Di tengah dinamika persaingan global yang semakin sengit, sekolah kerap terjebak pada fokus yang berlebihan terhadap kecerdasan kognitif (IQ) dan prestasi akademis semata. Padahal, ada satu nilai yang sesungguhnya menjadi fondasi karakter unggul, tetapi justru sering terabaikan: kerendahan hati. Nilai ini telah lama hidup dalam falsafah Jawa kuno yang tetap relevan sepanjang masa: Ojo Dumeh.
Ojo Dumeh berarti “jangan mentang-mentang.” Lebih dari sekadar pepatah, ia adalah sebuah peringatan filosofis agar kita tidak menjadi sombong atau sewenang-wenang hanya karena merasa lebih tinggi, lebih kaya, atau lebih pintar. Prinsip ini mengingatkan bahwa segala kelebihan hanyalah titipan, sementara kesombongan hanyalah ilusi yang pada akhirnya merusak diri sendiri.
Kekuatan dari Sikap Rendah Hati
Kerendahan hati tidak sama dengan bersikap pasif atau kurang percaya diri. Justru ia merupakan kekuatan yang lahir dari kesadaran diri yang mendalam. Di dalamnya ada sikap menyadari keterbatasan: mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya, dan selalu ada kesempatan untuk belajar dari siapa pun—bahkan dari mereka yang lebih muda atau sering diremehkan.
Kerendahan hati memupuk empati dan rasa hormat—membantu kita melihat nilai pada setiap orang tanpa memandang status atau latar belakang akademis. Ia juga menumbuhkan keterbukaan terhadap kritik: menerima masukan sebagai jalan untuk menjadi lebih baik, bukan sebagai bentuk serangan terhadap harga diri.
Membangun Ojo Dumeh dalam Ruang Sekolah
Sekolah adalah cerminan kecil dari masyarakat. Di sinilah benih kesombongan maupun kerendahan hati mulai tumbuh. Karena itu, filosofi Ojo Dumeh harus diterapkan secara nyata dan terintegrasi—bukan sekadar slogan di dinding kelas.
Dalam pembelajaran, misalnya, siswa berprestasi dapat didorong untuk membantu teman yang mengalami kesulitan. Namun, hal itu harus dilakukan dengan semangat pelayanan, bukan rasa superioritas. Inilah praktik konkret dari Ojo dumeh pinter, banjur ngece kanca—jangan mentang-mentang pintar lalu merendahkan teman. Dengan cara ini, kecerdasan ditempatkan sebagai sarana berbagi, bukan modal untuk menyombongkan diri.
Di bidang kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi, sekolah dapat menerapkan rotasi kepemimpinan. Siswa yang pernah menjadi ketua harus siap kembali menjadi anggota biasa pada periode berikutnya. Ini mengajarkan bahwa jabatan hanyalah amanah sementara—dan nilai diri tidak ditentukan oleh posisi. Pesan Ojo dumeh tau dadi ketua, banjur semugih hadir melalui pengalaman nyata.
Hubungan guru dan siswa pun menjadi lahan penting penanaman nilai ini. Guru sebagai sosok yang dihormati perlu memberi teladan: menunjukkan bahwa guru juga seorang pembelajar. Terbuka terhadap umpan balik dari siswa, dan berani mengakui kesalahan jika memang terjadi. Keteladanan ini menunjukkan bahwa kerendahan hati tidak mengenal usia maupun jabatan.
Jika sekolah hanya mencetak siswa yang “pintar” dalam nilai namun “sombong” dalam sikap, kita tengah menyiapkan pemimpin yang arogan dan masyarakat yang rawan terbelah. Namun, bila nilai kerendahan hati ditanam kuat melalui prinsip Ojo Dumeh, kita sedang membentuk generasi yang cerdas sekaligus beretika—generasi yang siap memimpin dengan melayani, bukan mendominasi.


























