Home Berita Alumni Riset PRAKSIS: Anak Muda Peduli Politik, tetapi Kehilangan Ruang Partisipasi

Riset PRAKSIS: Anak Muda Peduli Politik, tetapi Kehilangan Ruang Partisipasi

56
0
Para penanggap dan pembicara dalam diskusi hasil penelitian PRAKSIS atas keterlibatan anak muda dalam politik, Sabtu (13/12/2025) di Hotel Novotel Mangga Dua, Jakarta. Foto : Dok. PRAKSIS

JAKARTA — Anak muda Jakarta bukanlah generasi yang apatis terhadap politik. Mereka mengikuti isu publik, memiliki kepedulian sosial, dan menyimpan aspirasi perubahan. Namun, aspirasi tersebut kerap tidak menemukan kanal partisipasi yang aman, efektif, dan bermakna. Kesimpulan ini mengemuka dalam peluncuran hasil riset Pusat Riset dan Advokasi PRAKSIS, Sabtu (13/12/2025), bertepatan dengan peringatan satu tahun berdirinya lembaga tersebut.

Riset bertajuk Aspirasi Tanpa Institusi: Dinamika dan Alasan Ke-(tidak)-terlibatan Politik Warga Muda Jakarta ini memetakan keterlibatan politik warga muda berusia 16–30 tahun di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan menggunakan metode campuran dengan model penjelasan berurutan, yakni survei kuantitatif terhadap 400 responden melalui wawancara tatap muka berbasis computer-assisted personal interviewing (CAPI), yang kemudian diperdalam melalui diskusi kelompok terarah (FGD) bersama 26 peserta.

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, dalam sambutan pembuka menegaskan bahwa kehadiran Praksis merupakan bagian dari kontribusi Gereja Katolik bagi kehidupan publik Indonesia, khususnya dalam penguatan demokrasi dan advokasi sosial.

Menurut Suharyo, riset yang memotret pengalaman konkret warga muda sangat dibutuhkan untuk merawat keadaban publik yang kian tergerus.

“Politik seharusnya mengarah pada kesejahteraan bersama dan membangun keadaban publik. Ketika yang terjadi justru perselingkuhan antarpilar negara, pasar, dan masyarakat warga, yang muncul bukan keadaban, melainkan kebiadaban publik,” ujar Suharyo, mengutip pemikiran sejarawan Sartono Kartodirdjo serta Nota Pastoral KWI Keadaban Publik (2004).

Paradoks Keterlibatan

Direktur Public Engagement PRAKSIS Romo H Angga Indraswara SJ, menjelaskan bahwa penelitian ini menemukan sebuah paradoks mendasar. Di satu sisi, warga muda Jakarta memiliki kepedulian sosial dan mengikuti perkembangan isu publik. Di sisi lain, mereka kesulitan menemukan institusi yang mampu menampung dan mengolah aspirasi politik tersebut.

“Partisipasi politik warga muda tidak bisa semata-mata dibaca sebagai soal ketidakpedulian individu. Ini merupakan hasil dari interaksi posisi sosial mereka dengan struktur demokrasi yang didominasi elite,” kata Angga.

Dalam kondisi tersebut, banyak warga muda akhirnya menyalurkan kepedulian politik melalui bentuk-bentuk partisipasi minimal, seperti menggunakan hak pilih dalam pemilu atau memberi dukungan pada isu-isu tertentu di media sosial.

Peneliti Praksis, Andi Suryadi, memaparkan bahwa mayoritas responden menunjukkan aktivitas sosial yang cukup tinggi, terutama pada isu lingkungan dan kegiatan berbasis komunitas. Namun, hampir seluruh responden—sekitar 97 persen—tidak memiliki afiliasi dengan partai politik, organisasi politik, maupun serikat pekerja.

Media sosial menjadi sumber utama informasi politik bagi warga muda Jakarta. Sebaliknya, peran tokoh agama dan institusi keagamaan sebagai sumber informasi politik tercatat sangat kecil, hanya sekitar 4 persen.

“Energi sosial itu ada. Kepeduliannya nyata. Tetapi energi tersebut tidak menemukan rumah institusional,” ujar Andi.

Peneliti lainnya, Maria Rosiana Sedjahtera (Ana) menambahkan bahwa keterbatasan sumber daya ekonomi menjadi faktor utama yang menghambat keterlibatan politik lebih jauh. Banyak responden mengaku harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar—seperti mencari pekerjaan dan penghasilan—ketimbang terlibat dalam aktivitas politik.

Selain itu, warga muda merasa suara mereka tidak didengar dan tidak mengetahui harus menyampaikan aspirasi ke mana. Kondisi ini memunculkan frustrasi, pesimisme, serta rasa tidak berdaya.

“Politik dipersepsikan jauh, elitis, dan berisiko. Media sosial akhirnya menjadi ruang partisipasi yang paling mungkin, meski juga penuh risiko, mulai dari perundungan hingga doxing,” kata Ana.

Demokrasi yang Dikuasai Elite

Dalam analisis lanjutannya, Angga menempatkan temuan riset ini dalam konteks sejarah demokrasi Indonesia. Menurut dia, transisi demokrasi pasca-Reformasi melahirkan konfigurasi yang kerap disebut sebagai elite-controlled democracy, di mana mekanisme elektoral tersedia, tetapi kanal partisipasi warga tidak berkembang secara memadai.

“Tanpa kanal partisipasi yang nyata, demokrasi hanya akan melahirkan frustrasi. Sebaliknya, tanpa kapasitas kewargaan, demokrasi mudah dimanipulasi,” ujar Angga.

Riset Praksis mencatat bahwa meskipun sebagian besar responden menyatakan kecewa atau bahkan muak terhadap politik, mayoritas—sekitar 76 persen—tetap menggunakan hak pilih. Temuan ini menunjukkan adanya komitmen kewargaan yang bertahan, meski tidak disertai kepercayaan pada institusi politik.

Dua Rekomendasi

Laporan penelitian ini merekomendasikan dua langkah strategis yang saling berkaitan. Pertama, perluasan kanal partisipasi politik yang transparan, responsif, aman, dan dapat ditelusuri, termasuk perlindungan kebebasan berekspresi di ruang digital. Kedua, penguatan kapasitas kewargaan melalui pendidikan politik berbasis komunitas, ruang dialog publik, serta pembiasaan tindakan kolektif yang nonkonfrontatif.

“Warga muda Jakarta bukan tidak peduli. Mereka hidup dalam demokrasi yang belum sepenuhnya menyediakan ruang partisipasi dan kesempatan untuk bertumbuh sebagai warga negara,” kata Ana.

Peluncuran riset ini dilanjutkan dengan diskusi bersama sejumlah tokoh, antara lain Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima, aktivis dari Jaringan Gusdurian Inayah Wahid, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu, dan Presiden Direktur Kearney Indonesia Shirley Santoso  Shirly Santoso. Diskusi tersebut menegaskan bahwa masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan negara dan masyarakat sipil menjembatani aspirasi generasi muda dengan institusi politik formal.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here