Home Kajian Membaca Indonesia dari Kaca Mata Hannah Arendt

Membaca Indonesia dari Kaca Mata Hannah Arendt

134
0
F Budi Hardiman (kiri) dan Ruth Indiah Rahayu di Cafe Dia.Lo.Gue, Kemang Selatan, Jakarta Selatan, Sabtu (18/10/2025).

Jakarta – “Apakah Indonesia masih bisa diperbaiki?” pertanyaan itu dilontarkan Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman, S.S., M.A., saat membuka kuliah publik bertema “Kebebasan sebagai Determinasi Diri Kolektif: Hannah Arendt & Konsep Natalitas”, Sabtu (18/10/2025), di ruang seni Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan.

Franky—sapaan akrab filsuf yang juga adalah dosen Program Studi Liberal Arts  Universitas Pelita Harapan (UPH)—mengangkat pertanyaan tersebut sebagai pintu masuk untuk menelusuri konsep natalitas dari Hannah Arendt, dalam rangkaian kuliah dan diskusi memperingati 50 tahun wafatnya Arendt.

Acara ini diselenggarakan oleh Goethe-Institut Indonesien bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF Driyarkara) dan dimoderatori oleh Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD), Ruth Indiah Rahayu.

Sebagai seorang pemikir yang dibentuk oleh pengalaman langsung menyaksikan runtuhnya demokrasi di bawah totalitarianisme Jerman, Hannah Arendt dikenal sebagai filsuf yang menawarkan harapan mendalam bagi pembaruan demokrasi.

Melalui pendekatan fenomenologisnya, Arendt menyingkap dimensi kondisi manusia yang sebelumnya diabaikan banyak pemikir sezamannya. Ia memperkenalkan manusia sebagai makhluk yang mampu memulai kembali sesuatu yang baru (to begin anew), kemampuan yang disebutnya natalitas, yang sangat erat kaitannya dengan gagasan republikanisme.

Kelahiran di Tengah Zaman Gelap

Franky menilai, pertanyaan tentang kemungkinan memperbaiki Indonesia berakar dari keprihatinan publik terhadap krisis demokrasi pasca-Pemilu 2024 dan keputusan Mahkamah Konstitusi yang memicu gelombang ketidakpercayaan. “Kelas menengah kehilangan arah, rakyat diseret ke dalam sinisme, dan politik berubah menjadi manuver kekuasaan,” katanya. “Namun, Arendt mengajarkan, bahkan di zaman tergelap sekalipun, manusia masih memiliki kemampuan untuk memulai yang baru.”

Dalam karya monumentalnya, The Human Condition (Vita Activa), Arendt memperkenalkan gagasan natalitas sebagai inti kebebasan. “Berbeda dengan gurunya, Martin Heidegger, yang melihat manusia sebagai makhluk menuju kematian, Arendt menekankan kelahiran sebagai sumber harapan politik,” ujar Franky.

Melalui konsep ini, Arendt menolak pandangan deterministik tentang sejarah. “Natalitas membuka kemungkinan bagi pemulihan dan revitalisasi republik,” tambahnya.

Ruang Publik dan Tindakan Bersama

Bagi Arendt, politik sejati lahir dari tindakan bersama di ruang publik—tempat manusia hadir, berbicara, dan bertindak secara bebas. “Ruang publik bukan hanya tempat bertemu, tetapi ruang penampakan, space of appearance, tempat manusia menampakkan siapa dirinya,” jelas Franky.

Dalam ruang itu, kekuasaan tidak dimonopoli oleh pejabat, modal, atau negara, melainkan lahir dari tindakan bersama warga. “Kekuasaan sejati adalah hasil komunikasi dan kesepakatan. Begitu pertemuan itu bubar, kekuasaan pun lenyap,” katanya.

Franky juga membedakan antara dua bentuk tindakan kolektif: massa dan gerakan legislasi publik. Massa, katanya, lahir dari kesepian dan isolasi, sedangkan tindakan publik lahir dari komunikasi dan keberanian. “Arendt menyebutnya civil courage—keberanian sipil untuk bertindak bersama,” ujarnya.

Kebebasan Kolektif dan Tanggung Jawab

Dalam pemikiran republikan Arendt, kebebasan bukan kebebasan pribadi semata, tetapi determination of collective self—penentuan diri secara kolektif.

“Kita bebas bukan karena bisa memilih sendiri, tetapi karena bisa menentukan arah bersama. Politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi peristiwa tempat manusia menjadi sama karena berbagi tanggung jawab,” kata Franky.

Arendt menegaskan, tindakan politik selalu terbuka bagi kesalahan. Karena itu, dua kemampuan moral—mengampuni dan berjanji—menjadi penting. “Mengampuni membebaskan dari masa lalu, berjanji memberi arah bagi masa depan,” jelas Franky. “Tanpa dua hal ini, politik mudah berubah menjadi dendam atau ketakutan.”

Dari Totalitarianisme ke Infokrasi

Franky kemudian menautkan pemikiran Arendt dengan tantangan zaman kini, terutama di era digital yang disebut filsuf Korea-Jerman Byung-Chul Han sebagai infokrasi—rezim yang berkuasa melalui informasi dan data. “Kalau pada masa Arendt ancaman berasal dari ideologi totalitarian, kini ancaman datang dari sistem digital yang memantau segalanya,” ujarnya.

Byung-Chul, lanjut Franky, menyebut masyarakat digital sebagai komunikasi tanpa komunitas. “Kita banyak berbicara, tapi sedikit mendengar. Banyak koneksi, tapi kehilangan kedalaman relasi,” katanya. “Media sosial menciptakan pluralitas semu—semua merasa berbeda, tapi justru seragam dalam narsisme.”

Di sinilah, menurut Franky, pemikiran Arendt tentang natalitas kembali relevan. “Natalitas berarti berani melahirkan yang baru. Tapi kini, makna itu direduksi oleh logika pasar: semua dituntut untuk selalu berinovasi, menjadi kreatif, memulai hal baru. Itu bukan kebebasan, tapi tekanan,” ujarnya.

Melawan dengan Politik yang Lambat

Untuk melawan logika percepatan dan produktivitas tanpa makna, Franky mengusulkan praktik slow politics—politik yang memberi ruang bagi refleksi dan komunikasi sejati.
“Kalau dulu Presiden bilang dunia bergerak cepat dan kita tak boleh tertinggal, saya bilang sebaliknya,” ujarnya disambut tawa. “Kita perlu melambat supaya tidak kehilangan kebijaksanaan.”

Ia mengingatkan, manusia perlu menemukan kembali ritme kehidupan yang memungkinkan berpikir dan bertindak secara sadar. “Kita bisa mulai dari hal kecil: berdiam diri, menjaga privasi, berbagi solidaritas, dan berpikir bersama.”

Moderator Dr. Ruth Indiah Rahayu menutup sesi dengan menegaskan bahwa filsafat Arendt memberikan alasan untuk tetap optimis. “Selalu ada harapan untuk memulai kembali. Demokrasi bisa pulih jika kita sadar sebagai diri kolektif,” ujarnya.

“Selama manusia masih mampu memulai yang baru selama itu pula demokrasi masih bisa diperbaiki,”ujar Franky mengakhiri kuliahnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here