Home Berita Alumni Revolusi Indonesia, Api yang Menyalakan Dunia Modern

Revolusi Indonesia, Api yang Menyalakan Dunia Modern

151
0
David van Reybrouck, sejarawan dan penulis Belgia yang dikenal lewat Congo: The Epic History of a People. dalam diskusi Buku karyanya berjudul Revolusi: Indonesia dan Kelahiran Dunia Modern di Kolese Kanisius, Selasa (21/10/2025). Foto : Abdi /IKAD.

JAKARTA – Sejarah revolusi Indonesia bukan hanya kisah lokal yang terjadi di antara rakyat yang berjuang merebut kemerdekaan. Ia adalah bagian dari sejarah dunia. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan perang revolusi yang menyusulnya tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan dinamika global yang mengguncang tatanan kolonial lama dan melahirkan dunia modern seperti yang kita kenal sekarang.

Pokok gagasan inilah yang mengemuka dalam diskusi buku Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World karya sejarawan dan penulis asal Belgia, David Van Reybrouck, yang digelar di Jakarta, Selasa (21/10). Acara tersebut diselenggarakan bersama oleh Gamechangers Book Club dan PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus), menghadirkan Reybrouck sebagai pembicara utama.

Menurut Reybrouck, revolusi kemerdekaan Indonesia dan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung merupakan dua peristiwa penting yang memberi inspirasi bagi banyak bangsa di dunia untuk membebaskan diri dari penjajahan. “Revolusi Indonesia menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hanya mungkin, tapi bisa dicapai oleh bangsa yang selama ini dipinggirkan,” ujarnya.

Berbeda dari banyak karya sejarah yang ditulis dengan sudut pandang kolonial Belanda atau elit politik Indonesia, Reybrouck menawarkan pendekatan baru: sejarah dari bawah. Ia menyusun bukunya layaknya mozaik, dibentuk dari ribuan kepingan kisah orang kebanyakan—para buruh, petani, pemuda, perempuan, dan tentara lapangan. Melalui kisah-kisah kecil itu, ia membangun narasi besar tentang bagaimana rakyat Indonesia menulis sejarahnya sendiri.

Salah satu contoh yang ia angkat adalah peristiwa tenggelamnya kapal Van der Wijk, yang menjadi gambaran lapisan-lapisan sosial masyarakat kolonial Hindia Belanda dan relasi kuasa di dalamnya. Di titik ini, Revolusi tidak hanya membicarakan perang kemerdekaan 1945–1949, tetapi juga mengaitkannya dengan masa kolonial dan dampak-dampaknya terhadap tatanan sosial modern.

Selain meneliti arsip-arsip di berbagai negara, Reybrouck melakukan perjalanan panjang ke pelosok Indonesia dan sejumlah negara lain. Ia melakukan ratusan wawancara sejarah lisan, termasuk dengan para “orang kecil” yang pernah terlibat dalam revolusi. Ia bahkan menelusuri hingga ke desa-desa terpencil di Nepal untuk berbicara dengan mantan tentara Gurkha—pasukan yang dulu menjadi bagian dari tentara Inggris di bawah Sekutu dan ikut bertempur di Indonesia.

“Semua pihak terlibat dalam kekerasan waktu itu—Belanda, pemuda Indonesia, bahkan pasukan Gurkha,” kata Reybrouck. “Revolusi bukan kisah yang hitam putih, tapi kisah manusia yang kompleks, penuh luka dan harapan.”

Ketika ditanya mengapa ia menulis tentang Indonesia, Reybrouck menjawab dengan jujur: “Saya bukan orang Indonesia, bukan pula orang Belanda. Tapi saya merasa sejarah Indonesia adalah sejarah saya juga. Karena revolusi Indonesia adalah sejarah dunia.”

Dalam pandangannya, revolusi kemerdekaan Indonesia menandai awal dari kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, yang kemudian menumbuhkan solidaritas global melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Dari titik itu, dunia modern pascakolonial mulai terbentuk.

Di akhir diskusi, Reybrouck menegaskan pentingnya peran generasi muda dalam setiap perubahan besar sejarah. Ia menyinggung semangat para pemuda pada masa revolusi yang, meski masih belia, berani melawan sistem kolonial yang menindas. “Jangan pernah meremehkan kekuatan kaum muda,” tegasnya. Ia lalu menyinggung berbagai aksi sosial generasi muda masa kini—dari Indonesia hingga Timur Tengah—sebagai bentuk baru dari semangat perubahan. “Mereka harus terus memperjuangkan keadilan, tetapi tanpa kekerasan massal seperti di masa lalu.”

Selain membahas revolusi, Reybrouck juga menyinggung proyek penulisan bukunya yang baru, yang membahas kolonialisme bentuk baru di era perubahan iklim. Menurutnya, krisis iklim adalah bentuk kolonialisme temporal—penjajahan atas masa depan. “Kita tidak lagi mengkolonisasi benua jauh, melainkan masa depan generasi mendatang,” ujarnya. Ia menuturkan pengalamannya berlayar di kapal kargo dari Antwerpen ke Kongo untuk meneliti dampak perubahan iklim terhadap generasi muda Afrika. “Mereka mengalami masa depan yang kita ciptakan hari ini, lebih cepat daripada tempat lain.”

Diskusi dihadiri lebih dari 200 peserta. Sejumlah tokoh publik tampak hadir, antara lain Gemala Hatta (putri Bung Hatta), Meis Roem (putri Mohammad Roem), Heri Akhmadi (mantan Dubes RI untuk Jepang), dua anak Sutan Takdir Alisjahbana, sejarawan Peter Carey, budayawan Mudji Sutrisno SJ, serta penulis Julia Suryakusuma. Beberapa diplomat negara sahabat juga turut hadir.

Usai sesi tanya jawab, acara ditutup dengan penandatanganan buku oleh Reybrouck. Aslinya buku Revolusi terbit dalam bahasa Belanda tahun 2020. Pada 2024 buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris dan menjadi best seller . Di Indonesia buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit Gramedia, Jakarta. Antrean panjang pembaca yang ingin mendapatkan tanda tangannya seolah menjadi bukti bahwa kisah revolusi Indonesia masih terus hidup—bukan hanya di tanah air, tapi juga di panggung sejarah dunia.

Suasana diskusi buku bertajuk Revolusi: Indonesia dan Kelahiran Dunia Modern karya David van Reybrouck, sejarawan dan penulis Belgia yang dikenal lewat "Congo: The Epic History of a People" di Kolese Kanisius, Jakarta, Selasa (21/10/2025). Foto : PRAKSIS
Suasana diskusi buku bertajuk Revolusi: Indonesia dan Kelahiran Dunia Modern karya David van Reybrouck, sejarawan dan penulis Belgia yang dikenal lewat “Congo: The Epic History of a People” di Kolese Kanisius, Jakarta, Selasa (21/10/2025). Foto : PRAKSIS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here