Home Kajian Ilusi Kesatuan: Sains, Filsafat, dan Keterbatasan Persepsi dalam Memahami Realitas

Ilusi Kesatuan: Sains, Filsafat, dan Keterbatasan Persepsi dalam Memahami Realitas

16
0

Dalam upaya memahami realitas, manusia sering terjebak dalam ilusi kesatuan—keyakinan bahwa sains dan filsafat dapat secara sempurna menggambarkan dunia. Sains, dengan metodologi empiris, berusaha menjelaskan fenomena alam melalui pengukuran dan eksperimen, sementara filsafat menggali makna dan hakikat dari segala yang ada. Akan tetapi kedua pendekatan ini menghadapi keterbatasan persepsi manusia yang tak terhindarkan.

Pengalaman sensorik manusia tidak dapat menangkap seluruh kompleksitas realitas, sehingga apa yang dianggap sebagai kebenaran mungkin hanya sekadar representasi terbatas dari dunia yang lebih luas. Dalam konteks ini, penting menyadari bahwa pengetahuan, baik melalui sains maupun filsafat, diwarnai oleh keterbatasan ini. Mengakui adanya ilusi kesatuan membuka ruang bagi pemahaman lebih holistik dan inklusif, serta menekankan perlunya kerendahan hati intelektual dalam mengejar kebenaran.

Persepsi telah lama menjadi fondasi dari banyak cabang pengetahuan manusia, baik dalam sains maupun filsafat. Dari perspektif historis, persepsi tidak hanya menjadi titik awal dalam membentuk pengalaman manusia, tetapi juga dianggap sebagai jembatan menuju kebenaran lebih dalam. Namun, di balik kepercayaan ini menurut Maurice Merleau-Ponty (2012) terdapat asumsi yang sering kali tidak disadari: bahwa persepsi secara otomatis mengarahkan seseorang pada pemahaman koheren dan komprehensif tentang dunia. Tulisan ini akan membahas bagaimana asumsi tersebut telah membentuk pendekatan ilmiah dan filosofis, serta bagaimana kesadaran terhadap keterbatasan persepsi dapat membuka jalan bagi refleksi yang lebih kritis terhadap pengetahuan.

Sejak awal, sains dianggap sebagai perpanjangan alami dari gerakan persepsi yang membentuk objek-objek yang dirasakan. Dalam pandangan ini, konsep-konsep ilmiah dianggap sebagai alat memperbaiki dan mengobjektifikasi fenomena, menghubungkan peristiwa-peristiwa dengan kondisi fisik yang mendasari perubahan tersebut. Misalnya, sains mendefinisikan sifat-sifat kimiawi dari tubuh murni secara statistik dan menggunakannya dalam menyimpulkan sifat-sifat tubuh empiris. Dengan demikian, sains tampaknya menemukan kembali rasio imanen di dunia, seolah-olah memiliki cetak biru penciptaan itu sendiri.

Akan tetapi di balik keyakinan ini terdapat presupposisi bahwa persepsi seseorang, meskipun belum sepenuhnya teoritis, sudah cukup guna menyingkap realitas yang mendasarinya. Dalam analisis Merleau-Ponty (2012) sains sering kali mengabaikan fakta bahwa kerja ilmiah itu sendiri didasarkan pada asumsi-asumsi perseptual. Persepsi, dengan implikasi hidupnya, muncul sebagai persepsi tentang keberadaan. Oleh karena itu, refleksi filosofis cenderung puas mencari kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan tersebut tanpa perlu menelusuri genealogi keberadaannya.

Kendati demikian, ketika seorang mulai mempertimbangkan transformasi kesadaran yang menentukan, dan mengakui bahwa konstitusi objek tidak pernah sepenuhnya lengkap, dia menyadari bahwa objek yang dipelajari selalu lebih dari sekadar apa yang bisa dijelaskan oleh sains. Merleau-Ponty (2012) menegaskan bahwa objek alamiah tetaplah satu kesatuan ideal yang dibentuk oleh sifat-sifat umum. Bahkan ketika seseorang mencoba mereduksi prinsip-prinsip ilmiah menjadi nilai metodologis semata, dia masih terjebak dalam pola pikir yang sama: keberadaan yang bisa dipahami hanya melalui metode ilmiah.

Pergeseran ini memunculkan dua masalah utama, yakni pertama, tubuh hidup tidak dapat luput dari determinasi-determinasi yang membuat objek menjadi objek, dan kedua, subjektivitas manusia diubah menjadi sekadar mekanisme tanpa interior. Dalam pandangan fisiologi mekanistik, tubuh hidup direduksi menjadi serangkaian hubungan kausal. Ekspresi manusia – gestur, senyum, nada suara – yang dulunya dianggap sebagai manifestasi dari cara manusia berada di dunia, kini dilihat sebagai hasil dari proses fisiologis. Tubuh hidup, dalam hal ini, kehilangan statusnya sebagai ekspresi dari Ego konkret dan menjadi satu objek di antara objek-objek lainnya.

Dalam konteks ini, persepsi terhadap orang lain juga berubah. Tubuh orang lain tidak lagi muncul sebagai selubung Ego lain, tetapi sebagai mesin, automaton, tanpa kesadaran nyata di dalamnya. Dengan demikian, dalam kajian Merleau-Ponty (2012) konsep diri yang konkret dan pengalaman antar pribadi tereduksi menjadi fenomena deterministik yang dikendalikan oleh hukum fisiologis dan psikologis. Tidak ada lagi “untuk diri” yang otentik, kecuali dalam pikiran ilmuwan yang mempelajari sistem ini dan yang, ironisnya, tidak lagi memiliki tempat di dalamnya.

Pada akhirnya, Merleau-Ponty (2012) memandang naturalisme sains dan spiritualisme subjek universal yang disingkap oleh refleksi ilmiah menciptakan pengalaman datar. Di hadapan “Aku” yang konstituensial, “Aku” empiris hanyalah sebuah objek. Konsep diri empiris menjadi gagasan tidak sah, campuran antara “untuk diri” dan “dalam dirinya”, yang tidak dapat diberikan status oleh filsafat reflektif. Ilmu pengetahuan, dengan segala prestasi, telah membawa manusia ke sebuah filsafat transparan yang berlanjut dengan mengikuti gerakan pengetahuan yang dimulai oleh persepsi. Persepsi, dalam hal ini, mungkin dianggap sebagai ilmu yang sedang berkembang, dan sains sebagai persepsi metodis dan lengkap.

Kendati demikian, kesadaran akan keterbatasan persepsi dan asumsi-asumsi yang mendasari mengharuskan seseorang dalam merefleksikan kembali, apakah pengetahuan dia yang didasarkan pada sains benar-benar mencerminkan realitas secara utuh. Sains, dengan segala metodologinya yang canggih, mungkin hanya mengungkap sebagian dari realitas lebih kompleks dan dalam. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lebih kritis dan reflektif terhadap persepsi dan pengetahuan, untuk benar-benar memahami dunia tempat manusia hidup.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here