Home Berita Alumni Penyebab Krisis Kehidupan, Uang yang Dijadikan Sumber Hidup

Penyebab Krisis Kehidupan, Uang yang Dijadikan Sumber Hidup

314
0
Ruth Indiah Rahayu dalam kuliah terbuka berjudul “Hierarki Utang Pencedera Kehidupan: Kritik Ekofeminisme.” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Senin (27/20/2025). Foto : Abdi/IKAD

Jakarta Dalam dunia yang kian dikuasai logika keuntungan, kehidupan perlahan dicederai. Pertanyaan mendasar pun mencuat: siapa sesungguhnya yang menanggung utang sosial, ekologis, dan raga agar dunia modern terus berputar? Pertanyaan inilah yang menjadi titik tolak kuliah terbuka bertajuk “Hierarki Utang: Pencedera Kehidupan”, yang menghadirkan Dr. Ruth Indiah Rahayu sebagai pembicara utama.

Kegiatan ini berlangsung pada Senin, 27 Oktober 2025, pukul 13.30–16.00 WIB, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Acara yang diselenggarakan oleh Suara Ibu Indonesia bersama Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD), serta Akademi Jakarta ini merupakan bagian dari serial diskusi publik Progam Klik : Rakyat, yang menyoroti relasi antara politik, ekologi, dan keadilan sosial melalui pendekatan pemikiran kritis.

Membaca Ariel Salleh: Krisis Kehidupan dan Hirarki Utang

Dalam kuliah tersebut, Ruth yang juga merupakan Ketua Umum IKAD mengulas pemikiran Ariel Salleh, seorang feminis, sosiolog, dan filsuf asal Australia yang dikenal sebagai independent scholar-activist. Salleh selama bertahun-tahun mengembangkan konsep politik kehidupan dan metabolisme nilai untuk menantang paradigma ekonomi dan politik arus utama yang berakar pada kapitalisme, kolonialisme, dan patriarki.

Ruth menjelaskan bahwa krisis kehidupan yang dihadapi umat manusia tidak semata bersumber dari kekurangan uang, melainkan dari cara berpikir global yang menempatkan uang sebagai sumber kehidupan, dan menafsirkan kemiskinan sebagai ketiadaan uang. Dalam sistem ini, mereka yang tidak mampu membeli kehidupan dianggap gagal secara sosial dan moral.

Politik Kehidupan dan Materialisme yang Menubuh

Mengutip Salleh, Ruth menjabarkan bahwa politik kehidupan merupakan sintesis dari empat arus besar pemikiran—feminisme, sosialisme, ekologisme, dan pascakolonialisme—yang berupaya mengembalikan politik pada maknanya yang paling hakiki: merawat kehidupan.

Konsep materialisme yang menubuh (embodied materialism) menempatkan kerja perempuan dan masyarakat subsisten sebagai pusat dari keberlanjutan hidup. “Kehidupan yang kita kenal tidak mungkin berlangsung tanpa kerja merawat dan meregenerasi,” ujar Ruth.

Metabolisme Nilai vs Rantai Pasok Komoditas

Ruth juga memaparkan konsep metabolisme nilai, yakni nilai yang muncul dari hubungan timbal-balik antara manusia dan ekosistem. Berbeda dari rantai pasok komoditas yang mengejar keuntungan pasar, metabolisme nilai berorientasi pada keberlanjutan kehidupan sosial dan ekologis.

Dalam pandangan Salleh, kerja perempuan—terutama petani gurem, masyarakat adat, dan perawat kehidupan—merupakan bagian dari kerja reproduktif yang menopang keberlanjutan sosial. Namun, kerja ini kerap tidak diakui (unobservable) karena tidak menghasilkan nilai pasar. Sebaliknya, kerja industrial yang berbasis upah justru menjadi satu-satunya bentuk kerja yang diakui (observable).

Hierarki Utang: Luka Tersembunyi dalam Sistem Dunia

Ruth kemudian mengurai konsep utama Salleh, yaitu hirarki utang—kerangka politik dan ekologis yang mengungkap ketimpangan antara negara-negara Utara dan Selatan.

Negara-negara Selatan menanggung tiga bentuk utang besar. Pertama, hutang ekologis, berupa eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan industri global. Kedua, hutang tenaga kerja perempuan, yakni kerja reproduktif tanpa upah yang menopang ekonomi dunia. Ketiga, hutang kolonialisme, warisan sistem ekonomi yang terus meminggirkan masyarakat pascakolonial.

“Ketidakadilan global bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi pencederaan terhadap penghidupan manusia dan bumi,” tegas Ruth.

Kritik terhadap Kapitalisme Hijau

Dalam forum tersebut, Ruth juga menyinggung kebijakan Debt for Nature Swap, yang disebut sebagai bentuk baru kolonisasi kapitalis-ekologis. Ia mencontohkan perjanjian Debt Swap Agreement senilai USD 35 juta antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat yang ditandatangani pada 3 Juli 2024 untuk program konservasi terumbu karang.

Meski diklaim sebagai solusi ramah lingkungan, Salleh menyebutnya sebagai “bentuk pencurian yang dirasionalkan oleh kebijakan ekomodernis,” sebab tetap mempertahankan ketergantungan struktural negara-negara Selatan pada sistem finansial global.

Dekolonisasi Pengetahuan dan Kedaulatan Pangan

Ruth menegaskan perlunya dekolonisasi epistemologi, yaitu membongkar cara berpikir Barat yang memisahkan manusia dari alam. Ia menyerukan agar pengetahuan perempuan lokal, masyarakat adat, dan cara hidup subsisten diakui sebagai science of survival—ilmu untuk bertahan hidup di tengah krisis planet.

Visi yang diusung Salleh melalui bioregionalisme dan kedaulatan pangan menekankan pentingnya ekonomi berbasis komunitas lokal, hidup selaras dengan alam, serta penerapan prinsip eco-sufficiency (hidup cukup).

Perempuan sebagai Subjek Politik Ekologis

Di akhir kuliah, Ruth menegaskan bahwa perjuangan melawan kolonialisme, kapitalisme, dan patriarki harus berangkat dari pengakuan terhadap perempuan sebagai subjek politik ekologis.

“Perempuan bukan sekadar korban dari ketimpangan global, melainkan penjaga metabolisme kehidupan yang menjaga bumi tetap hidup,” tutupnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here