SIARAN PERS IKAD
Hukuman mati adalah praktik yang lumrah dilakukan, terutama sebelum abad ke-20. Namun di abad ke-21 ini, hukuman mati mengemuka menjadi pro-kontra di ruang publik. Sebagian pihak menolak adanya hukuman mati, tetapi tak sedikit pula yang tetap mendukung adanya hukuman mati. Hal ini mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (IKAD) dan Center for Research on Ethics Economics and Democracy (CREED) yang bertema Menembus Batas-Batas Legal: Pro-Kontra Hukuman Mati, pada tanggal 3 Maret 2023. Diskusi yang diselenggarakan di bilangan Jakarta Selatan itu menghadirkan narasumber, yaitu Guru Besar Emeritus Filsafat STF Driyarkara, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ, Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Trisakti, Dr. Albert Aries S.H., M.H, Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, dan bertindak sebagai moderator adalah Syarif Maulana, pengajar Kelas Isolasi.
Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno, atau Romo Magnis, mengatakan bahwa hukuman mati ada umumnya didasari oleh dua alasan. Alasan pertama adalah pembalasan atau retribusi (mata dibalas mata), sedangkan alasan kedua adalah pemunculan efek jera, supaya kejahatan serupa tidak terulang lagi di kemudian hari. Romo Magnis menolak hukuman mati dengan alasan apapun. Pertama, tidak masuk akal mengapa kejahatan kembali dibalas dengan kejahatan. Dan kedua, Romo Magnis juga ragu karena tidak ada data yang menunjukkan bahwa hukuman mati berhasil secara signifikan menurunkan kejahatan.
Sementara itu Dr. Albert lebih condong menolak hukuman mati dengan syarat tertentu. Albert kemudian mengutip Prof. JE. Sahetapy yang menyatakan bahwa hukuman mati dibolehkan atas dua kasus, yakni narkoba dan terorisme. Alasannya, pada kasus narkoba, umumnya pelaku masih bisa menjalankan peredaran meski dari balik penjara. Sedangkan pada kasus terorisme, karena alasannya ideologis, maka hukuman seumur hidup diandaikan tidak akan mampu mengubah pemikiran dan keyakinan seseorang. Bahkan kematian akan menjadi hal yang membanggakan bagi mereka.
Sementara itu Uli, yang mewakili Komnas HAM, juga menolak hukuman mati atas jenis kejahatan apapun. Bahkan pada mereka yang telah divonis hukuman mati, Komnas HAM selalu mengupayakan pendampingan supaya hak-hak terdakwa terpenuhi dan bahkan sebisa mungkin mengusahakan vonis tersebut ditinjau ulang. Senada dengan ungkapan Romo Magnis, Uli juga menyebutkan bahwa hukuman mati tidak ekuivalen dengan angka penurunan kejahatan.
Diskusi mengangkat perdebatan tentang relevansi hukuman mati di masa kini. Di satu sisi, hukuman mati memberikan “ketenangan” bagi keluarga korban dan juga masyarakat, tetapi di sisi lain, hukuman mati juga bertentangan dengan hak hidup sebagai hak asasi manusia. Selain itu, hukuman mati juga tidak dapat dibatalkan kalaupun nantinya pasca eksekusi diketahui bahwa hakim telah melakukan kekeliruan. Di sisi lain, hukuman seumur hidup dianggap lebih manusiawi karena dalam masa-masa tahanan menjalani hukumannya, bisa saja ia berubah menjadi orang yang lebih baik.
Jakarta, 5 Maret 2023
Informasi lebih lanjut tentang IKAD
Junanto Herdiawan – Bidang Humas dan Kelembagaan IKAD Driyarkara
Email: junantoherdiawan@gmail.com – Web : https://ikadriyarkara.org