Home Kajian Kematian Menurut Martin Heidegger

Kematian Menurut Martin Heidegger

618
0

 “Para dewa cemburu bahwa kita dapat mati.”

–Achilles–

Kutipan di atas merupakan ungkapan dari seorang Tokoh bernama Achilles dalam kisah perang Troya. Dari kutipan pendek namun mendalam itu, Achilles sebetulnya mengajak kita untuk melihat kematian bukan sebagai kutukan, melainkan keuntungan. Sebab, hal yang mestinya tak terbayangkan ialah seandainya kita tak dapat mati. Itulah mengapa kematian membuat iri para dewa.

Dalam filsafat, Kematian merupakan salah satu tema penting secara umum. Bagi para eksistensialis seperti Camus atau Sartre, kematian merupakan titik absurd realitas. Menurut mereka, tidak ada yang lebih absurd daripada “ada-untuk-mati.”

Di luar filsafat, terdapat begitu banyak sudut pandang untuk mendalami fenomena kematian. Fenomena kematian bisa didekati dari sudut pandang psikologis, teologis, biologis, dan sebagainya.

Heidegger sendiri masuk melalui sudut pandang fenomenologis eksistensial. Kematian menurutnya merupakan struktur ontologis Dasein.

Berbeda dengan para eksistensialis umumnya, Heidegger melihat kematian justru sebagai kondisi atau syarat bagi lahirnya makna dalam kehidupan Dasein. Bahwa, secara eksistensial, makna keberadaan Dasein ditopang oleh satu cakrawala akan “batas,” yakni kematian.

Keterbukaan akan kematian sebagai struktur ontologis itulah yang membawa Dasein pada Ada-nya. Sikap ini disebut “keotentikan” (authenticity).

Ada dan Ketiadaan

Filsafat Heidegger diawali dengan pertanyaan eksistensial mengenai mengapa segala sesuatu ada daripada tidak ada? Heidegger menyurahkan seluruh daya upaya filosofisnya bagi pertanyaan fundamental manusia tersebut.

Salah satu problem eksistensial penting yang selama ini luput dari perhatian filsafat menurut Heidegger ialah “ketiadaan” (Being/non-being). Padahal, ketiadaan menyertai eksistensi.

Akar persoalan ini bisa ditelusuri dalam seluruh Filsafat Barat sejak Platon sebagaimana kritiknya di bagian paling awal Being and Time. Seluruh filsafat Barat menurut Heidegger merupakan sejarah metafisika, yakni satu obsesi untuk mencari dasar-dasar terakhir dan paling dalam dari segala sesuatu (Ada).

Hal ini dilakukan dengan mentotalisasi realitas atau menakhlukkannya kedalam konsep-konsep tertentu seperti idea-nya Platon, substansi Aristoteles, roh absolut Hegel, dan sebagainya.

Heidegger mengkritik metafisika sebagai satu cara berpikir yang representatif, yakni menyamakan representasi segala sesuatu dalam pikiran kita dengan sesuatu itu sendiri.

Bagi Heidegger, me-logos-kan atau mewacanakan Ada berarti satu upaya memberi bentuk tertentu pada realitas tersebut, mencerabutnya dari ketersembunyiannya, membuatnya “tampak” dan tertentu (berbentuk).

Persoalannya ialah memberi bentuk serentak berarti mereduksi, “memeras,” dalam arti tertentu juga “memiskinkan” keluasan segala sesuatu itu menjadi sekadar apa yang kita mengerti, menekannya ke dalam definisi, penjelasan-penjelasan atau konstruksi rasional kita tentangnya yang kita sebut esensi atau konsep-konsep. Konsep-konsep tersebut pada gilirannya akan mentukan bagaimana kita bersikap terhadap realitas.

Padahal realitas (Ada) menurut Heidegger tidak dapat seluruhnya tertampung dalam konsep sebab karakter Ada ialah sekaligus tampak dan tersembunyi. Maka ia mengkritik metafisika Barat sebagai “kelupaan akan Ada,” yakni ada yang tersembunyi itu (Being/non-being). Kebenaran dalam metafisika menurutnya ialah “sejauh tersingkap” (a-letheia). Artinya, realitas hanya seluas penangkapan kita atasnya.

Bertolak dari kritiknya tersebut, Heidegger menekankan keberadaan “sisi ketaktersingkapan” Ada itu yang ia sebut dengan istilah Seyn. Heidegger kadang menyebut Ada yang tersembunyi itu sebagai “ketiadaan” atau “bukan apa-apa” (Nothing).

Ketiadaan menurut Heidegger tidak berlawanan dengan eksistensi atau realitas. Ketiadaan yang dimaksud di sini bukan satu abstraksi atau konsep. Ketiadaan, sebaliknya, merupakan bagian dari eksistensi.

Heidegger sendiri menulis bahwa ketiadaan itu lebih primordial daripada ketiadaan sebagai negasi “we assert that the nothing is more originary than the ‘not’ and negation” [Heidegger, 1998].

Ketiadaan merupakan praeksistensi segala sesuatu. Karena itu pantaslah apabila Filsafat Barat tidak pernah menyentuh Being (nothing) yang dimaksud Heidegger sebab mereka berkutat pada pemahaman (understanding) atau abstraksi, bukan pada eksistensi itu sendiri. Padahal, ketiadaan justru tampak melalui pengalaman langsung tanpa perantara atau bingkai-bingkai epistemik apa pun. Ia dialami melalui satu cara berpikir meditatif yang menuntun pada keterbukaan (openness).

Menurut Heidegger, pengalaman kecemasan fundamental (angst) menyingkapkan [adanya] ketiadaan. Kecemasan merupakan pengalaman ontologis ketika ketiadaan (inexistence) muncul pada seseorang, yakni ketika seseorang menarik diri dari kesibukan harian dan menyadari bahwa pada dasarnya eksistensi ditopang oleh ketiadaan (inexistence).

Demikian, di hadapan kematian, manusia terarah pada ketiadaan yang merupakan basis adanya sebab kematian tidak tertampung dalam konsep-konsep. Mengenai hal ini akan kita perdalam pada bagian selanjutnya.

Kematian dalam Filsafat Heidegger

Kematian merupakan tema kunci dalam seluruh bangunan filsafat Heidegger. Menentang pendapat James Demske, sebagaimana dalam Heidegger on Death and Being: An Answer to the Seinsfrage (2011), bahwa “meskipun penting, kematian memainkan peran tambahan dalam karya Heidegger,” Niederhauser menulis bahwa sejak semula, pertanyaan tentang “makna Ada” (Seinsfrage) secara mendalam berkaitan dengan kematian.

Menurut Niederhauser, kematian bukan aspek tambahan dalam pemikiran Heidegger. Kematian justru merupakan inti pertanyaan Heidegger mengenai Ada. Dengan kata lain, pertanyaan mengenai Ada hanya muncul karena Dasein berifat mortal.

Artinya, pergulatan Dasein mengenai makna hidup muncul atas kenyataan bahwa ia dapat tidak ada (mati). Refleksi tentang makna Ada tidak akan muncul andai kata Dasein bersifat niscaya.

Menurut Heidegger cara kita melihat kematian menentukan pemahaman kita mengenai pertanyaan tentang Ada.

Kematian pertama-tama merupakan struktur ontologis Dasein. Ia melekat pada ada kita. Kematian dalam pemikiran Heidegger bukanlah satu peristiwa (event) di masa depan atau akhir keberadaan manusia, melainkan struktur internal atau satu konsistensi dalam eksistensi kita.

Dengan kata lain, kematian yang dimaksud ialah satu posisi ontologis Dasein, bahwa Dasein secara eksistensial bersifat mortal. Ia dapat mati persis karena ia eksis. Karena itu, kematian bersifat intrinsik pada Dasein. Sebagaimana tulis Heidegger, “segera ketika manusia lahir, ia sudah cukup tua untuk mati.” Menurutnya, memahami kamatian (death) membawa pemahaman akan eksistensi.

Sentralitas kematian dalam filsafat Heidegger bertitik tolak dari pemahamannya akan Dasein (manusia) sebagai pusaran kemungkinan (possibility), yakni satu eksistensi yang belum total (not yet).

Dalam kondisi keterbukaan total terhadap kemunginan-kemungkinan itu, sulit untuk memberi penegasan atasnya sebab makna mengandaikan batas sehingga segala sesuatu membentuk satu kesatuan arti tertentu.

Di sisi lain, kematian merupakan batas kemungkinan Dasein yang paling pasti. Dengan kata lain, kematian (death) merupakan ketidakmungkinan keberadaan Dasein, batas kemungkinannya, atau kemungkinan finalnya (keutuhan eksistensinya).

Karenanya, kematian (death) menurut Heidegger ikut membentuk cakrawala pemahaman Dasein. Sebagaimana Raj Sigh dalam Heidegger, World, and Death (2013) mengatakan bahwa dunia dan kematian secara mendalam saling berkaitan.

Dunia hanya ada karena kematian sebagai batas mutlak melahirkan cakrawala makna. Dengan kata lain, kematian memungkinkan kita melihat kehidupan sebagai keseluruhan yang terbatas dan kita dapat menghayatinya dengan suatu tujuan dan daya kekuatan. Kematian bagi Heidegger membentuk dunia manusia.

Dengan menyadari kematian (death) sebagai hal yang integral terhadap eksistensinya, Dasein mulai mengapresiasi eksistensinya. Kematian (death) mengingatkan Dasein akan keberadaannya di dunia.

Dalam hal ini, Heidegger tentu saja tidak bermaksud mereduksi eksistensi Dasein pada kematian (death) atau berupaya “meringkus” kematian kedalam pemahaman Dasein. Ia mengusulkan agar kematian diterima sebagai bagian dari eksistensi, bukan sesuatu yang terpisah dari esksitensi Dasein, tapi juga bukan sebagai sesuatu yang begitu saja diatasi, melainkan sebagai misteri dari eksistensi kita.

Relasi Dasein dengan kematian itu dirangkum dalam istilah “ada-menuju-kematian” (Sein zum Tode) , bahwa kematian merupakan cakrawala eksistensial Dasein untuk memahami diri dan dunianya.

Kematian dan Otentisitas Dasein

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kematian dalam pemahaman Heidegger inheren pada Dasein. Heidegger menolak konsep kematian menurut Epikuros bahwa kematian terpisah dari Dasein.

Menurut Epikuros, kematian tidak berarti apa-apa bagi kita (death is nothing to us) “ketika saya ada, kematian tidak ada, dan ketika kematian ada, saya tidak ada,” (when I am, death is not, and when death is, I am not).

Karena itu menurut Epikuros, kita tidak perlu cemas terhadap kematian sebab ketika kematian datang kita tidak ada dan ketika kita ada, kematian tidak ada. Artinya, kita semua tentu saja akan mati, tetapi kita tidak akan pernah sungguh-sungguh “mencapai” kematian itu, tak seorang pun, sebab kematian dianggap berada terpisah dari Dasein.

Niederhauser dalam Heidegger on Death and Being (2021) menegaskan bahwa kematian dalam pemikiran Epikuros itu lebih terkait pada kematian fisik. Hal tersebut sama sekali berlainan dengan kematian yang dimaksud Heidegger dalam Being and Time.

Karenanya, klaim Epikuros misalnya bahwa kematian bukanlah apa-apa merupakan klaim tanpa makna bagi Heidegger.

Kematian yang dimaksud Heidegger dibedakan dari kematian sebagai satu peristiwa biologis (demise) atau kematian ontis, yakni runtuhnya dunia makna secara menyeluruh sebagaimana Epikuros, melainkan kematian sebagai kesadaran eksistensial bahwa secara ontologis eksistensi Dasein bersifat mortal.

Hal itu tidak berarti bahwa Heidegger menolak adanya fakta kematian biologis. Pembacaan seperti ini tentu naif. Heidegger tidak menyangkal kematian sebagai satu peristiwa. Hanya saja kematian secara lebih mendalam merupakan struktur ontologis kita.

Bahwa sebelum kematian menjadi konkret dalam satu peristiwa, kematian secara primordial telah membayangi seluruh perjalanan Dasein. Artinya, apa yang dimaksud Heidegger dengan kematian ialah suatu kesadaran Dasein sepanjang hidupnya akan “batas” atau kemungkinan “hilang totalnya segala kemungkinan.”

Dengan kata lain, kematian merupakan cakrawala tentang “batas” yang menjadi titik tolak “perjalanan” Dasein. Dan menurut Heidegger, “berada-di-dunia” (being-in-the-world) hanya akan dialami secara otentik oleh Dasein melalui keterbukaan penuh kesadaran akan keterarahan pada kematian (being-towards-death) sebagai determinisme ontologisnya.

Mengenai kematian dan otentisitas, Heidegger pada dasarnya mengidentikkan keutuhan (wholeness) atau kepenuhan Dasein dengan otentisitasnya (authenticity). Artinya, otentisitas dan kepenuhan adalah hal yang sama. Jadi, otentisitas didefinisikan sebagai Dasein yang menjadi sebagaimana adanya sebagai Dasein.

Di sisi lain, bentuk final atau kepenuhan dari eksistensi Dasein ialah kematian (death). Lantas benarkah disimpulkan bahwa keutuhan atau kepenuhan Dasein tidak bisa tercapai sebelum momen kematian itu? Apakah otentisitas mustahil tercapai semasa hidup?

Anggapan itu keliru. Pada bab pertama bagian kedua dalam Being and Time dengan subjudul “The Possible Wholeness (Ganzsein) of Dasein and Being unto Death”, Heidegger menghubungkan keutuhan Dasein dengan otentisitasnya, bahwa analisis kematian berkaitan dengan ciri-ciri konstitutif struktural Dasein.

Salah satu struktur fundamental Dasein ialah “keterarahan kepada diri di masa depan” (being-self-ahead). Maksudnya, Dasein selalu terarah pada kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya di masa depan.

Hal ini mengindikasikan bahwa Dasein sepanjang eksistensinya memang dicirikan oleh ketidakutuhan sebab selalu ada sesuatu darinya yang belum terwujud (being-self-ahead). Artinya, pengalaman akan eksistensi dicirikan oleh pengalaman akan kemungkinan-kemungkinan yang tersisa (yang belum faktual).

Pada saat yang sama, meskipun masa depan Dasein merupakan kemungkinan-kemungkinan, tetap saja kemungkinan-kemungkinan itu merupakan objek pengalamannya. Jadi, kemungkinan-kemungkinan Dasein di masa depan bukan saja sebatas kekurangan (lack), melainkan juga sudah selalu ada padanya di masa sekarang.

Demikian pula, meskipun kematian merupakan kemungkinan dalam struktur ontologis Dasein, kemungkinan itu selalu menjadi objek pengalaman yang diperhitungkan Dasein sepanjang eksistensinya.

Karena itu kepenuhan atau otentisitas Dasein tidak menanti kematian itu menjadi peristiwa, melainkan bisa dialami selama ia hidup melalui keterbukaan pada keterarahan ontologisnya pada kematian. Dasein mencapai kepenuhan adanya/menjadi otentik.

Itulah mengapa Heidegger menyebut kematian sebagai process of dying (proses kematian), yakni kematian sebagai pengalaman pergumulan Dasein sepanjang hidupnya akan sebuah kemungkinan mutlak bahwa eksistensinya bersifat terbatas, sebelum kematian itu menjadi nyata dalam peristiwa.

Sebab menurut Heidegger, fenomenologi hanya berbicara pada level fenomena (pengalaman) dan pengalaman hanya mungkin ketika kematian belum menjadi nyata atau faktual dalam peristiwa.

Artinya orang hanya akan mengalami kematian sebagai process of dying sebab kematian itu sendiri tidak dapat dicapai (unattainable), bahwa persis pada saat kematian datang, pengalaman lenyap.

Di sini, posibilitas kematian itu menjadi kata kunci. Otentisitas Dasein hanya terjadi ketika ia menyongsong kematian sebagai satu antitesis terus menerus yang membentang dalam seluruh eksistensinya, dan tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang “pasti” dalam arti sesuatu yang tidak dicemasi atau dilibati. Sebab, hanya dengan terus melibati kemungkinan eksistensial itu, kehidupan Dasein benar-benar disadari dan diberi makna (otentik).

Kematian ontologis itu sendiri memiliki tiga sifat yang sesuai dengan tiga elemen struktural dari ‘ada-di-dunia’ (being-in-the-world), yakni self, being-in, world.

Ciri kematian menurut Heidegger ialah, 1) ownmost. Kematian merupakan kemungkinan paling personal Dasein (Dasein’s ownmost possibility), karena tidak bisa ditukar (non-substitutable). Kematian selalu merupakan kematianku, bukan kematian orang lain. Seseorang menurut Heidegger bisa menjadi martir untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Akan tetapi, ia tidak mengambil kematian dari orang yang ia selamatkan. Ia menyongsong kematiannya sendiri. 2) irrespective. Kematian merupakan kemungkinan yang terlepas dari relasi-relasi, di mana Dasein ditinggalkan sendirian dan terisolasi. 3) unattainable. Kematian merupakan kemungkinan yang tidak bisa dijangkau. Mustahil bahwa kematian bisa disudahi (leave death behind) atau dilewati (get over it). Kematian tidak bisa menjadi masa lalu.

Ketiga ciri tersebut berkaitan dengan struktur dasar Dasein (concern/sorge), yakni ‘being-already-in (facticity)’, ‘being-self-ahead (existentiality)’, ‘being-fallen (being-among)’.

1) Menurut Heidegger, kematian merupakan akibat dari keterlemparan Dasein ke dunia (being-already-in) atau faktisitas. Keterlemparan Dasein ke dunia adalah keterlemparan ke dalam kepastian kematian yang tak terhindarkan.

2) Salah satu elemen dari struktur dasar Dasein sebagai being-self-ahead atau keterarahan Dasein pada masa depan (advent) adalah kecemasan. Kecemasan menurut Heidegger menyingkapkan struktur keterlemparan Dasein, yakni kecemasan atas keberadaannya di dunia dengan segala kemungkinannya. Oleh sebab keberadaan di dunia sama dengan keterlemparan pada kematian, kecemasan akan keberadaan di dunia secara esensial juga merupakan kecemasan akan kematian.

3) Kejatuhan (being-fallen) juga berkaitan dengan kematian. Kejatuhan Dasein ke dalam crosstalk menurut Heidegger persis berkaitan dengan kematian. Ungkapan bahwa “semua orang satu saat akan mati, tetapi saat ini belum waktunya,” merupakan salah satu bentuk crosstalk yang merupakan sikap ‘tidak otentik’ terhadap kematian.

Selain ketiga ciri struktural kematian yang telah disebutkan, Heidegger menambah dua ciri lain lagi, yakni bahwa 1) kemungkinan kematian (the possibility of death) bersifat pasti (certain) karena merupakan keniscayaan, dan 2) kepastian kematian tidak bisa ditentukan (indefinite). Kematian merupakan kemungkinan setiap saat. Kita tahu kita pasti akan mati, tetapi tidak tahu kapan.

Jadi, total terdapat lima ciri kematian, yakni ownmost, irrespective, unattainable, certain, dan indefinite. Ketiga dari kelima ciri itu linear terhadap struktur ontologis Dasein.

Demikian, kematian berada pada jantung eksistensi kita. Kematian melekat pada cara berada Dasein. Atas itu, Heidegger menjelaskan bahwa sikap otentik berarti menerima kematian bukan sebagai masa depan yang masih abu-abu, melainkan sebagai fakta kehidupan itu sendiri.

Otentisitas bagi Heidegger tidak lain adalah keterbukaan menyongsong kenyataan eksistensial itu dan ia menolak segala bentuk upaya untuk menghindar atau mengabaikannya.

Kematian dan Totalitas Makna

Berdasarkan paparan tersebut, kematian dalam filsafat Heidegger merupakan tema kunci. Richard Sambera dalam Rephrasing Heidegger: A Companion to Being and Time (2007), menyebut bahwa tema kematian merupakan pembahasan yang penting menurut Heidegger agar analisis filosofisnya mengenai manusia komplit atau lengkap.

Satu analisis yang lengkap atau utuh mengenai Dasein menurut Heidegger tidak mungkin dilakukan tanpa membahas soal kematian (death) sebab keutuhan Dasein mengandaikan adanya “batas” sebagai cakrawala makna, yakni kematian (death). Karena itu, Heidegger menempatkan kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari Dasein.

Menurutnya, dengan menempatkan kematian sebagai bagian integral dari eksistensinya, Dasein mulai mengapresiasi fakta keberadaannya itu. Dengan menerima kematian sebagai “kematianku” (my ownmost death) misalnya, seseorang akan mengerti bahwa keberadaannya di dunia ini tidak terwakilkan.

Dengan kata lain, kematian memungkinkan kehidupan memiliki makna. Kematian turut membentuk (co-constitutes) dunia Dasein. Bagaimana seseorang memaknai hidupnya, menjadi orang baik atau jahat, peduli atau apatis sangat berkaitan dengan bagaimana ia memandang kematian.

Sebagaimana Rajh Sigh, relasi kematian dan dunia sangat erat dalam pemikiran Heidegger, bahwa dunia Dasein (sebagai totalitas makna) hanya mungkin ada karena kematian sebagai batas mutlak memberi cakrawala makna.

Oleh karena itu, tuduhan bahwa Heidegger ‘berpikir tidak manusiawi’ (Denken der Inhumanität) dengan menganjurkan kematian tidaklah tepat. Tafsiran semacam itu salah satunya datang dari Hassan Givsan dalam Heidegger on Death and Being: An Answer to the Seinsfrage (2011).

Givsan mengatakan bahwa fokus Heidegger pada kematian adalah proyek dehumanisasi. Karena itu, ia menentang gagasan Heidegger tersebut. Menurutnya, kematian bukan cakrawala Dasein. Heidegger harusnya menempatkan “ada” sebagai horizon Dasein, bukan kematian.

Di sini, Givsan menilai bahwa bagi Heidegger, Dasein lebih baik mati. Semakin cepat ia mati, semakin baik. Jadi menurut Givsan, Heidegger menganjurkan bunuh diri.

Akan tetapi, sebagaimana Niederhauser, Givsan lupa bahwa analisis Heidegger merupakan analisis ontologis, bukan analisis moral. Analisis ontologis menjawab pertanyaan mengenai Ada (ontologis), bukan yang seharusnya Ada (etis).

Artinya, lepas dari apakah membahas persoalan kematian itu baik atau buruk secara etis, kematian tetap merupakan kepastian eksistensial yang tak terhindarkan.

Dengan kata lain, tidak membahas kematian tidak membebaskan kita dari kematian tersebut. Karena itu, tuduhan bahwa Heidegger “menganjurkan” bunuh diri adalah penilaian moral.

Lagipula, bunuh diri tidak relevan dalam analisis Heidegger sebab bunuh diri bukanlah sikap otentik sebagai Dasein.

Orang yang bunuh diri menurut Heidegger bersikap tidak otentik karena menolak kematian sebagai satu kemungkinan, yakni dengan mengubah kemungkinan kematian itu menjadi realitas faktual yang ready-to-hand (Zuhandenheit).

Karena itu, apabila mau sedikit normatif, bunuh diri tidak dianjurkan. Dengan demikian, jauh dari sebuah pesimisme atau satu filsafat dehumanisasi, pembahasan tentang kematian justru bernilai positif sebab ia memicu munculnya refleksi mengenai dunia Dasein sebagai satu totalitas makna.

Kesimpulan

Tema kematian merupakan inti analisis Heidegger tentang Dasein. Sedemikian sentral sehingga pembahasan mengenai Dasein tidak mungkin lengkap tanpa analisis mengenai kematian.

Berbeda dengan anggapan umum bahwa kematian merupakan unsur tambahan dalam pembahasan mengenai Dasein, Heidegger merupakan salah satu dari sedikit filosof yang menempatkannya sebagai unsur sentral.

Heidegger membedakan kematian sebagai ‘demise’ sebagaimana pada hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan kematian sebagai process of dying pada Dasein.

Kematian yang dibicarakan Heidegger ialah kematian sebagai process of dying, yakni kematian sebagai sikap (comportment) Dasein menanggapi determinisme ontologisnya bahwa eksistensinya bersifat mortal.

Kematian tersebut pertama-tama bukanlah peristiwa aktual, melainkan struktur ontologis Dasein. Karena itu menurut Heidegger, Dasein ialah “ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode).

Menurut Heidegger, kematian merupakan cakrawala Dasein akan “batas” dari segala kemungkinannya. Kematian merupakan tidakmungkinnya segala kemungkinan Dasein.

Cakrawala akan batas itu menyingkap makna keberadaan Dasein di dunia. Dengan kata lain, kematian turut membentuk (co-constitutes) makna eksistensi Dasein.

Kematian mendekatkan Dasein pada Ada. Karena itu, keterbukaan pada kematian merupakan sikap otentik, yakni keterbukaan Dasein pada struktur ontologisnya.

Sumber:

Heidegger, Martin. Being and Time. trans. by John Macquarrie & Edward Robinson. London: Blackwell Publishing, 2001.

Niederhauser, Johannes Achill. Heidegger on Death and Being: An Answer to the Seinsfrage. London: Sringer, 2021.

Sambera, Richard. Rephrasing Heidegger: A Companion to Being and Time. Ottawa: The University of Ottawa Press, 2007.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here