Digumpalkan dari Arendt, Hannah, The Origin of totalitarianism. (Jilid II) : Imperialism. New York: Meridian Books, 1970, hlm.138-157; “diambil dari bab V tesis yang tak pernah diujikan, karena masa studi sudah kebablasan lewatnya”
Setelah Leviathan, para pemikir pemikir mengembangkan pemikiran mereka tentang demokrasi, yang alasan terbesarnya adalah menanggapi Hobbes. Itulah jasanya. Rousseau, Kant, Hegel, John Locke, Hannah Arendt hingga Franz Magnis Suseno di era kita tidak kenal lelah mengkritik pandangan-pandangan Hobbes yang serba ambigu dan tidak konsisten. Tetapi mengapa pemikiran Hobbes itu tetap dipakai sebagai batu loncatan jawa: keset untuk para pemikir melompat kepada apa yang seharusnya? Tidak lain karena kata salah satu pembelanya. “Hobbes itu terlalu besar untuk dianggap sepi”
Kali ini lady first, kita lihat dan kritik terhebat dari Hannah Arendt
Kritik Hannah Arendt (1906-1975)[1]
Hannah Arendt melihat Hobbes sebagai filosof yang menjadi corong imperialis masyarakat borjuis-kapitalis yang mengejar “kekuasan demi kekuasaan sampai akhir” ( Seek Power to Power untill death). Filsafat semacam ini, menurut Arendt sangat menakutkan karena akan berakhir pada kehancuran semua. Sebab, tanpa mengandaikan masyakat borjuis yang melahirkan kapitalisme, Hobbes tidak bisa sampai pada gerak yang mutlak perlu untuk berjalannya masyarakat. Itulah latar belakang kritik Hannah Arendt ini.
Penulis coba menggumpalkan garis pemikiran Hannah Arendt — filosof wanita terbesar Abad XX — yang megah dan amat tajam ini ini seutuh mungkin, –sayang bila dibiarkan lewat — dan diberi anak judul sekedar untuk mudah diikuti dari dekat.
B.4.1. Hobbes Filosof Borjuis
Imperialis adalah tahap awal hasrat kaum borjuis, yang semula tidak begitu berminat memerintah, mereka cukup puas dengan bentuk negara yang melindungi hak milik pribadi. Bagi mereka negara hanyalah kekuatan polisional. Dan ‘kerendahan hati palsu ini” membuat kaum borjuis berada di luar Negara. Mereka hanya peduli dengan akumulasi kekayaan, akumulasi power, “might is right” sebagai hasil dari masyarakat yang saling berkompetisi.
Orang modern yang mendewakan kekuasaan, jelas sealiran dengan filsafat borjuis Hobbes yang menjabarkan kepentingan umum berdasarkan kepentingan pribadi, dan yang atas nama kepentingan pribadi membentangkan gagasan tentang negara yang didasari oleh –serta terarah pada — tujuan akhir: akumulasi kekuasaan.
“Leviathan merupakan satu-satunya teori politik yang mengajarkan bahwa negara tidak dibangun atas dasar suatu hukum dasar –entah itu hukum Tuhan, hukum kodrat atau hukum kontrak sosial – yang memastikan benar dan salah kepentingan individu berhadapan dengan Negara, bukan berdasarkan kepentingan individu itu sendiri, melainkan “kepentingan pribadi adalah sama dengan kepentingan Negara”.[2]
Manusia Hobbesian adalah makhluk tanpa rasio, tanpa kemampuan menangkap kebenaran, tanpa kehendak bebas, tanpa kemampuan bertanggungjawab, maka manusia Hobbessian hanya memainkan fungsi dalam masyarakat, karena harganya ditaksir berdasarkan seberapa banyak yang akan diberikannya bagi penggunaan kekuasaan. [3]
Kekuasaan dengan demikian di mata Hobbes ialah akumulasi kontrol yang memungkinkan individu menetapkan harga dan mengatur penawaran dan permintaan untuk memperbesar keuntungan. Individu lalu akan melihat keuntungannya dalam isolasi total, dari sudut pandang minoritas absolut. Dan ia akan memperjuangkan kepentingannya dengan bantuan mayoritas. Oleh karena manusia hanya digerakkan oleh kepentingan individual sendiri, hasrat untuk berkuasa merupakan passion fundamental, yang mengatur semua ambisi lain, sebab kekayaan, pengetahuan dan kehormatan tumbuh dari nafsu akan kuasa.
B.4.2. Kritik terhadap konsep Negara Hobbes
Hobbes memperlihatkan bahwa dalam struggle for power, semua manusia setara, dalam kemampuan alamiah untuk saling bunuh. Kelemahannya dapat ditutup dengan guile, kelicikan. Kesamaan tiap orang sebagai pembunuh potensial, menempatkan semua orang pada kondisi tidak aman yang sama, dari sinilah muncul Negara. Raison d’etre negara adalah demi rasa aman individu, yang merasa diri terancam.
Gambaran Hobbes ini jelas tidak realistis. Sebab bila benar seperti itu, maka manusia tidak akan mampu mendirikan lembaga politik apapun. Dan memang Hobbes tidak ingin memasukkan manusianya itu secara nyata ke dalam suatu komunitas politik.
Manusia menurut Hobbes tidak perlu punya loyalitas kepada negara jika kalah perang, dan setiap pengkhianatannya kalau ia ditawan akan diampuni. Mereka yang tinggal di luar hukum negara diizinkan untuk dibunuh, sementara “ tak seorang pun punya kebebasan untuk melawan pedang negara guna membela orang lain, entah orang itu bersalah atau tidak” to resist the Sword of the Commonwealth in defence of another man, guilty or innocent, no man hath Liberty”. Itu berarti di antara manusia tidak ada persahabatan maupun tanggungjawab.
Yang mempersatukan manusia ialah kesamaan kepentingan karena “suatu Kejahatan Besar diduga bakal menyebabkan kematian semua orang” (some Capitall Crime. For which everyone of them expecteth death”), dalam hal ini mereka berhak untuk “resist the Sword of Commonwealth” to join together, and assist one another…” (melawan pedang Negara, untuk bersatupadu dan saling membela… ), sebab bagi mereka yang terpenting hanyalah mempertahankan hidup.
Maka bagi Hobbes menjadi warga negara hanyalah bersifat sementara, yang tidak mengubah karakter soliter individu, (yang dalam kebersamaan dengan orang lain tidak memperoleh nikmat, malah merasa terganggu karena tak kuasa membuat mereka kagum padanya). Seakan-akan gambaran Hobbes tentang manusia membatalkan tujuannya untuk meletakkan dasar bagi suatu negara, dan menyodorkan pola konsisten bahwa komunitas yang sejati dapat dihancurkan dengan mudah.
Ketikdakstabilan ini inheren dalam konsep Hobbes tentang negara, di dalamnya termuat pembubarannya sendiri. Bila dalam suatu perang, musuh menang, maka negara pun bubar, dan setiap orang boleh melindungi diri mereka masing-masing.[4] suatu ketidakstabilan yang mencolok, mengingat tujuan utama Hobbes yang ulang kali ditegaskan ialah to secure a maximum fo safety and stability.
Tentu tidak adil bagi matabat Hobbes sebagai filsuf apabila kita beranggapan bahwa gambarannya tentang manusia merupakan upayanya mencapai realisme psikologis atau kebenaran filosofis. Faktanya Hobbes tak berminat pada satu pun di antaranya, dan hanya peduli pada struktur politik saja, dan ia melukiskan ciri-ciri manusia yang membutuhkan hadirnya negara sebagai Leviathan.
Agar argumennya meyakinkan, ia memaparkan bagan politisnya seakan-akan bertolak dari tinjauan realistis tentang manusia yang “mengejar kekuasaan demi kekuasaan”, dari sini ia bergerak ke arah penyusunan suatu lembaga politik yang cocok bagi “binatang yang haus kuasa dan menakutkan” itu.
Lembaga politik Hobbes disusun demi keuntungan masyarakat borjuis baru abad ke-17 dan sketsa jenis manusia baru macam apa yang cocok dengan lembaga politik itu adalah Negara yang didasarkan pada pendelegasian kekuasaan dan bukan pendelegasian hak-hak. Lembaga politik itu diberi monopoli untuk membunuh dan sebagai imbalannya ia memberikan jaminan bahwa warga tak bersalah takkan dibunuh. Keamanan ditegakkan oleh hukum, yang merupakan pancaran langsung monopoli negara. Dan karena hukum itu langsung mengalir dari kekuasaan absolut, maka hukum ini pun, di mata individu yang diatur oleh hukum, menghadirkan ketaatan absolut.
Dalam hal hukum yang dimonopoli negara — tidak ada persoalan benar-salah, yang ada hanyalah ketaatan mutlak, karena hak-hak politik dihapus oleh individu itu sendiri — dan diserahkan kepada Negara yang mewujudkan diri dalam bentuk keniscayaan absolut.
Karena tidak boleh berperan dalam urusan publik yang menyangkut seluruh warga negara, individu kehilangan tempatnya dalam masyarakat dan kehilangan hubungan alamiah dengan sesama. Ia hanya dapat menilai kehidupan pribadinya dengan membandingkan dengan kehidupan pribadi lain, dalam bentuk kompetisi. Menurut standar borjuasi, mereka yang tidak beruntung otomatis terhambat untuk berkompetisi. Nasib baik identik dengan kehormatan, nasib buruk dengan kehinaan. Dengan menyerahkan hak politik kepada negara, individu juga mendelegasikan tanggung jawab sosialnya, meminta negara membebaskannya dari kewajiban untuk memelihara fakir miskin sama seperti ia meminta negara untuk melindunginya dari para penjahat.
Perbedaan antara fakir miskin dan penjahat pun lenyap — kedua-duanya berada di luar negara. Orang-orang yang gagal itu tidak bisa mengharapkan lagi sisa-sisa kebajikan kedermawanan warisan peradaban klasik. Hobbes membebaskan mereka yang dikucilkan masyarakat — orang-orang gagal, tidak beruntung, para penjahat — dari semua kewajiban terhadap masyarakat, apabila negara tidak memelihara mereka. Orang-orang itu boleh mengumbar keinginan untuk berkuasa dan boleh mengambil keuntungan dari kemampuan dasar mereka untuk membunuh, dengan demikian memulihkan kembali kesamaan alamiah yang oleh masyarakat coba ditutup-tutupi. Hobbes dalam arti tertentu membenarkan pengorganisasian para sampah masyarakat itu ke dalam geng pembunuh sebagai konsekuensi logis dari filsafat moral kaum borjuis. (pen: mungkin yang dimaksud bagian ini dalam Leviathan adalah “yang terlemah dapat saja membunuh yang terkuat”).
B.4.3. Perdamaian abadi merupakan bahaya
Karena kekuasaan hakikatnya hanyalah sarana meraih tujuan, maka negara yang didasarkan semata-mata pada kekuasaan tentu akan hancur bila keadaan serba aman tenteram, tertib dan stabil. Adanya ketenteraman sempurna hanya akan menyingkapkan bahwa kekuasaan itu dibangun di atas pasir. Maka Hobbes berkata, hanya dengan berusaha memegang kekuasaan yang lebih besar lagi, hanya dengan terus memperluas otoritas dan hanya melalui akumulasi kekuasaan, negara akan stabil. Negara Hobbes persis mengandalkan struktur yang tidak stabil dan senantiasa harus mengusahakan topangan baru; kalau tidak, struktur itu akan hancur dalam semalam, menjadi chaos, tak bertujuan dan tanpa makna.
Hobbes memasukkan keniscayaan akumulasi kekuasaan dalam state of nature, “kondisi perang abadi semua melawan semua”, di mana setiap negara harus berhadapan dengan negara-negara lain, seperti yang dialami oleh setiap individu sebelum tunduk pada Otoritas Negara.Kemungkinan perang yang selalu ada ini membuat Negara tidak permanen, karena negara harus terus untuk memperbesar kekuasaan dengan mengorbankan negara-negara lain.
Tidak ada konsistensi antara dukungan Hobbes bagi perlunya keamanan individu dengan ketidakstabilan yang inheren dalam konsep tentang Negara. Hobbes mencoba meyakinkan kita, pada naluri dasar untuk mendapatkan rasa-aman, yang hanya hidup dalam diri para warga Leviathan, berbentuk ketaatan mutlak terhadap Penguasa yang mempesona mereka, dalam ketakutan yang memukau dan mencekam (in an all-pervading, overwhelming fear)— yang jelas bukan merupakan sentimen dasar manusia yang merasa aman secara otentik.
Titik tolak Hobbes ialah kebutuhan politik dari lembaga sosial borjuis baru yang sedang bangkit, yang keyakinan fundamentalnya adalah akumulasi property tanpa henti yang nyaris menghapus semua rasa aman individu. Hobbes menarik konklusi dari pola-pola perilaku ekonomi dan sosial dengan mengusulkan perubahan revolusioner dalam penyelenggaraan politik. la mengetengahkan lembaga politik baru yang dapat selaras dengan kepentingan sebuah kelas baru. Yang ia hasilkan ialah sebuah gambaran tentang bagaimana manusia seharusnya berperi laku bila ingin hidup dalam masyarakat borjuis.
Penegasan Hobbes bahwa kekuasaan adalah motor dari semua hal, berasal dari proposisi yang secara teoretis tidak dapat diperdebatkan, yakni akumulasi hak milik yang tak kenal henti harus didasarkan pada akumulasi kekuasaan yang tak kenal henti pula.
Ketakstabilan inheren sebuah masyarakat yang didasarkan pada kekuasaan menjadi gambaran proses sejarah yang tak kenal henti. Agar konsisten dengan pertumbuhan terus-menerus, kekuasaan harus mencaplok individu, bangsa-bangsa, dan akhirnya seluruh umat manusia. Proses akumulasi modal yang tanpa batas membutuhkan struktur politik berupa kekuasaan yang juga tanpa batas, sehingga pertumbuhan harta milik yang terus-menerus dapat dilindungi oleh kekuasaan yang juga terus menerus menguat.
Melihat dinamika fundamental kelas sosial baru ini, maka sungguh benar bahwa Hobbes “tidak dapat menjamin kelanggengan kekuasaan dan sarana untuk hidup, yang saat ini ia miliki, tanpa meraih lebih banyak lagi.”. Proses akumulasi kekuasaan yang tak kenal henti ini, yang mutlak perlu untuk melindungi akumulasi modal yang juga tak kenal henti, merupakan pendorong lahirnya ideologi “progresif” akhir abad ke-19 dan mengisyaratkan bangkitnya imperialisme. Kemajuan menjadi hal tak terbendung, bukan karena angan-angan naïf, melainkan karena kesadaran bahwa akumulasi kekuasaan merupakan satu-satunya jaminan bagi stabilitas dari apa yang disebut “hukum-hukum ekonomi”; sadar bahwa kekuasaan yang diorganisir demi kekuasaan akan memperanakkan kekuasaan.
B.4.4. Ujung dari akuisisi oleh Negara: kehancuran semua
Tatkala akumulasi modal tanpa henti itu sudah mencapai batas akhir, yakni batas-batas nasional, kaum borjuis sadar bahwa hanya dengan ideologi “expansion is everything”, diiringi akumulasi kekuasaan, mereka dapat menggerakkan motor kuno itu. Tetapi pada saat yang sama, ketika seakan-akan tampak bahwa prinsip gerak abadi sudah ditemukan, suasana optimistik terhadap ideologi kemajuan pun mendadak terguncang, bukan karena tiap orang mulai ragu bahwa proses itu tidak terhindarkan, namun karena orang mulai menyadari apa yang telah membuat Cecil Rhodes was-was: yakni kondisi manusia dan batas planet bumi merupakan halangan serius bagi proses yang tak dapat dihentikan ataupun dibuat stabil, dan karena itu proses itu akan memulai mata rantai bencana bila suatu kali batas-batas itu dicapai.
Dalam era imperialisme, filsafat kekuasaan telah berubah menjadi filsafat kaum elite, yang dengan cepat mengerti bahwa karakter haus akan kekuasaan hanya dapat dipuaskan lewat penghancuran. Inilah alasan hakiki nihilisme, yang menggantikan takhayul tentang kemajuan dengan takhayul tentang hari kiamat, serta mengkhotbahkan penghancuran dengan antusiasme yang sama besar dengan antusiasme kemajuan bahwa hukum-hukum ekonomi tidak dapat terhindari.
Setiap orang dan setiap pemikiran yang tidak mendukung tujuan akhir sebuah mesin, (akumulasi kekuasaan), merupakan gangguan yang berbahaya.Hobbes menilai bahwa buku-buku “Yunani dan Romawi kuno” adalah sama merugikan seperti ajaran Kristiani, “summum bonum, finis ulmtimus .sebagaimana dibahas dalam “buku-buku para Filsuf Moral masa lalu” ataupun doktrin “apapun yang dilakukan oleh Manusia dengan melawan Suara-hatinya, adalah Dosa”[5] dan bahwa “Hukum ialah Aturan mengenai Yang Adil dan Yang Tak Adil.”[6] Ketidakpercayaan Hobbes atas seluruh tradisi Barat tidak mengejutkan bila kita ingat bahwa Hobbeshanya memberi pembenaran pada filsafat Tirani, yang biarpun kerap hadir dalam sejarah Barat, belum pernah memperoleh kehormatan untuk diberi dasar-dasar filosofis.
Bahwa Leviathan merupakan pemerintahan tirani permanen, dengan bangga diakui Hobbes: “kata Tirani tak lebih dan tak kurang berarti Kedaulatan; pada hemat saya, sikap mentolerir kebencian terang-terangan terhadap Tirani, adalah sikap membiarkan kebencian terhadap Negara pada umumnya…“[7]
Konsepnya tentang Leviathan tidak sibuk dengan spekulasi mengenai prinsip-prinsip politik baru atau tentang upaya-upaya lama untuk mencari alasan guna mengatur masyarakat; melainkan sungguh hanya “penghitungan konsekuensi-konsekuensi” yang menyertai bangkitnya sebuah kelas baru. Akumulasi modal kelas borjuis telah mengubah konsep dasar hak milik dan kemakmuran, tidak lagi sebagai hasil akumulasi dan akuisisi melainkan sebagai titik tolak; kemakmuran menjadi sebuah proses tanpa henti untuk semakin makmur.
Klasifikasi kaum borjuis sebagai golongan “berada” hanya secara dangkal saja, ialah bahwa setiap orang dapat digolongkan ke dalam kelas itu asalkan ia memandang hidup sebagai proses untuk terus-menerus makin kaya, dan tidak menganggap uang sebagai suatu yang amat suci, namun barang konsumsi semata, dan karena itu terus-menerus berkurang. Cara paling radikal dan paling terjamin untuk memiliki sesuatu ialah menghancurkannya, karena hanya apa yang kita hancurkan yang menjadi milik kita selamanya.[8]
Pemilik kekayaan yang tidak memanfaatkan kekayaannya tetapi malah berusaha terus memperbanyak harta miliknya akan berhadapan dengan sebuah batas yang menyedihkan bahwa semua orang akan mati. Kematian menjadi alasan mengapa kekayaan dan akuisisi tidak pernah sungguh dapat menjadi prinsip politik. Sebuah sistem sosial yang didasarkan pada kekayaan hanya akan mengarah kepada penghancuran atas semua kekayaan. Terbatasnya masa hidup individu merupakan hambatan terhadap usaha menjadikan kekayaan sebagai landasan masyarakat, sama seperti batas bola dunia merupakan hambatan untuk menjadikan ekspansi sebagai dasar lembaga politik.
Dengan imajinasi, Hobbes mampu membuat garis besar ciri-ciri psikologis sosok manusia baru yang sesuai dengan masyarakat semacam itu serta wujud politiknya yang bersifat tiran. la meramalkan pendewaan kekuasaan oleh jenis manusia baru ini, sehingga jenis manusia itu bagaikan binatang yang haus kekuasaan, meskipun secara paradoksak, dipaksa untuk menyerahkan semua daya-daya alamiahnya, dan membuatnya menjadi “orang kecil yang penurut” bahkan tidak punya hak untuk menentang tirani, samasekali tidak berusaha untuk merebut kekuasaan, tunduk pada setiap pemerintahan yang ada, serta tidak tergelitik sekejab pun bila sahabat karibnya menjadi korban kesewenang-wenangan.
Sebab, sebuah Negara yang didasarkan pada akumulasi dan monopoli kekuasaan, semua penguasanya mau tak mau akan membuat setiap pribadi tidak berdaya, kehilangan semua kemampuan alamiah dan kemampuan manusiawi mereka. Negara membuat tiap pribadi merosot menjadi roda gigi dalam mesin akumulasi kekuasaan, hanya bebas untuk menghibur diri dengan pikiran-pikiran luhur tentang tujuan akhir mesin itu.
Tujuan destruktif terakhir dari Negara semacam ini diitunjukkan Hobbes dalam interpretasi filosofis atas kesetaraan manusia sebagai sebuah “equality of ability to kill”. Dengan hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain, “dalam kondisi perang abadi”, dan dalam batas-batas medan tempur di garis depan dengan bersenjata lengkap, dan sorot mata laksana gladiator pada negeri tetangganya”, negara tidak punya aturan tingkah laku kecuali apa yang “paling mungkin menimbulkan keuntungan” dan lambat laun akan menelan struktur-struktur yang lebih lemah sampai tiba pada perang terakhir “yang memberi setiap orang Kemenangan atau Kematian”.[9]
Dengan “Kemenangan atau Kematian”, Leviathan memang dapat mengatasi semua keterbatasan politik yang pada puncaknya mengayomi seluruh dunia dengan tiraninya. Namun tatkala perang terakhir tiba, tak ada damai terakhir di bumi: mesin akumulasi kekuasaan itu — tanpanya ekspansi tanpa henti tak kan pernah terjadi — membutuhkan lebih banyak lagi yang bisa ditelan dalam prosesnya yang tanpa henti. Bila negara yang saat terakhir berjaya tidak mampu melanjutkan lagi proses itu dengan “menganeksasi planet-planet”, maka satu-satunya kemungkinan tinggallah menghancurkan diri sendiri agar dapat dimulai lagi dari awal proses mobilisasi kekuasaan yang tanpa henti itu.
++++
[1] Digumpalkan dari Arendt, Hannah, The Origin of totalitarianism. (Jilid II) : Imperialism. New York: Meridian Books, 1970, hlm.138-157
[2] Negara rezim Totaliter meniadakan kontradiksi antara kepentingan individu dan kepentingan umum dengan menyatakan, bahwa tidak ada kepentingan pribadi, semua adalah kepentingan Negara. Hobbes juga meniadakan kontradiksi itu, bahwa kepentingan pribadi itu juga merupakan kepentingan negara. Namunsebenarnya Hobbes ingin melindungi kepentingan pribadi, Sehingga Negara Hobbes, kata seorang pembelanya, tidak dapat dikatakan totaliter.
[3] Pandangan manusia borjuis Hobbesian hanya bernilai dalam seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, adalah sesuai tulisan Hobbes sendiri: “value or worth his price; that is to say so much as would be given for the use of his power”; Rasionya pun tak lain ialah Perhitungan: “Reason.. is not but Reckoning”; Subjek yang bebas, kehendak bebas adalah kata-kata tanpa makna, “a free Subject, a free Will… [are] world…without meaning; that is to say absurd”
[4] Arendt mengutip kalimat Hobbes dalam Leviathan: “when I a Warre (forraign or intestine) the enemies get a final Vitory…then is the Commonwealth dissolved, and every man at liberty to protect themselfe”
[5] “whatsoever a man does against his Concience, is Sinne” ,Arendt, Mengutip Bab 13 Leviathan
[6] Lawes are the Rules of Just and Unjust”
[7] “The name of Tyranny signifieth nothing more nor lesse than the name of Soveraignty…; I think the toleration of a professed hatred of Tyranny, is a Toleration of hatred to Commonwealth in general…” mengutip Leviathan.
[8] Arendt, Ibid., 145, memberi kalimat mengejutkan, “ The most radical and the only secure form of possession is destruction, for only what we have destroyed is safety and forever ours.”
[9] “in the condition of perpetull war, and upon the confines of battle, with their frontiers armed, and canons planted against their neighbours round about” it has no other law of conduct but the “most conducing to [its] benefit” and will gradually devour weaker structures until it comes to a last war “which provideth for every man, by Victory, or Death”