Abstract: Jean-Paul Sartre defines freedom as contingency which is an existential position of man and the whole reality. According to Sartre, existence is freedom itself. The idea of freedom as an existensial position based on the key concept of Sartre’s existentialism, ‘existence precedes essence’. Based on that notion, I argue that Covid-19 phenomenon is an existential moment which affirms the notion of freedom as an existential position of man and the whole reality and I proposes authenticity as a proper disposition in facing our reality.
Keywords: existence precedes essence, contingency, freedom, Covid-19, authenticity.
- Pengantar
Realitas selalu saja tidak mudah ditaklukkan betapa pun upaya-upaya metafisis mencoba mengendalikannya. Dalam bentangan kontingensi itulah kita akan selalu dibenturkan kembali pada pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai keberadaan kita, pada masalah eksistensial. Salah satu peristiwa yang menggandeng persoalan eksistensial ialah wabah. Dalam kacamata filsafat, wabah merupakan isu filosofis serius. Hal itu misalnya dapat kita temukan dalam novel La Peste (Sampar) (1947)dari Albert Camus yang mengangkat masalah wabah pada tingkat refleksi filosofis-eksistensial. Mendukung tesis itu, Havi Carel, seorang profesor filsafat di Bristol University, Inggris, dalam bukunya Phenomenology of illness (2016) mengatakan bahwa pengalaman sakit memang memiliki sumbangan besar terhadap refleksi filsafat.[1]
Wabah menjadi satu objek refleksi filosofis serius ketika ia menyerang manusia. Proposisi itu jelas mudah dimengerti sebab manusia merupakan titik tolak luasnya dimensi permenungan filsafat sepanjang abad sebab lebih dari satu entitas biologis, ia memiliki interioritas. Manusia tidak hanya hidup pada tatanan fisik, tulang dan daging, tetapi juga tatanan non-fisik. Ia memikul “beban” arti dan makna, relasi (inter-subjektivitas), religiositas dan sebagainya.
Demikian, dalam kasus wabah, manusia tidak hanya terpapar secara fisik, melainkan juga merembes ke seluruh interioritas yang halus itu. Karena itu, wabah bisa berlalu, tubuh bisa kebal melalui vaksinasi, tetapi dari sudut eksistensial, ia tetap akan meninggalkan jejak mendalam. Wabah meninggalkan kesan akan ketidakpastian atau absurditas realitas yang sulit hilang lantaran wabah menabrak stabilitas nilai, metanarasi atau sebut saja segala totalisasi yang kita pakai untuk mengamankan makna. Kehadiran wabah setiap kali menuntut kita merenungkan ulang perihal manusia, kebertubuhan, relasi sosial, dunia dan sebagainya, serentak menyibak kontingensi, ketakmenentuan tak terbatas atau ciri bebas realitas.
Berangkat dari uraian tersebut, tulisan ini akan menilik masalah kebebasan dengan cara yang sangat lain, yakni sebagai satu posisi eksistensial. Tulisan ini berisi refleksi filosofis atas Wabah Covid-19 (Coronavirus Disease-19) sebagai upaya menyingkap kebebasan sebagai posisi eksistensial manusia (being-for-itself). Demikian, pertanyaan yang hendak dijawab melalui uraian ini ialah “apa dampak folosofis Covid-19 terhadap permenungan tentang kebebasan manusia?” Pertanyaan ini akan dijawab melalui sudut pandang Eksistensialisme J-P Sartre.
- Kebebasan dalam Eksistensialisme Sartre
Kebebasan merupakan isu penting dalam eksistensialisme secara umum termasuk dalam eksistensialisme Sartre. Pada Sartre, paham kebebasan itu bertitik tolak dari pandangannya mengenai ciri kontingen realitas. Menurutnya, ciri dasar eksistensi ialah kontingensi, bahwa keseluruhan eksistensi kita memang dirembesi oleh semacam kegelisahan ontologis atau kontingensi.[2] Realitas menurut Sartre tidak terikat pada prinsip-prinsi tetap pra-eksistensial atau a priori apa pun, mengambang. Eksistensi tidak beku, tetapi cair, terbuka dan dalam arti tertentu juga kreatif. Jika dirumuskan secara paradoksal, satu-satunya yang tetap dalam seluruh realitas kita ialah kontingensi. Dengan kata lain, ciri dasar eksistensi ialah kebebasan.
Mengurai pendapatnya tersebut, Sartre bertolak dari gagasan kunci ‘eksistensi mendahului esensi’ (Existence precedes essence).[3] ‘Eksistensi mendahului esensi’ berarti bahwa realitas (existence) bersifat pra-reflektif, yakni mendahului segala konsepsi kita atasnya (prior to essence). Ringkasnya, realitas bukanlah metafisika. Ia hadir langsung tanpa penengah, sementara konsep-konsep adalah konstruksi-konstruksi kita atasnya. Karena itu, eksistensialisme menolak pola pikir esensialis yang meringkus realitas kedalam konsep-konsep atau esensi-esensi. Jadi, sementara esensialisme membentangkan “realitas mati”, eksistensialisme memperjuangkan “dunia kehidupan” (Lebenswelt) yang langsung dan konkret.
Runut pada gagasan ‘eksistensi mendahului esensi’ itu, segala hal yang ada (seluruh realitas), dengan demikian, tidak memiliki makna intrinsik tertentu apa pun. Realitas merupakan satu keadaan tanpa alasan (abandonment),[4] sesuatu yang tak terikat pada juntrungan apa pun, ada begitu saja, sewenang-wenang. Dalam rumusan lebih pendek, eksistensi adalah satu absurditas. Kata absurd secara umum berarti ketidakharmonisan, sesuatu yang tidak ditembus nalar atau kebiasaan. Istilah ini dekat artinya dengan kesia-siaan (futile). Sia-sia (dari istilah Latin, futile) berarti satu keberlebihan, seperti air yang meluber dari sebuah kendi.[5] Demikian, eksistensi sebagai absurditas berarti bahwa realitas kita bersifat enteng, atau pada dirinya sendiri tidak bernilai. Hal ini secara dramatis dijelaskan Sartre dalam La Nausee (1938) (Rasa Mual) melalui pengalaman Roquentin.[6]
Dalam buku itu, Sartre menekankan bahwa esensi (essence) merupakan selubung eksistensi (existence), bahwa esensi hanya ada di permukaan, satu identifikasi atas hal yang tidak identik, sementara eksistensi sendiri selalu mengelak (eludes) untuk dijinakkan, eksistensi selalu lolos dari segala pemaknaan. Dengan kata lain, eksistensi terpisah dari esensi (existence is distinct from essence).[7] Sartre menulis demikian.
“Sekarang di mana-mana terdapat hal seperti gelas Birdi meja ini. … Saya (Roquentin) telah berusaha menghindar untuk menatap gelas Bir selama setengah jam. Saya menatap ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan; tapi saya tidak mau menatap gelas itu. … Gelas Bir tersebut sama seperti gelas-gelas yang lain. Gelas tersebut miring di ujungnya, memiliki pegangan, ada lambang kecil dengan sekop di atasnya dan pada sarung tangan itu ada tulisan “Spartenbrau,” Saya tahu semua itu, tetapi saya tahu ada sesuatu yang lain. Hampir bukan apa-apa (nothing). Akan tetapi, saya tidak bisa menjelaskan apa yang saya lihat. Kepada siapa pun.”[8]
Dalam kutipan tersebut, Roquentin menggambarkan bagaimana segala hal yang ada itu tampak (appears), membiarkan diri mereka ditemukan, tetapi kita tidak bisa menyimpulkan apa-apa dari hal-hal tersebut.[9] Stephen Priest dalam Jean-Paul Sartre: Basic Writings berpendapat bahwa sesuatu yang mengelak dari pemaknaan atau deskripsi-deskripsi mengenai gelas tersebut ialah eksistensi dari gelas itu.[10] Dalam kasus tersebut, Sartre berusaha menjelaskan hal kunci dalam pemikirannya, yakni bahwa eksistensi (existence) berbeda dari esensi (essence). Hal ini lebih lanjut digambarkan Sartre melalui pengalaman Roquentin saat tokoh itu naik sebuah trem di Bouville.
“Aku menyandarkan tanganku ke bangku, namun dengan buru-buru menariknya kembali; ia ada (exist). Benda yang kududuki ini, tempat aku menaruh tanganku disebut bangku. Benda-benda itu dibuat dengan tujuan untuk diduduki orang. … Ini adalah sebuah bangku. Gumamku, mirip sedang mengusir setan. Akan tetapi, kata-kata itu tetap tinggal di bibirku; menolak untuk pergi dan menancap pada benda itu. Benda tersebut tetaplah demikian. … Benda-benda ini terpisah dari nama mereka. … Aku berada di antara benda-benda tak bernama itu. Sendirian, tanpa kata-kata, tak berdaya, mereka melingkupiku, di bawah, di belakang, di atasku. … Eksistensi menembus diriku di segala arah, melalui mataku, hidung, mulut. Dan mendadak, selubung ini robek, aku sudah paham, aku telah melihatnya.[11] … Dan tiba-tiba saja, menjadi jelaslah, terang seperti siang; eksistensi tiba-tiba menyingkapkan dirinya sendiri. Eksistensi telah kehilangan kelembutan penampilannya sebagai kategori abstrak; eksistensi itu adalah inti segala sesuatu … keragaman benda, individualitas mereka, hanyalah penampilan, sesuatu permukaan yang halus. Permukaan yang halus tadi kini telah mencair, sekarang tinggal gumpalan massa lunak yang sangat besar, yang semuanya tidak teratur (kacau), telanjang, dalam ketelanjangan yang vulgar dan mengerikan.[12]
Dalam kasus Roquentin tersebut, segala konsepsi kita atas segala hal dilucuti (realitas tanpa abstraksi) dan sebaliknya Roquentin melihat apa yang langsung hadir dalam pengalaman, eksistensi itu sendiri. Sartre dengan ilustrasi tersebut lebih jauh menekankan gagasannya bahwa eksistensi melampaui struktur-struktur yang kita pakai untuk memahaminya, seperti bahasa, teori-teori, penjelasan dan sebagainya. Artinya, dunia bahasa tidak menunjukkan apa-apa tentang realitas.[13] Misalnya ketika kita menyebut laut itu hijau (the sea is green) atau titik di sana itu adalah burung camar (the speck up there is seagull) yang kita pikirkan ialah soal kepemilikan, bahwa laut memiliki kualitas berwarna hijau atau bahwa warna hijau adalah bagian dari kualitas laut. Akan tetapi, kata sifat itu mengungkapkan kategori kosong.[14] Sartre menyebut bahwa semua itu terjadi di permukaan.[15] Jadi, apa yang terjadi dalam pengalaman Roquentin ialah bahwa dunia bahasa, lembaga-lembaga, serta segala justifikasi tiba-tiba runtuh dan Roquentin berhadapan dengan ‘ada-pada-dirinya-sendiri’ (being-in-itself) secara langsung.[16] Itulah mual (nausea) yang dimaksud Sartre, yakni eksistensi yang carut-marut itu yang tidak bisa dibendung oleh kategori apapun.[17]
Eksistensi lantas adalah sesuatu yang berlebih-lebihan adanya (superfluous). Kata ‘keberlebih-lebihan’ merupakan terjemahan dari kata ‘de trop’[18] yang juga berarti keberadaan yang tak diinginkan (unwelcome) atau tanpa justifikasi (no justification).[19] Dengan kata lain, eksistensi bersifat kontingen. Eksistensi bukan sebuah keniscayaan (necesity).[20] Ia ada begitu saja tanpa alasan, tujuan atau konsistensi tertentu. Alasan dan tujuan muncul kemudian bersama kesadaran manusia, sesuatu yang kita “paksakan” atas realitas yang sebenarnya selalu mengelak untuk dijinakkan. Dengan kata lain, eksistensi pada dasarnya bebas dan tidak fatalistik. Itulah mengapa eksistensialisme di tangan Sartre semakin nampak sebagai filsafat pembebasan, yakni karena ia membeberkan argumentasi runtut untuk memberontak melawan segala bingkai epistemik yang memasung realitas. Dalam eksistensialisme, pencapaian tertinggi justru ialah penangguhan rasionalitas menuju pengalaman. Sebab hidup bukanlah model-model epistemologis. Dunia kita melampaui ontologi, yakni pengalaman langsung, tanpa perantara, kehidupan itu sendiri, sementara esensialisme “menghukum mati” realitas.
- Kebebasan sebagai Struktur Kesadaran (Being-for-itself)
Menurut Sartre, kebebasan sebagai posisi eksistensial ini berlaku secara istimewa pada manusia (Being-for-itself ) sebab selain lepas dari fatalisme eksistensial atau keharusan a priori apa pun, manusia dengan kesadarannya bebas menentukan dirinya sendiri. Jadi, kebebasan secara khusus merupakan posisi eksistensial manusia. Bahwa secara mendasar manusia bebas dari segala determinisme pra-eksistensial dan dengan demikian terbuka untuk proyek-proyek yang ia ciptakan sendiri. Demikian Sartre mengatakan bahwa kita dikutuk untuk bebas (we are condemned to be free), dikutuk karena manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi juga bebas karena seketika terlempar ke dunia, ia bertanggung jawab atas semua yang terjadi padanya.[21]
Logika di balik pernyataan pendek (we are condemned to be free) itu sebetulnya sederhana. Menurut Sartre, kebebasan radikal ini melekat pada eksistensi kita persis karena keadaan ‘keterlemparan’ (thrownness) ini menyerahkan kepada kita seluruh tanggung jawab atas fakta bahwa kita begitu saja ada di dunia, bahwa tidak ada pihak lain selain kita dan bahwa kita tidak bisa keluar dari situasi ini.[22] Dalam arti itu, kebebasan memang arbitrer, yakni bukan sesuatu untuk kita setujui atau kita tolak.
Keadaan ‘keterlemparan’ ini memberi manusia kebebasan penuh atas apa pun yang terjadi, atas kenyataan bahwa ia “tiba-tiba” menemukan dirinya ada di dunia.[23] Maka, Sartre kemudian mendefinisikan kebebasan sebagai apa yang kita lakukan atas apa yang telah terjadi pada kita.[24] Apa pun yang terjadi atas faktisitas kita adalah pilihan kita, tindakan bebas kita dan dengan demikian tidak ada kebetulan dalam hidup, kitalah yang memilihnya.[25] Membuat diri pasif dengan menolak bertindak terhadap benda atau orang lain tetap merupakan sebuah pilihan, termasuk di dalamnya, bunuh diri merupakan salah satu bentuk cara berada di dunia (being-in-the-world).[26] Jadi, kebebasan adalah karakter kemanusiaan itu sendiri (freedom is a being of man).[27] Tidak ada situasi di mana manusia tidak bebas.
Untuk memahami tesis itu, kita lebih dahulu mesti memahami pembedaan dua mode atau cara berada (modes of being) yang dijelaskan Sartre dalam Being and Nothingness (1946) (Ada dan Ketiadaan), yakni ‘ada pada dirinya’ (being-in-itself) dan ‘ada bagi dirinya’ (being-for-itself). Penjelasan mengenai kedua cara berada ini terdapat juga dalam karyanya yang lain, yakni Existentialism is A Humanism (1946) (Eksistensialisme adalah Sebuah Humanisme). Di sana Sartre menjelaskannya lebih ringkas, demikian.
Cara berada pertama, yakni ‘ada pada dirinya’ (être-en-soi/being-in-itself) merupakan definisi realitas tanpa kesadaran. Ada pada dirinya (being-in-itself) adalah segala hal yang ada dan meletak begitu saja, masif. Mengenai being–in-itself, hanya dapat dikatakan: it is what it is. Ia adalah dirinya sendiri. Being-in-itself tidak aktif, pasif, afirmatif atau negatif, sebab kategori semacam itu mengandaikan bahwa in-itself memiliki relasi dengan dirinya sendiri, sementara relasi mengandaikan adanya jarak, dan being-in-itself merupakan kesatuan total segala sesuatu dengan dirinya.[28]
Perlu ditegaskan, tidak dikatakan bahwa being-in-itself memiliki kesatuan, tetapi ia adalah kesatuan itu sendiri. Artinya segala sesuatu melekat pada adanya sendiri. Misalnya, keberadaan sebatang pohon tanpa kehadiran kesadaran atau manusia melekat pada dirinya sendiri (eksistensi dan esensi menyatu/they are in themselves).[29] Hal itu terjadi karena being-in-itself tidak mengandung negasi. Singkatnya, being-in-itself adalah ada tanpa kesadaran. Adanya final, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tidak turun dari sesuatu yang lain, tidak berkembang. Ia sama sekali kontingen.
Sebaliknya cara berada kedua, ‘ada bagi dirinya’ (être-pour-soi/being-for-itself), menunjuk pada kesadaran, yakni manusia.[30] Ada-bagi-dirinya (being-for-itself) merupakan ketidakutuhan. Mengikuti Husserl, Sartre melihat kesadaran sebagai intensionalitas. Kesadaran selalu merupakan “kesadaran akan” (consciousness of) sesuatu. Menyadari sesuatu berarti juga “menidak” atau “menegasi” sesuatu itu sebagai yang bukan kesadaran. Jadi, saat saya menyadari sesuatu, saya juga menyadari bahwa saya bukan sesuatu itu. Karena itu, sifat dasar kesadaran atau being-for-itself ialah negativitas (penegasian/menidak).
Dengan demikian being-for-itself berarti “kesadaran akan sesuatu” yang menyadari adanya sendiri. Artinya, tindakan “menidak” itu kini mengarah pada dirinya sendiri. Demikian dikatakan “for-itself,” sebab dengan menyadari adanya, kesadaran hadir bagi dirinya sendiri. Itulah cara berada manusia. Akan tetapi, dengan menyadari ada-nya sendiri, being-for-itself berarti juga lolos atau keluar dari ada-nya itu. Kesadaran manusia membentuk jarak dengan dirinya. Ia memunculkan ketiadaan dalam ada.[31] Ia lantas adalah ketiadaan atau ‘yang bukan ada’ (nothingness/non-being). Manusia adalah lobang pada jantung realitas.
Terputusnya rantai determinisme itu membuka ruang bagi proyek-proyek manusia itu sendiri. Karena itu, Sartre menyebut bahwa manusia tidak lain adalah apa yang ia buat terhadap dirinya sendiri.[32] Manusia eksis hanya ketika ia merupakan apa yang ia proyeksikan bagi dirinya sendiri.[33] Dengan kata lain, negativitas menopang eksistensi. Karena itu, berbeda dengan materi (in-itself), manusia adalah lautan kemungkinan tak terbatas. Dalam istilah yang sedikit rumit, Sartre mengatakan bahwa being–for-itself ialah “apa yang bukan adanya” (is not what it is) dan “merupakan apa yang belum ia capai” (is what it is not).[34] Jadi, manusia bebas dari segala determinasi, serentak juga tidak mencapai apa pun. Bagaimana maksudnya?
Sartre menulis demikian, alam dan lingkungan kehidupan kita tidak menimpa kita secara kausal, melainkan melalui bagaimana kita memperlakukan mereka berdasarkan penilaian-penilaian kita sendiri, melalui makna-makna yang kita sematkan pada mereka. Dengan begitu, segala hal menurut Sartre lalu menjadi relatif terhadap manusia, tidak ada keharusan apa pun. Bahkan fakta-fakta tak terhindarkan dari kehidupan manusia, seperti waktu dan tempat seseorang dilahirkan, kebangsaanya, orang tuanya, pola asuh, jenis kelamin dan sebagainya yang mendefinisikan seseorang dalam kekhususan individualnya tidak begitu saja mendikte kita. Ia menulis demikian, “Sayalah yang menenetukan bagaimana saya melihat segala faktisitas itu. Saya bertanggung jawab terhadap cara saya menjadikan hal-hal itu bagian dari keberadaan saya dan terhadap bagaimana saya berhubungan dengan mereka”.[35] Jadi, Satre menolak segala determinasi biologis, sosial, psikologis dan sebagainya sebab kesadaran selalu menegasi (is not what it is/the past).[36] Dengan kata lain, apakah seseorang menerima atau menolak sesuatu, itu bukan karena mereka dibentuk untuk menjadi seperti itu (tidak otomatis). Semua itu tergantung pada penilaiannya, tergantung pada bagaimana dia memilih untuk hidup. Ia bebas. Maka dalam kesadaran, tidak ada situasi di mana manusia tidak bebas.
Hanya saja, kebebasan tanpa ujung di mana manusia tergeletak dalam hamparan kemungkinan tak terbatas di mata Sartre adalah absurd. Sartre menyebut bahwa negasi terus-menerus membuat segala proyek manusia sia-sia belaka. Ia menjelaskan demikian, dalam keadaan keterpisahan dengan dirinya sebagaimana ia ada (what-it-is/the past), manusia ingin mengutuhkan dirinya, ia berupaya membatasi kemungkinannya agar dapat menarik satu totalitas makna tertentu. Manusia menolak ketakbermaknaan. Ia berupaya mendudukkan eksistensinya dengan menciptakan sebab bagi adanya sendiri, yakni menjadi solid layaknya materi dan dengan demikian terhindar dari beban absurditas. Proyek menangkap justifikasi atau alasan bagi keseluruhan eksistensinya itulah yang kemudian disebut sebagai diri yang diproyeksikan (the projected-self).[37] Manusia (for-itself) lantas tidak lain merupakan hasrat untuk mengidentifikasi dirinya dengan alasan keberadaannya tersebut.[38]
Hasrat tersebut bagi Sartre tampak dalam bagaimana orang menghidupi peran tertentu bagi dirinya dengan tujuan memberi justifikasi bagi keberadaannya sendiri.[39] Akan tetapi, usaha tersebut tidak mungkin berhasil sebab cita-cita itu pada dirinya sendiri bertentangan, bahwa persis saat kesadaran berusaha membangun kesatuan menyeluruh dengan dirinya (menjadi solid), saat itu pula ia lolos dari kesatuan itu justru karena ia menyadarinya. Jadi, seberapa pun seseorang berusaha mengapropriasi peran yang ia yakini tetap saja identifikasi itu tidak sempurna dalam arti seperti “batu adalah batu” atau “pisau adalah pisau.” Mengatakan “ini batu” dan “itu pramusaji” bagi Sartre adalah dua hal yang jelas berbeda meskipun kata kerja (to be) yang digunakan sama.[40] Karena itu menurut Sartre, manusia adalah hasrat yang sia-sia (Man is a useless passion).[41] Ia bukanlah faktisitasnya (is not-what-it-is), juga belum mencapai diri yang diproyeksikan (is-what-it-is-not).[42] Manusia selalu merupakan penangguhan atau kekecewaan tanpa akhir. Dengan demikian, kebebasan adalah Absurd. Berikut kita akan mengelaborasi gagasan kebebasan Sartre dalam peristiwa Covid-19.
- Covid-19 dan Tersingkapnya Kebebasan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kiranya sudah jelas bagi kita bahwa gagasan kebebasan Sartre merupakan kondisi yang timbul dari situasi kontingen eksistensi realitas secara menyeluruh. Manusia ditinggalkan sendirian tanpa alasan sebagaimana seluruh realitas juga merupakan satu keterlemparan. Tak ada apa pun di belakang atau di hadapan kita. Tidak ada kodrat atau esensi yang mengunci eksistensi secara menyeluruh sebab tidak ada Tuhan untuk merancangnya, tak ada peta metafisis yang menembus kabut masa depan.[43] Demikian tepatlah kiranya Sartre menamai eksistensialismenya sebagai satu humanisme (existentialism is A Humanism), sebab ia menggangtungkan tanggung jawab atas seluruh realitas pada manusia itu sendiri.
Pembelaan Sartre pada watak bebas realitas harus dibayar mahal. Komitmen yang sungguh-sungguh pada gagasan tersebut, sebagaimana telah kita lihat, tidak mungkin menyisakan ruang bagi Tuhan. Tidak hanya eksistensi Tuhan yang harus ditolak, tetapi juga implikasi yang ditarik secara deduktif dari keberadaan Tuhan tersebut berupa kode moral tertentu yang bersifat tetap. Menurut Sartre, manusia tidak diperangkati dengan nilai-nilai atau perintah-perintah objektif apa pun untuk melegitimasi tindakannya. Sebaliknya, nilai-nilai sebagai landasan tindakan kita mesti diciptakan (invented) oleh manusia itu sendiri, bukan ditemukan (discovered) seolah-olah sesuatu itu sudah jadi.[44] Setiap orang, demikian Sartre, bebas menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri melalui tindakannya.[45]
Masalahnya, manusia dalam kenyataan justru cenderung menolak kebebasan tersebut. Kebebasan eksistensial yang disusul tanggung jawab terhadap eksistensi secara menyeluruh itu dilihat sebagai beban yang tak tertanggungkan. Oleh Sartre, sikap menolak kebebasan itu merupakan satu ketidakotentikan (mauvaise foi). Sartre sendiri berada dalam posisi menolak sikap tersebut. Ia berpendapat bahwa menolak kebebasan berarti menolak komitmen untuk bertanggung jawab secara sungguh-sungguh, yang justru bisa membusuk menjadi satu sikap pengecut.
Orang-orang yang jatuh dalam sikap tidak otentik memperlakukan realitas sebagai sebuah fatalisme. Mereka memasung realitas dengan memaksakan ke dalamnya satu makna menyeluruh melalui struktur-struktur tertentu (bisa agama, filsafat, kebudayaan, dll) agar terhindar dari tanggung jawab dan dari beban absurditas realitas. Dalam visi teologis agama-agama misalnya, hidup manusia digambarkan seperti sebuah rel yang memiliki titik awal dan akhir serta arah yang jelas dan pasti. Keberadaan Tuhan sebagai titik awal dan akhir ini lalu membentuk konsep realitas dengan ciri pasti dalam agama-agama. Ini candu. Bingkai metafisis semacam ini mengecoh kita bahwa realitas kita bergerak stabil atau konsisten.
Hal demikian sebetulnya tidak khas agama-agama, filsafat dalam hal tertentu juga memiliki kecenderungan yang sama. Hal ini misalnya tampak dalam bentuk obsesi metafisis filsafat untuk menangkap dasar-dasar paling dalam dari realitas yang berlaku universal dan mengikat realitas secara keseluruhan, seolah-olah konstruksi-konstruksi kognitif tersebut bersifat representatif terhadap realitas secara menyeluruh. Sikap seperti ini menurut Sartre terlalu mengandaikan realitas yang serba datar dan kaku, padahal realitas menurut sartre bersifat lentur. Dalam banyak kasus, realitas tidak jarang menunjukkan ciri tak teratur melalui perubahan-perubahan yang sulit ditebak yang menunjukkan watak bebas realitas itu sendiri.
Di sini kita akan melihat bagaimana kebebasan sebagai watak realitas manusia menyingkapkan diri secara dramatis dalam peristiwa Covid-19. Di balik kondisi serba getir dalam masa pandemi yang sudah berlangsung hampir lebih dari tiga tahun ini, pembatasan diterapkan di mana-mana, kemunculan Covid-19 secara bersamaan juga merongrong segala bentuk keyakinan akan konsistensi metafisis tertentu apa pun atas realitas kita. Peristiwa Covid-19 membentangkan di hadapan kita ciri tak teratur realitas, bahwa tampak tidak ada rasionalitas tertentu di balik kehidupan ini, tidak ada alasan dan tujuan, tidak ada konsistensi apa pun yang menangkap eksistensi. Semua serba kontingen.
Mencuatnya karakter bebas atau kontingen realitas dalam peristiwa Covid-19 salah satunya terjadi melalui desakralisasi kematian. Kematian sebetulnya tidak sedemikian menyeramkan. Kita semua umumnya menerima kematian sebagai “wajar”. Dalam agama-agama misalnya, kematian justru diterima sebagai satu bagian dari sebuah rencana tertentu atau takdir Tuhan. Akan tetapi, kematian akibat wabah agaknya menimbulkan teror tersendiri. Wabah Covid-19 ini memperjelas kenyataan bahwa kematian manusia sebetulnya tidak ada bedanya dengan tikus yang mati akibat penyakit, misalnya. Ia sama saja dengan segala hal lainnya, ada dan hilang begitu saja. Tidak ada yang spesial pada manusia. Semua orang bisa mati kapan saja lepas dari peran sosial, kualitas religius, dan sebagainya. Itu artinya, realitas itu buta. Tidak ada konsistensi rasional tertentu di balik fakta kematian, tidak ada kalkulasi, semua serba acak dan buta. Jutaan nyawa melayang akibat satu virus renik adalah “bukti” bahwa realitas itu enteng, tanpa alasan dan finalitas apa pun. Absurd.
Lantas, teror terbesar yang ditimbulkan Covid-19 ialah bahwa di hadapan kematian massal yang brutal ini, kepercayaan manusia akan konsistensi metafisis atas realitasnya, akan makna dan tujuan tetap realitas tampak sulit dipertahankan. Kini misalnya, sangat sulit menerima adanya bingkai metafisis semacam determinisme pra-eksistensial bahwa kehidupan adalah sebuah rencana tertentu yang rinci dan ajeg. Ciri acak dan enteng realitas ini justru memperlihatkan absennya “juru kendali” metafisis tertentu semacam itu. Kini, keberadaan Tuhan dan kesakralan kematian sebagaimana diyakni dalam agama-agama dan budaya tertentu justru ditantang. Sebaliknya, ciri random kehidupan menjadi semakin jelas. Hidup hanyalah rentetan kebetulan yang kosong dan absurd. Realitas bergerak bebas dan acak. Orang kini barangkali makin sadar bahwa prinsip-prinsip tertentu yang mengunci realitas seperti kehendak Tuhan atau esensi-esensi metafisis lainnya meski terus dipaksakan, tetap eksternal terhadap realitas itu sendiri. Semua itu adalah konstruksi kita atas realitas, bukan realitas pada dirinya sendiri.
Lebih jauh, dampak kehadiran wabah ini tidak hanya menabrak segala kemapanan yang ada, tetapi juga mendesak kita untuk terbuka pada pembaharuan. Peristiwa Covid-19 ini disusul dengan perubahan-perubahan sosial yang tidak sepele. Saat ini, banyak kebiasaan lama pudar dan hal baru dengan susah paya diupayakan. Beberapa istilah baru seperti ‘penjarakan sosial’ (social distancing), ‘bekerja dari rumah’ (work from home/WFH), dan seterusnya, belakangan masuk dalam kehidupan masyarakat kita. Hal-hal itu menunjukkan perubahan atau pergeseran-pergeseran strategi sosial tertentu dalam kehidupan kita. Hal yang konkret misalnya ialah terbatasnya rutinitas berbasis massa. Haramnya kerumunan disusul dengan pemberhentian sementara aktivitas masal di tempat-tempat ibadat, sekolah, dll.
Perubahan-perubahan ini akhirnya menuntut refleksi-refleksi filosofis yang kontekstual mengenai manusia, kebertubuhan, intersubjektivitas, Tuhan dan seterusnya. Dengan kata lain, kita harus mengakui bahwa realitas memang pada dasarnya bebas, tidak ada sistem nilai yang tetap yang perlu dibela mati-matian. Apa yang tetap adalah penciptaan nilai secara terus menerus sebab realitas bersifat kreatif. Demikian, peristiwa Covid-19 mengafirmasi refleksi filosofis Jean-Paul Sartre mengenai kebebasan atau kontingensi sebagai posisi eksistensial manusia dan realitas secara menyeluruh, bahwa manusia di dalamnya selalu berada dalam penciptaan terus menerus. Dengan kata lain, kita tidak bisa lari dari kebebasan. Karena itu sikap tidak otentik (mauvaise foi) memang merupakan satu penipuan diri, satu kepura-puraan, satu sikap munafik.
- Kesimpulan: memeluk kebebasan yang absurd
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, kita bisa sampai pada beberapa kesimpulan berikut. Pertama, manusia secara eksistensial bebas. Menurut Sartre, ciri aneh dari realitas manusia ialah tidak adanya alasan, tidak ada ketentuan objektif atas bagaimana ia mesti hidup. Itulah yang dia maksud dengan ‘eksistensi mendahului esensi’, bahwa realitas manusia bersifat pra-reflektif atau mendahului konsep-konsep atasnya (essence). Kedua, peristiwa Covid-19 mendukung ide Sartre bahwa kebebasan merupakan watak eksistensi manusia. Kematian acak akibat wabah Covid-19 memperjelas ciri tak teratur (random) realitas yang membuat kita kini sulit menerima adanya semacam konsistensi metafisis atau esensi tertentu apa pun atas realitas kita.
Lantas, Sartre mengajak kita untuk mengambil sikap seorang eksistensialis, yakni menjadi otentik, berani menerima atau memeluk absurditas kehidupan dan kegelisahan yang melekat padanya. Memang dengan demikian, hidup tidak mungkin menjadi lebih mudah. Hidup manusia menjadi sepi dan sulit. Sartre sendiri menggambarkan situasi itu seperti “orang yang tidak memiliki tiket kendaraan”, ia akan dilihat sinis oleh orang lain, penuh rasa tidak enak dan seperti yang memang telah diketahuinya, tidak ada yang menjemputnya di stasiun tujuan. Nihil.[46]
Akan tetapi, keterbukaan pada absurditas kehidupan membuat kita tidak mudah patah sebab kita terbuka secara total pada kelenturan realitas dan tidak bergantung pada kepastian-kepastian metafisis yang palsu. Kita akan menjadi lebih realistis dan hidup secara lebih penuh termasuk dalam situasi krisis seperti yang terjadi dalam peristiwa Covid-19 ini. Penyesalan menjadi tidak masuk akal. Kita sulit jatuh dalam depresi. Kita justru akan awas terhadap perubahan, kebaruan dalam gerak acak realitas. Demikian, jauh daripada sebuah pesimisme, eksistensialisme justru merupakan satu optimisme terhadap kehidupan sebab, sebagaimana Sartre, tidak ada doktin yang lebih optimis dari sebuah doktrin yang menempatkan nasib manusia pada manusia itu sendiri (for no doctrine is more optimistic, the destiny of man is placed within himself).
Sebaliknya, sikap tidak otentik atau sikap “malafide” (mauvaise foi) tidak dianjurkan. Apabila kita bersikukuh mempertahankan prinsip-prinsip atau esensi tertentu yang bersifat tetap, kita semacam memulai perang dengan peluang kalah lebih besar. Keyakinan semacam itu mengajarkan kita untuk bersikap defensif terhadap realitas, untuk komplain di hadapan tantangan dan penderitaan. Dengan kata lain, posisi ini cenderung konservatif dan tidak kreatif. Akibatnya kita sulit mengurai tantangan-tantangan baru yang muncul dari ciri kreatif realitas dan jatuh dalam depresi atau krisis eksistensial mendalam. Dengan kata lain, kelenturan realitas menuntut pula sikap cair dalam menghadapinya. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak perlu menarik makna apa pun atas realitas kita. Hal itu tetap perlu. Hanya saja, seorang eksistensialis selalu menghidupi satu arti dengan kesadaran akan kontingensi realitas, bahwa setiap pilihan, nilai-nilai yang ia ambil tidak bersifat mutlak (niscaya) dan tertutup, melainkan terbuka untuk dipertanyakan (questionable). Hal ini masuk akal sebab dalam realitas yang kontingen, pemaknaan atas realitas tersebut juga dengan sendirinya bersifat terbatas atau kontingen. Itulah artinya menjadi otentik, yakni bersikap jujur, berhenti berpura-pura bahwa realitas kita niscaya, padahal kontingen.
Khusus bagi orang beragama, penulis berpendapat bahwa, mereka sebetulnya tidak perlu bersikap terlalu “defensif” terhadap filsafat Sartre, menganggapnya sebagai sekadar satu promosi gaya hidup nihilistik yang enteng. Mereka tidak perlu terburu-buru membela diri. Inti kritik Sartre ialah sikap “gampangan,” menghindar dari tanggung jawab, justru agar orang beragama tidak memakai Tuhan dan agamanya untuk menghindar dari tanggung jawab kepada dirinya sendiri dan seluruh umat manusia sebagaimana implisit dalam uraian Sartre mengenai ‘eksistensialisme sebagai satu humanisme’. Lagi pula Sartre tidak menyerang Tuhan per se. Ia mengeritik tuhan yang membeku dalam konsep-konsep dan dalam doktrin-doktrin agama yang kaku dan eksklusif, satu totalisasi gampangan. Dari filsafat Sartre, orang beragama justru bisa belajar untuk mawas diri dan bersikap terbuka, seperti kota yang terletak di atas bukit yang tidak mungkin tersembunyi.
Catatan : Artikel ini pernah diterbitkan dalam Jurnal Driyarkara Vol. 42 No. 2 Juli 2022
Daftar Pustaka
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Carel, Havi. Phenomenology of Illness. New York: Oxford University Press, 2016.
Catalano, Joseph S. A Commentary on Jean-Paul Sartre’s Being and Nothingness. Chicago: The University of Chicago Press, 1980.
Churchill, Steven. Jean-Paul Sartre Key Concepts. New York: Routledge, 2013.
Cox, Gary. Existentialism and Excess: The Life and Time of Jean-Paul Sartre. New York: Bloomsbury Publishing, 2016.
Dilman, Ilham. Free Will an Historical and Philosophical Introduction. New York: Routledge, 2001.
Kowa, Frans. penerj. 90 menit bersama Sartre. Jakarta: Erlangga, 2001.
Mart, Cagri Tugrul. “Existentialism in two plays of Jean-Paul Sartre.” Journal of English and Literature 3 (2012): 50-54.
Palmer, Donald D. Sartre untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Priest, Stephen. peny. Jean-Paul Sartre: Basic Writings. New York: Routledge, 2001.
Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. Translated by Hazel E. Barnes. New York:
Philosophical Library, 1956.
. Existentialism is A Humanism. peny. Carol Macomber. New Heaven: Yale
University Press, 2007.
. The Words. trans. Bernard Frechtman. New York: Georg Braziller, 1964.
. Nausea. Edited by Hayden Carruth. New York: New Directions, 1969.
Spade, Paul Vincent. “Jean-Paul Sartre’s Being and Nothingness.” Makalah dipresentasikan selama kuliah semester gugur di Indiana University, Bloomington, 1995.
[1] Havi Carel, Phenomenology of Illness, (New York: Oxford University Press, 2016), 2.
[2] Kata “kontingensi” berarti “dapat tidak ada”, ia berlawanan dengan yang niscaya atau yang “tidak dapat tidak ada” atau mutlak. Jadi realitas sebagai satu kontingensi berarti bahwa realitas berciri tidak stabil, remeh, tidak pasti sebab tidak memiliki keharusan terhadap adanya. Ia bersifat lentur atau bebas.
[3] Jean-Paul Sartre, Existentialism is A Humanism, peny. Carol Macomber (New Heaven: Yale University Press, 2007), 21.
[4] Istilah ‘abandonmet’ yang dipakai Sartre, menurut Priest, merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai Heidegger (throwness) dengan arti yang sama, yakni ‘keterlemparan’ atau keadaan tanpa determinisme a priori apa pun. Priest, Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 179. Keadaan keterlemparan manusia tersebut menurut Sartre tidak bersifat pasif seperti sebilah papan yang mengapung di air, melainkan lebih pada satu pengertian bahwa saya tiba-tiba menemukan diri saya seorang diri dan tanpa pertolongan, terlibat dalam dunia yang terhadapnya saya memikul seluruh tanggung jawab dan tidak bisa, dengan cara apa pun, untuk lari dari tanggung jawab tersebut. Keterlemparan dalam arti itu lebih merupakan satu kesadaran akan ketiadaan pegangan, akan kebebasan dan akan tanggung jawab secara bersamaan. Priest, Basic Writings, 196.
[5] Frans Kowa, penerj., 90 menit bersama Sartre (Jakarta: Erlangga, 2001), 55.
[6] Roquentin merupakan Tokoh fiktif dalam novel La Nausee. Tokoh tersebut digambarkan sebagai seorang pengelana. Roquentin mengalami rasa mual yang ia tak tahu sebabnya. Pada akhirnya, Roquentin akan menemukan bahwa rasa mual itu bersumber dari dirinya sendiri, rasa mual itu adalah eksistensi yang meluber, yang sia-sia itu. Mual itu adalah Roquentin sendiri. Dalam The words, Sartre menulis bahwa Tokoh Roquentin dalam novel tersebut merupakan perwakilan dirinya (Sartre) sendiri. [At the age of thirty, I executed the masterstroke of writing in Nausea—quite sincerely, believe me—about the bitter unjustified existence of my fellowmen and of exonerating my own. I was Roquentin; I used him to show, without complacency, the texture of my life]. Jean-Paul Sartre, The Words, 251.
[7] Stephen Priest, peny., Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 21.
[8] J-P. Sartre, Nausea, 18.
[9] J-P. Sartre, Nausea, 122.
[10] Priest, Basic Writings, 21.
[11] J-P. Sartre, Nausea, 119-120.
[12] J-P. Sartre, Nausea, 120.
[13] Palmer, Sartre untuk Pemula, 48.
[14] Palmer, Sartre untuk Pemula, 47.
[15] Sartre, Nausea, 120
[16] Palmer, Sartre untuk Pemula, 48-49.
[17] J-P. Sartre, Nausea, 116.
[18] De Trop berarti sesuatu yang tidak seharusnya ada, tapi toh ada; sebuah kelebihan yang sifatnya mengganggu. Setyo Wibowo, Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, 35.
[19] Priest, Basic Writings, 23.
[20] Priest, Basic Writings, 23.
[21] Sartre, Existentialism is A Humanism, 29.
[22] Priest, Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 194.
[23] Priest, Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 196.
[24] Gary Cox, Existentialism and Excess: The Life and Time of Jean-Paul Sartre, (New York: Bloomsbury Publishing, 2016), 10.
[25] Priest, Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 194-195.
[26] Priest, Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 196.
[27] Ilham Dilman, Free Will an Historical and Philosophical Introduction, (New York: Routledge, 2001), 190.
[28] Catalano, A Commentary, 45.
[29] Priest, Jean-Paul Sartre: Basic Writings, 108.
[30] Catalano, A Commentary, 41.
[31] Nonbeing arises within being through the nonbeing that is consciousness. Catalano, A Commentary, 57.
[32] “Man is nothing other than what he makes of himself.” Sartre, Existentialism is A Humanism, 22.
[33] Sartre, Existentialism is A Humanism, 23.
[34] Sartre, Being and Nothingness, 79, 123.
[35] Dilman, Free Will, 196.
[36] Sartre dalam Being and Nothingness (1943), menjelaskan bahwa kesadaran (being-for-itself) memiliki tiga dimensi temporal (temporality), yakni masa lalu (past), masa kini (present) dan masa depan (future). Ketiga dimensi temporal ini menurut Sartre lebih dari sekadar persoalan konseptual kita mengenai waktu, melainkan aspek dari cara berada manusia. Masa lalu (the past) adalah diri yang dilampaui atau faktisitas, termasuk tubuh kita. Masa kini (the present) berarti kesadaran (for-itself) sebagai satu disintegrasi terhadap dirinya sebagai faktisitas (in-itself). Lalu, masa depan (the future) merupakan kemungkinan-kemungkinan (possibilities) yang terbuka oleh “negasi” kesadaran terhadap dirinya, yakni “ada yang ingin dicapai” (future being). Sartre, Being and Nothingness, 119-128.
[37] Catalano, A Commentary, 107.
[38] Catalano, A Commentary, 76-77.
[39] Catalano, A Commentary, 102.
[40] Palmer, Sartre untuk Pemula, 86.
[41] Sartre, Being and Nothingness, 615.
[42] Sartre, Being and Nothingness, 79, 123.
[43] Priest, Basic Writings, 177.
[44] Sartre maintains that ethical values are invented, not discovered. Priest, Basic Writings, 191.
[45] Priest, Basic Writings, 191.
[46] Steven Churchill, Jean-Paul Sartre Key Concepts, (New York: Routledge, 2013), 9.