semakin sering terjadi, kata Dam.

“Krisis lingkungan tidak hanya soal perubahan alam, tetapi juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Banyak masyarakat yang kehilangan rumah dan sumber mata pencaharian akibat banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kenaikan permukaan air laut.”ujar Dam

Dalam ensiklik Laudato Si’, kata Dam mengutip Paus Fransiskus,  ditegaskan bahwa manusia tidak dapat memisahkan krisis ekologi dari krisis sosial. Eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab adalah bentuk ketidakadilan terhadap kelompok paling rentan, terutama mereka yang hidup di daerah pedesaan dan pesisir.

Dampak Perubahan Iklim dan Perpindahan Paksa

Perpindahan akibat bencana ekologis terus meningkat, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ketahanan lingkungan rendah. Data dari Internal Displacement Monitoring Centre menunjukkan bahwa antara 2008 hingga 2023, lebih dari delapan juta orang di Indonesia menjadi pengungsi internal akibat bencana ekologis, kata Dam.

Deforestasi, menurut Dam, menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat degradasi lingkungan di Indonesia. Laporan Global Forest Watch mencatat bahwa sejak 2001, Indonesia telah kehilangan lebih dari 30 juta hektare tutupan pohon. Hilangnya hutan dalam skala besar menyebabkan berkurangnya daya serap air tanah, meningkatkan risiko banjir, serta menghilangkan mata pencaharian bagi masyarakat yang bergantung pada hasil hutan.

Selain itu, naiknya permukaan air laut dan abrasi pantai semakin memperparah situasi bagi masyarakat pesisir. Di daerah seperti Demak dan Semarang, penurunan muka tanah yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah telah membuat banyak desa terendam air secara permanen. Pulau-pulau kecil seperti Nocnocan di Filipina juga menghadapi masalah serupa, dengan berkurangnya sumber daya alam dan peluang ekonomi yang menyebabkan masyarakat terpaksa bermigrasi.

Namun, meskipun jumlah mereka terus meningkat, kata Dam, para pengungsi lingkungan belum mendapatkan pengakuan dalam hukum internasional. Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi tidak mencakup mereka yang berpindah akibat krisis lingkungan, sehingga mereka sering kali tidak memiliki akses terhadap perlindungan hukum dan bantuan kemanusiaan yang memadai.

Upaya Jesuit Refugee Service dalam Pendampingan dan Advokasi

JRS Indonesia, ungkap Dam, telah lama aktif dalam mendampingi komunitas yang terdampak bencana ekologis melalui berbagai program riset dan advokasi. Salah satu inisiatif utama adalah Research and Advocacy for Climate Policy and Adaptation (RACPA), yang bertujuan memahami keterkaitan antara perubahan iklim dan migrasi paksa.

Melalui kerja sama dengan Environmental Science for Social Change (ESSE) dan Institute for Social Research, Democracy, and Social Justice (Percik), JRS mendampingi komunitas pesisir di Wonoagung (Demak), Tambakrejo (Semarang), dan Pulau Nocnocan (Filipina).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat tetap bertahan di wilayah terdampak karena ikatan keluarga dan mata pencaharian. Namun, tanpa adanya langkah adaptasi yang efektif, mereka berisiko kehilangan lebih banyak aset, baik dalam bentuk ekonomi maupun sosial.

Selain riset, JRS juga menjalankan program Walking with Refugees and Asylum Seekers, yang mendukung pengungsi di Jakarta dan Bogor melalui layanan kesehatan mental, edukasi, serta advokasi. Di Aceh, JRS bekerja sama dengan Danish Refugee Council dalam proyek Protecting Refugees in Asia (PRiA) untuk meningkatkan perlindungan bagi pengungsi Rohingya yang terdampar.

“JRS juga menggunakan metode pemetaan komunitas dan wawancara dengan pemangku kepentingan untuk meninjau kebijakan yang ada dan mencari celah yang dapat diperbaiki dalam advokasi perlindungan pengungsi akibat perubahan iklim,”ujar Dam.

Seruan untuk Aksi Kolektif

Dalam forum ini, Romo Dam juga mengajak peserta menyoroti bahwa krisis lingkungan bukan hanya persoalan ekologis, tetapi juga merupakan persoalan moral dan spiritual. Dalam dokumen Pastoral Orientations on Climate Displaced People (POCDP), Vatikan menyerukan perlunya perlindungan lebih besar bagi pengungsi akibat perubahan iklim.

Dam lalu mengusulkan beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan bersama:

  • Edukasi dan penyadaran publik mengenai dampak perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Banyak yang masih menganggap perubahan iklim sebagai ancaman jangka panjang, padahal efeknya sudah terasa saat ini.
  • Advokasi kebijakan yang lebih kuat dalam regulasi eksploitasi sumber daya alam dan perlindungan bagi komunitas yang terdampak. Korupsi dan kepentingan politik sering kali menghambat upaya menciptakan kebijakan lingkungan yang berkelanjutan.
  • Peningkatan dukungan bagi pengungsi lingkungan, termasuk akses terhadap tempat tinggal, layanan kesehatan, serta peluang ekonomi agar mereka dapat beradaptasi dengan kondisi baru.

Romo Dam juga menegaskan bahwa pendekatan teknokratis semata tidak akan cukup untuk mengatasi masalah ini. Seperti yang disampaikan dalam Laudate Deum, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa dunia sudah berada dalam kondisi darurat ekologis, dan solusi yang diambil harus lebih berani serta menyentuh akar persoalan.

Sebagai penutup, Dam Febrianto menegaskan bahwa semua pihak, baik pemerintah, organisasi masyarakat sipil, maupun komunitas keagamaan, harus bekerja sama untuk mengatasi krisis ini. “Bumi adalah rumah kita bersama, dan merawatnya adalah tanggung jawab kita semua,” ujarnya.

Forum diskusi ini, kata Dam, menjadi pengingat bahwa waktu untuk bertindak semakin sempit. Dengan riset yang kuat, advokasi yang berkelanjutan, serta kesadaran kolektif yang lebih tinggi, diharapkan langkah-langkah nyata dapat segera diambil untuk melindungi mereka yang paling rentan dari dampak perubahan iklim.

1 COMMENT

  1. Selalu salut dengan JRS. Sebagai orang yang saat ini baru mulai bekerja dalam mendukung faith-based climate actions, saya penasaran mengenai apa sajakah upaya-upaya yang sudah dilakukan organisasi katolik dalam advokasi kebijakan terkait perubahan iklim terkait perwujudan nyata laudato si’?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here