Inilah tiga buku yang senada, punya nafas dan semangat kritis serupa, mencoba mengemukakan fenomena zaman sekarang yang kerap disebut “post-truth”. Ketiga penulis buku ini walau dengan latar belakang dan tahun terbit berbeda – dua kritikus sastra, satunya profesor hubungan internasional- jika dicermati memiliki kecemasan serta kemawasan serupa karena perkembangan teknologi informasi. Namun lebih jauh, sebelum melangkah ke dalam pembahasan singkat ketiga buku ini, mari segarkan memori kita terlebih dahulu tentang asal mula ‘post-truth’ yang menjadi muara ketiga buku ini!
Menurut kamus Oxford, istilah “post-truth” pertama muncul dalam artikel “A Goverment of Lies” yang ditulis Steve Tesich. Penulis yang juga dikenal sebagai penulis dan sutradara teater itu di majalah “The Nation” Januari 1992 mengungkapkan pandangannya mengenai serangkaian skandal pemerintahan Amerika Serikat yang pada akhirnya mendorong rakyatnya untuk memilih “berlindung” dari kebenaran. Beberapa peristiwa tersebut antara lain “Skandal Watergate” di mana Nixon terbukti berupaya memenangi pemilu dengan cara kotor. 9 Agustus 1974, Gerald Ford, secara resmi menjabat sebagai Presiden ke-38 Amerika Serikat menggantikan Nixon. Setelah diangkat menjadi presiden, Presiden Ford kemudian memaafkan semua kejahatan yang pernah dilakukan Nixon saat menjabat sebagai presiden.
Masih dalam artikel “The Nation”, Presiden AS Ronald Reagan diketahui menjual senjata kepada Iran tanpa persetujuan Senat. Penjualan senjata tersebut dilakukan melalui barter dengan tawanan AS pada tahun 1980. Tulisan Tesisch intinya mengemukakan pemerintahan Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara demokratis sehingga sering dijadikan acuan di banyak negara dalam mempelajari ilmu politik dan sosial ternyata berkali-kali melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri. Dari sinilah istilah “post-truth” bermula dan makin populer. “Post-truth” adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran dengan memainkan emosi dan perasaan kita,
Berikut sekilas ketiga buku yang masih relevan dengan “post-truth” meskipun yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia hanya “The Death of Expertise”. Dua buku lainnya mungkin tak diterjemahkan karena dianggap kurang kontekstual dengan kondisi di Indonesia. Padahal jika dicermati, dampak “post-truth” yang sedikit terwakili di buku ini tetap saja berkaitan pada perkembangan demokrasi kita hari ini.
Sekedar contoh, masih segar dalam ingatan publik Pilgub DKI Jakarta 2017 hingga Pilpres 2014 yang tak lepas dari politik “adu domba” juga isu rasisme yang kian tumbuh subur di sosial media. Atau yang masih hangat komentar warganet, tokoh-tokoh “selebriti politik” mengeluarkan pernyataan juga pemberitaan yang cenderung tidak simpatik serta massif di media massa terhadap penganiayaan akademisi/aktivis Ade Armando saat demo di depan gedung DPR, Senin (11/4). Masih banyak bukti lain perjalanan demokrasi kita tengah terusik- pun tercederai.
Mudahnya mendapatkan akses informasi- juga kini membuatnya hanya dengan sebuah gawai- malah mungkin makin terasa menyuburkan fenomena “post-truth” itu sendiri. Mungkin masih ada buku lain yang terasa lebih “menohok” dan tajam- tapi setidaknya karya ketiga penulis buku ini tetap relevan dengan mencemaskan kebenaran namun seraya mencoba menjaga Anda mawas diri menjaga akal sehat di tengah derasnya informasi hari ini :
The Death of Critic
(Ronan McDonald,penerbit Bloomsburry Academic 2007)
Memang nama penulisnya mirip-mirip merek restoran burger cepat saji, tapi menikmati buku ini toh tak senantiasa ditulis/dibaca dengan “cepat saji”. Dimulai dengan pemaparan ketika publik hampir tak percaya dengan ulasan para jurnalis, editor, atau kritikus buku di media massa. Meskipun melalui proses penyuntingan naskah yang ketat, tetap saja masih lolos karya kritik atau ulasan berisi puja-puji berlebihan terhadap satu karya. Penulis menyebutnya mereka lebih mirip parasit di atas karya seni yang sudah ada seolah “mematikan” pendapat lain yang muncul. Padahal tiap karya bisa dimaknai berbeda tiap zamannya. Penafsiran bisa berubah tanpa menafikan penafsiran sebelumnya, begitu juga kritiknya. Tidak ada kebenaran tunggal. McDonald membela kritik yang muncul dari publik. Kala itu ketika sosial media baru populer, celotehan atau tulisan warganet dalam blog yang relevan oleh McDonald dianggap sebagai “suara baru” yang patut mendapat perhatian dikarenakan “jujur menilai sebuah karya yang dilemparkan ke publik”.
The Death of Expertise
(Tom Nichols, penerbit Oxford University Press 2017, edisi Indonesia “Matinya Kepakaran” penerbit KPG 2019)
Media boleh berubah ke digital, saatnya Anda tak hanya membaca/menerima informasi. Sumber bertebaran di Google, tinggal pilih. Anda boleh menulis, mencela, mengkritik sebebasnya, tapi percayalah kepada ahlinya. Penulis mencoba mengingatkan kembali kepada publik agar percaya kepada tulisan yang dihasilkan oleh ahlinya. Nichols tampak cemas tentang merebaknya hoax dan yang terparah, “pseudo sains”. Inti buku ini mencoba mengingatkan kembali para ahli (juga kritikus) agar kembali dipercayai publik sebagai kebenaran, di tengah kebebasan informasi dengan mengeraskan kembali polarisasi politik yang sudah ada. Nichols beranggapan bahwa publik mesti tetap percaya pada media arus utama dan jangan sampai beralih ke media alternatif yang “akan melakukan lebih banyak kerusakan dibandingkan dengan kebaikan dalam hal pencarian informasi yang lebih akurat” (hlm 203), tatkala dia mengkritik kebiasaan orang mengonsumsi berita di media hari ini.
The Death of Truth
(Michiko Kakutani, penerbit Tim Duggan Books 2018)
Michiko Kakutani yang sangat disegani sebagai kritikus sastra media terkemuka “The New York Times” tampak resah kepada tim sukses Presiden ke-45 Donald Trump yang begitu lihai membetot perhatian publik agar yakin kepada Pemerintahan Trump, terutama di sosial media dengan abai pada fakta dan etika. Sepintas isi buku ini mirip “kumpulan gerundelan antiTrump” saja meskipun sebenarnya penulis mengingatkan kepada publik bahwa kebebasan demokrasi di Amerika Serikat tengah terancam. “Kebenaran dan akal budi menjadi spesies yang terancam punah, lantas apakah pertanda kematian mereka akan segera datang ke dalam wacana publik? Inikah masa depan politik dan pemerintahan kita?” tulisnya.
***
Mc Donald mendambakan keilmuan senantiasa berkembang menjadi lebih objektif, tidak satu suara. Sedangkan Nichols dan Kakutani mengajak kita kembali kepada kebenaran tunggal. Ketiganya, masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya mendambakan kembali kebenaran yang beretika.