Home Berita Alumni Kita Sudah Teralienasi dari Alam dan Ekologi

Kita Sudah Teralienasi dari Alam dan Ekologi

148
0
Ruth Indiah Rahayu dalam kuliah terbuka berjudul “Hierarki Utang: Pencedera Kehidupan”. Kegiatan ini berlangsung pada Senin, 27 Oktober 2025, pukul 13.30–16.00 WIB, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Acara yang diselenggarakan oleh Suara Ibu Indonesia bersama Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD), serta Akademi Jakarta ini merupakan bagian dari serial diskusi publik Progam Klik : Rakyat, yang menyoroti relasi antara politik, ekologi, dan keadilan sosial melalui pendekatan pemikiran kritis. Foto : Abdi/IKAD

Jakarta — “Kita sudah terlalu jauh dari tanah, teralienasi dari alam dan ekologi, bahkan gejala alam sering tidak kita kenali,” ujar Ruth Indiah Rahayu, peneliti INKRISPENA, dalam kuliah terbuka berjudul  Hierarki Utang Pencedera Kehidupan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (27/10/2025). Ruth bicara di hadapan mahasiswa, aktivis, dan para ibu yang datang dengan keresahan sama: bagaimana manusia modern kehilangan kedekatannya dengan alam—dan dengan dirinya sendiri.

Ruth tidak sekadar berbicara tentang ekofeminisme sebagai teori. Ia menelanjangi realitas harian kelas menengah kota yang, menurutnya, “menghidupkan gaya hidup sehat, tapi bukan kehidupan itu sendiri.” Fenomena ibu-ibu yang joget di TikTok, ikut line dance, melakukan meditasi alam, atau menjadi vegan ekstrem, katanya, adalah bentuk keterasingan baru yang dibungkus kesadaran palsu. Menurut Ruth, alienasi ini terjadi tidak hanya terjadi pada anak-anak generasi Z, tetapi juga pada generasi yang dahulu.

“Kesadaran untuk kembali ke alam memang sudah ada, tapi sayangnya hanya sampai pada level gaya hidup. Akhirnya semua menjadi komoditas baru: makan sehat, produk ‘ramah lingkungan’, kosmetik alami—semua dijual,” ujarnya dengan nada getir

Dari Balkon Apartemen ke Pot Cabai

Ruth mengingatkan bahwa kesadaran ekologis tidak harus lahir dari gerakan besar. Ia menyinggung kisah lama: gerakan menanam seribu pot di kota-kota besar pada masa krisis ekonomi 1960-an.

“Ibu-ibu kota menanam cabai, sayur, bahkan bunga di pot. Sekurang-kurangnya mereka tidak tergantung pada pasar untuk makan sehari-hari,” kisahnya.

Menurutnya, gerakan semacam itu kini perlu dihidupkan kembali—bukan sekadar untuk swasembada pangan, tapi untuk “menyembuhkan hubungan manusia dengan alam.”

Ia menyebut fenomena healing dan mindfulness di kalangan muda sebagai gejala keterasingan yang lebih dalam. “Banyak anak muda mengalami krisis mental. Mereka pergi ke alam untuk meditasi. Itu artinya tubuh kita merindukan ritme alam yang sudah lama kita khianati,” tuturnya

Kapitalisme Hijau: Penyelamat atau Penipu?

Dalam forum itu, Ruth juga menyoroti paradoks pembangunan berkelanjutan yang diagung-agungkan lewat program SDGs.

“Stunting tidak turun, kekerasan naik, ketimpangan tetap ada. Jadi siapa yang berhasil? Konsultan dan pelaksana proyek, bukan rakyat,” tegasnya.

Ia menyebut green capitalism—kapitalisme hijau—sebagai bentuk baru penjajahan. “Atas nama konservasi, alam tetap dijadikan modal ekonomi. Kita ini seperti menonton ibu pertiwi diperkosa, tapi menikmati tontonan itu,” ucap Ruth, meminjam perumpamaan pedas dari seorang peserta diskusi.

Dari “Sumber Daya” ke “Ibu Bumi”

Ruth kemudian menantang istilah “sumber daya alam” yang menurutnya sudah terlanjur memenjarakan pandangan manusia terhadap bumi.

“Kata ‘daya’ membuat alam seolah tenaga kerja yang bisa dieksploitasi. Mungkin lebih baik kita menyebutnya ‘sumber alam’ atau bahkan kembali ke sebutan ‘Ibu Bumi’,” sarannya

Baginya, perubahan istilah bukan soal bahasa semata, tetapi langkah epistemik—cara baru memahami relasi manusia dengan alam tanpa hierarki atau dominasi.

Meja Makan dan Revolusi Kecil

Menutup kuliah terbuka itu, Ruth membagikan pengalaman tentang “meja makan” —sebuah pertemuan antarperempuan dari berbagai daerah yang membawa resep masakan lokal.

“Kami belajar mengenal daun, rempah, dan rasa yang hampir hilang. Dari situ kami sadar: masak bukan sekadar kerja rumah tangga, tapi kerja kebudayaan,” katanya.

Baginya, kerja kecil seperti memasak, menanam, atau merawat bisa menjadi tindakan politik—cara perempuan menjaga kehidupan dari dalam rumah hingga ke ruang publik.

Serial Kuliah Terbuka Klik:Rakyat

Kuliah ini merupakan bagian dari program KLIK: Rakyat, ruang reflektif yang digagas Suara Ibu Indonesia untuk mendengarkan dan meneguhkan suara warga dalam menata kehidupan publik. Kegiatan ini diselenggarakan secara kolaboratif antara berbagai unsur, meliputi individu, ikatan alumni, program studi universitas dan sekolah tinggi, serta media penyiaran. Tujuannya adalah untuk berkontribusi pada pengembangan diskursus kebangsaan dan kebudayaan Indonesia setelah 80 tahun kemerdekaan, sekaligus menyongsong peringatan 100 tahun Republik Indonesia.

Selain itu, kegiatan ini bertujuan menguatkan literasi partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan sehari-hari sebagai fondasi bagi kokohnya solidaritas dan pemahaman kebangsaan Indonesia. Melalui rangkaian diskusi, kegiatan ini diharapkan dapat menyumbangkan gagasan dan strategi bagi peningkatan kualitas demokrasi, perwujudan nilai-nilai kerakyatan, serta penguatan semangat ke-republik-an Indonesia dalam menghadapi tantangan-tantangan baru dan dinamika perubahan geopolitik dunia.

Seri ini dibuka pada 29 September 2025 di kampus STF Driyarkara oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, dengan tema “Sejarah 1965–1966 dan Politik Kiri di Indonesia.” Dalam kuliah ini, Prof. Magnis menelusuri akar kekerasan politik dan dinamika ideologi kiri di Indonesia, serta pentingnya memahami sejarah secara jujur untuk membangun kehidupan politik yang berkeadaban.

Berlanjut pada 6 Oktober 2025 di Perpustakaan Nasional RI, Dr. Augustinus Setyo Wibowo, dosen STF Driyarkara sekaligus Pemimpin Redaksi Basis, membawakan topik “Demokrasi, Agonisme, dan Oposisi Permanen.” Ia mengulas bagaimana demokrasi yang sehat menuntut adanya ruang bagi perbedaan dan oposisi yang berkelanjutan sebagai elemen kritis dari kehidupan politik.

Pada 13 Oktober 2025, giliran Dr. Irine Hiraswari Gayatri, Direktur Eksekutif Komite Pelaksana Program Management of Social Transformation UNESCO di Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang berbicara di Guyonan Cafe. Dalam paparannya berjudul “Pasang-Surut Kerakyatan dalam Relasi Kuasa,” Irine menguraikan bagaimana rakyat kerap menjadi objek dari perubahan politik, dan bagaimana kekuasaan dapat diarahkan untuk mengembalikan ruang partisipasi rakyat yang sejati.

Sementara itu, Prof. Robertus Robet, Guru Besar Filsafat Sosial Universitas Negeri Jakarta, tampil pada 21 Oktober 2025 di STF Driyarkara dengan kuliah bertajuk “Menguji Republikanisme Indonesia.” Robet menyoroti krisis politik Indonesia yang menurutnya ditandai oleh “ekonomisasi politik” dan hilangnya semangat republikan, di mana politik telah kehilangan martabatnya sebagai ruang deliberasi publik.

Tema lingkungan dan keadilan hidup menjadi sorotan Dr. Ruth Indiah Rahayu, pengajar Studi Gender Universitas Indonesia, pada 27 Oktober 2025 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM). Dalam kuliah berjudul Hirarki Hutang : Pencederaan Politik Kehidupan – Ariel Shalleh dan Metabolisme Nilai Ruth menggambarkan bagaimana sistem ekonomi global menciptakan ketimpangan struktural antara utang ekologis, sosial, dan finansial, yang menindas kelompok dan alam di pinggiran.

Memasuki November, pada 3 November 2025, Sri Lestari Wahyuningroem, Ph.D, dosen Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, akan menguraikan topik “Menjadi Warga di Zaman Krisis Keadilan: Mempertimbangkan Agensi Nonparlementer.” Ia akan membahas bagaimana warga negara dapat mengambil peran aktif di luar struktur formal politik untuk memperjuangkan keadilan sosial.

Kuliah berikutnya pada 10 November 2025 akan mengangkat tema “Politik Konsekuensi dan Tanggung Jawab Lintas Generasi.” Meski pembicara belum diumumkan, topik ini diharapkan membahas etika politik dalam menghadapi krisis global dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.

Pada 17 November 2025, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), akan tampil di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dengan kuliah berjudul “Mengkritik ‘Sihir’ Pertumbuhan.” Huda akan mengajak publik meninjau ulang paradigma ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan dan keadilan sosial.

Rangkaian kuliah akan ditutup pada 24 November 2025 di Menara Kompas, dengan Dr. Karlina Supelli, Ketua Program Doktor Ilmu Filsafat STF Driyarkara, melalui kuliah berjudul “Pertumbuhan, Kebudayaan, dan Masa Depan Demokrasi: Siasat bagi Kontrak Sosial Baru.” Supelli akan menyoroti kebutuhan untuk membangun kembali kontrak sosial berbasis nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan keberlanjutan.

Dengan tema-tema yang menyentuh akar persoalan politik, ekonomi, dan kebudayaan, Seri Kuliah Filsafat Publik Klik:Rakyat menjadi ruang penting untuk memperdalam refleksi kritis atas arah demokrasi dan masa depan kehidupan bernegara di Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here