Home Kajian Sumbangan Utama Buya Syafii Maarif dalam Pemikiran tentang Islam dan Pancasila

Sumbangan Utama Buya Syafii Maarif dalam Pemikiran tentang Islam dan Pancasila

740
0

Munculnya perdebatan sengit soal dasar negara—apakah berdasar Islam ataukah Pancasila—sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Indonesia itu sendiri, yang saat itu baru saja merdeka dari kolonial dan muncul sebagai sebuah negara baru. Dalam soal dasar negara, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan identitas tentang Indonesia: apakah Indonesia merupakan sebuah tanah orang-orang Melayu yang Islam, ataukah sebuah negara “sekular” yang plural tetapi tetap religius. Di pihak lain, tokoh-tokoh berpendidikan Barat mengusulkan bentuk negara demokrasi modern di mana Islam sebagai salah satu elemennya.

Perdebatan tentang dasar negara berlangsung sengit dalam Majelis Konstituante (1956-1959). Sayangnya, sidang yang panjang ini tidak membuahkan hasil, dan akhirnya Konstituante dibubarkan oleh Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959. Era ini menandai berakhirnya aspirasi umat Islam untuk mengajukan Islam sebagai dasar negara secara konstitusional.

Dalam diskusi KPII LSAF ini, kita membahas pandangan dan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Pancasila di sidang konstituante ketika kini isu Islam sebagai dasar negara masih kembali diangkat oleh kalangan Islamisme (Islam sebagai ideologi politik), terutama yang berkarakter transnasional yang tumbuh subur di era pasca-Reformasi.

Melalui pemikiran Ahmad Syafii Maarif, kita akan melihat bagaimana perdebatan antara pengusung Islam dan Pancasila dalam merumuskan dasar negara di sidang-sidang Konstituante. Untuk melihat perdebatan di Konstituante, kita ini juga akan sedikit menelusuri perdebatan mengenai dasar negara semenjak sidang-sidang BPUPK, yang sudah mencuatkan perdebatan antara bentuk negara atas dasar agama (Islam) dengan dasar sekular (Pancasila).

Mengapa pandangan Ahmad Syafii Maarif perlu diangkat? Dan menurut saya, ini adalah kontribusi utama pemikirannya dalam pemikiran Islam Indonesia. Jawabannya, karena Syafii Maarif, telah memberi jasa kepada umat Islam Indonesia dalam bentuk rintisan penumbuhan tradisi Islam yang autentik sekaligus kritis. Di sisi lain, Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu mantan ketua Muhammadiyah dan tokoh intelektual Islam Indonesia yang keberatan apabila Islam dijadikan dasar negara dan formalisasi syariat Islam.

Sebagai salah satu tokoh besar tentu saja pandangan-pandangannya tentang relasi agama dan nasionalisme menemukan momentumnya pada masa sekarang terutama setelah reformasi. Karena itu penting untuk diketengahkan pemikiran Syafii Maarif yang moderat, inklusif, dan substansialistik.

Sidang Konstituante:
Pandangan Ahmad Syafii Maarif

Wacana Negara Islam di Indonesia muncul dan berkembang ketika umat Islam yang taat mengklaim bahwa Islam bukan hanya sistem teologi, tetapi juga jalan hidup yang meliputi sejumlah standar etik moral dalam kehidupan masyarakat dan negara. Secara historis, para pemimpin muslim di Indonesia berusaha menjadikan Islam sebagai dasar negara, pertama kali menjelang persiapan kemerdekaan tahun 1945 dan kedua kalinya di Parlemen dalam Sidang Konstituante 1956-1959, namun kedua-duanya tidak berhasil.

Untuk mengikuti perdebatan tentang dasar negara dalam parlemen konstituante ini, beberapa peristiwa penting dalam masa 1950-1955 adalah: Pertama, dalam masa-masa itu parlemen konstituante memang menghadapi masalah-masalah berat dalam melaksanakan tugasnya karena beragamnya aliran-aliran politik di dalam tubuh majelis itu. Kedua, pertikaian antar militer, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut membuat masa depan tampak suram. Akhirnya kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana merumuskan batang tubuh konstitusi lebih mudah dicapai dibandingkan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar negara.

Majelis konstituante bersidang dari bulan November 1956 sampai juni 1959, masalah-masalah yang dibicarakan, dalam majelis ini meliputi masalah-masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara, di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan sudah mencapai 90 % dari tugas-tugas itu dirampungkan. Yang paling alot memang adalah perdebatan tentang masalah dasar Negara, konstituante dihadapkan pada tiga pilihan yang mewakili tiga kelompok kepentingan, apakah menjadikan pancasila sebagai dasar negara, ataukah Islam seperti yang di perjuangkan kelompok Islam, atau mungkin menjadikan ideologi sosial ekonomi sebagai dasar negara Indonesia, persoalannya menjadi sangat pelik ketika ketiga kelompok tersebut telah mengeluarkan argumennya dan pendukungnya masing-masing. Isu sekularisme dan agamis melandasi perdebatan ini. Hingga kemudian, perdebatan dalam Dewan Konstituante mengalami jalan buntu. Pada akhirnya, perpaduan antara Pancasila dan Islam diserahkan kepada rezim pemerintahan yang berkuasa.

Ketika Mohammad Natsir, tokoh terkemuka Masyumi, melibatkan diri dalam perdebatan inilah maka perseteruan religio-ideologis antara kedua kelompok di atas menjadi semakin keras dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdebatan religio-ideologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembangkannya ke dalam suatu tema yang lebih lebar, yaitu tentang apa yang dapat disebut sebagai Negara Indonesia merdeka dan modern yang dicita-citakan. Menurut Natsir, faham nasionalisme Soekarno bisa menjadi menjadi faham chauvinistic, ia mengkhawatirkan bergulirnya paham nasionalisme Soekarno menjadi sebuah bentuk ashabiyah baru. Yang pada akhirnya berujung kepada fanatisme.

Bagi Natsir faham nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir berpendapat tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.

Natsir, meneropong makna prinsip utama yang membedakan antara paham sekularisme (ladinyah) tanpa agama dengan paham agama (dinyah). Bagi Natsir, sekularisme merupakan suatu pandangan hidup atau cara hidup yang “mengandung paham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas hidup keduniaan”. Jadi, bagi Natsir segala hal dalam kehidupan sekularisme tidak memiliki tujuan pada apa yang melampui batas-batas yang sifatnya duniawi, misalnya: Tuhan, akhirat, dan lainnya. Menurut Natsir, ada satu pengaruh sekulerisme yang sangat berbahaya, yaitu “menurunkan sumber nilai-nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.

Maksud pernyataan Natsir di atas adalah bahwa di dalam sekulerisme terdapat juga ajaran untuk tidak boleh membunuh, kasih sayang sesama manusia, namun bukan didasarkan pada wahyu Ilahi, melainkan didasarkan pada apa yang disebut Natsir “penghidupan masyarakat semata-mata”. Dalam pandangan Natsir reduksi nilai-nilai adab dan kepercayaan ke tingkat perbuatan manusia yang selalu hidup dalam pergolakan masyarakat, akan menjadikan pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Manusia akan merasa lebih tinggi dari nilai-nilai tersebut, dan memandang nilai-nilai itu hanya alat semata-mata, karena merupakan hasil ciptaan manusia sendiri. Karena itu Natsir menolak Pancasila sebagai dasar negara, karena didasarkan atas cara pandang sekuler yang tidak sesuai dengan cara pandang Islam.

Meskipun sejarah mencatat terjadinya gelombang pasang surut, kadang gerakan Islam yang menonjol dan kadang gerakan kebangsaan yang naik dalam masa prakemerdekaan, namun ketika konstitusi dirumuskan tahun 1945, kekuatan kedua kubu ini boleh dikata sama-sama kuat. Demikianlah akhirnya pertentangan dua kubu tersebut menghasilkan suatu kompromi awal berupa ‘Piagam Jakarta,’ di mana ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ disebutkan. Dalam Piagam Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun dengan rumusan yang berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima dasar telah berubah, ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan kelima, kini menjadi yang pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan menjadi sila pertama, juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari BPUPKI menjadi PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh Hatta, berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya dengan konsepsi tersebut yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat.

Namun, ternyata kompromi awal ini pun akhirnya harus diubah lagi dengan kompromi baru, di mana diputuskan suatu ‘posisi antara’ dan ‘remang-remang’ bahwa Indonesia adalah ‘bukan negara agama, bukan pula negara sekuler,’ tetapi negara Pancasila. Rumusan sila pertama, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dari Pancasila, dan kemudian didirikannya Departemen Agama pada 1946 menunjukkan ‘posisi antara’ negara Indonesia. Tentu, kompromi politik tersebut tidak dapat memuaskan semua pihak. Kubu Islam, misalnya, kembali berusaha memasukkan gagasan penerapan syariat Islam secara eksplisit dalam konstitusi, seperti tercermin dalam perdebatan di Sidang Konstituante di paruh kedua 1950-an, lalu upaya memasukkan ‘tujuh kata’ (kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya) di sidang MPRS pada 1967, dan terakhir di sidang MPR pada 2002.

Menurut Syafii Maarif, rumusan itu hanya bertahan selama 57 hari hingga akhirnya anak kalimat dari kata ketuhanan dicoret dari batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 karena alasan politis dan agama. Anak kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lanjutnya, diusulkan oleh anggota Panitya Sembilan BPUPKI, Prof. K.H. Abdoel Kahar Moezakkir. Adanya anak kalimat ini untuk sementara waktu telah meredakan ketegangan ideologi pada bulan-bulan menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan rumusan anak kalimat itu pendukung dasar Islam telah sedikit terobati hatinya, sekalipun untuk jangka panjang dasar Islam ternyata harus mereka perjuangkan lagi.

Penafsiran tentang Islam dan Pancasila

Bagi Syafii Maarif, Piagam Jakarta tidak perlu lagi dilihat dari perspektif legal-formal, tetapi diambil ruhnya berupa tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara, tanpa diskriminasi. Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya harus berhenti untuk dijadikan retorika politik. Semua nilai yang terkandung dalam Pancasila harus diterjemahkan ke dalam format yang konkrit sehingga prinsip “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” benar-benar menjadi kenyataan. Selain itu Pancasila juga tidak bisa dipisahkan dari Islam yang merupakan sumber moral untuk seluruh aspek kehidupan. Oleh sebab itu, umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia berkewajiban mutlak untuk mewarnai Pancasila dengan nilai-nilai Islam yang bersifat universal.

Syafii Maarif mengungkapkan bahwa Pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara Indonesia harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu, sehingga tuduhan bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara sekular akan dapat ditangkal. Pancasila yang hanya dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa ini, sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat adil dan makmur akan semakin menjauh saja. Bagi Syafii, setelah dikaji dalam konteks kultur Indonesia, sampai sekarang tidak ada konsep lain yang tepat yang secara rasional dapat mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar Pancasila. Kelima sila Pancasila itu jika dipahami secara benar dalam satu kesatuan tidak ada yang perlu dipersoalkan dari sudut pandangan teologi Islam.

Islam yang harus ditawarkan adalah sebuah Islam yang bersedia bergandengan tangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.

Kegelisahan Syafii tentang kompleksitas hubungan antara Islam dan negara mendorongnya mencari jalan keluar dengan mengeksploitasi tafsir yang menarik atas ideologi Pancasila. Ia menemukannya pada pemikiran Mohammad Hatta. Menurut Syafii, wakil presiden pertama Indonesia ini menjelaskan bahwa sila pertama dalam Pancasila merupakan prinsip spiritual dan etik bagi cita-cita kenegaraan Indonesia. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan fondasi moral yang kukuh bagi ke- empat sila lainnya dan harus menjadi pembimbing bagi cita-cita kenegaraan lainnya. Pengalaman traumatik masa lampau ketika Islam dibenturkan dengan politik kekuasaan menurut Syafii Maarif jangan diulang lagi, sebab hanya akan berujung dengan kesia-siaan.

Syafii Maarif termasuk tokoh dan pemikir muslim yang tidak setuju dengan konsep Negara Islam. Dengan latar belakang disiplin keilmuan sejarah memberikan kemantapan bagi dirinya tentang pilihan sikapnya, karena telah menelusuri banyak literatur sejarah baik klasik maupun modern, bahwa istilah negara Islam sesungguhnya tidaklah orisinil dari tradisi Islam. Istilah ini oleh Syafii dipandang baru muncul pada abad ke-20 sebagai upaya konfrontasi atau lawan tanding konsep kenegaraan yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir politik Barat yang dianggap sekuler yang menganut sistem kepercayaan bukan Islam. Islam sebagai sebuah entitas ajaran, dipandang oleh sebagian umat Islam yang berkecenderungan kepada formalitas Islam, harus mempunyai kerangka konseptual yang juga meliputi masalah-masalah kenegaraan. Pendapat ini mutlak untuk memenuhi klaim Islam sebagai agama yang kaffah atau menyeluruh. Pandangan ini ditolak oleh Syafii Maarif dengan mendialogkan langsung dengan Al Quran dan tradisi awal Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.

Syafii Maarif melihat bahwa munculnya istilah ini karena umat Islam mengalami trauma sejarah yang sangat parah selama penjajahan Barat atas hampir semua bangsa muslim di dunia. Kondisi ini membuat umat Islam mengalami inferiority complex.

Untuk menghilangkannya, langkah yang bisa ditempuh adalah menghapus segala sesuatu yang bernuansa bangsa-bangsa yang telah melakukan penjajahan tersebut. Selain itu, terdapat ketidakpercayaan umat Islam kepada sistem politik sekuler yang dianggap mengusir Tuhan dari kehidupan dunia.

Dengan kata lain, sesungguhnya umat Islam ingin menampilkan sistem politik sendiri yang mempunyai karakteristik berbeda dengan sistem politik yang telah berkembang dan digunakan oleh masyarakat Barat. Ini mengindikasikan konsep negara Islam lebih kepada respon terhadap Barat, sehingga mencari legitimasi dengan konsep universalitas Islam.

Syafii Maarif melihat bahwa konsep politik kenegaraan oleh para pemikir muslim untuk mengisi kekosongan dan hasil ijtihad yang dibutuhkan oleh umat Islam karena tuntutan situasi dan kondisi. Sebagai produk ijtihad maka perbedaan-perbedaan menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Nabi tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri, asal prinsip syura dijalankan dan dihormati sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk khilafah atau imamah sebagaimana dikembangkan oleh para yuris seperti al-Baqillani dan al-Mawardi pada abad pertengahan, menurut Syafii, tidak lebih dari sekedar usaha intelektual untuk memenuhi dan menjawab tuntutan sejarah dan tantangan zaman.

“Kalau tujuh kata atau delapan perkataan yang menjadi ciri khas Piagam, yaitu dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebagai pengiring sila Ketuhanan dicantumkan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, pasti dalam implementasinya akan menemui kesulitan yang tidak kecil. Perkataan kewajiban sudah tentu memuat perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluk Islam. Pasal ini jelas memerlukan tangan kekuasaan untuk merumuskan sebuah UU bagi pelaksanaan syariat Islam itu. Dan kalau tidak hati-hati, ini akan dapat menjadi bumerang bagi citra Islam pada masa datang. Namun, dari kaca mata agama, melaksanakan syariat bagi umat Islam adalah sebuah kewajiban. Persoalannya adalah perlukah perintah wajib itu dicantumkan dalam UUD? Bukankah melalui Pasal 29 ayat 1 dan 2 terbuka peluang lebar bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya seluas dan sebebas mungkin? Salah satu bentuk konkretnya adalah disahkannya UU zakat, sampai di mana pelaksanaan UU ini dalam realitas? Ini yang perlu dipantau.”

Menurut Syafii Maarif jika amandemen Pasal 29 UUD 1945 dilakukan akan memarginalkan banyak orang Islam, atau kelompok masyarakat yang selama ini masuk dalam kelompok Islam pinggiran, yang justru akan lari dari Islam. Bukankah hal itu justu akan merugikan upaya dakwah Islam itu sendiri. Menurutnya mengapa kita menggantungkan harapan soal syariat Islam kepada negara yang membuktikan bahwa umat Islam sedemikian tidak berdaya, sehingga penerapan syariat Islam pun harus diatur negara. Dalam penerapan syariat Islam bukan persoalan siap atau tidak siap. Tetapi dilihat secara realitas sosial, infrastruktur atau perangkat lunak sumber daya manusia Muslim kita masih sangat rapuh. Manusia Indonesia, meski mayoritas Muslim, kebanyakan melaksanakan syariat Islam baru sebatas simbol, dan belum pada substansi.

Penerapan syariat Islam dikhawatirkan menjadi bumerang bagi syariat Islam itu sendiri karena Islam yang selama ini diyakini sebagai agama rahmatan lil’alamin. Dampaknya adalah orang Islam kebanyakan hanya akan menjalankan syariat Islam sebatas kulitnya saja atau simbol, tetapi tidak sampai kepada substansinya. Lebih utama adalah bagaimana pondasi keislaman yang harus kokoh terlebih dahulu, yang tidak memerlukan intervensi negara. Menurut Syafii, persoalannya juga bukan cenderung berpikir sekular, tetapi negara atau institusi politik jelas merupakan alat penting untuk mencapai tujuan moral Islam.

Syafii Maarif menyebutkan bahwa penerapan syariat Islam justru akan menjadi bumerang bagi Islam sendiri. Mengapa? Karena umat Islam hanya menjalankan syariat sebatas kulitnya saja, bukan pada substansinya. Oleh karena itu, ada baiknya jika agama dan negara dipisahkan, namun bukan memisahkan secara sepenuhnya. Menurutnya, agama adalah aturan moral bagi individu dalam suatu negara, walaupun konsep dan dasar negara bukanlah berbasis agama, khususnya Islam.

Bagi Syafii, konsep Islam belum sepenuhnya layak diterapkan di Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih belum mengetahui dan membedakan dirinya berdasarkan identifikasi secara keagamaan. Oleh sebab itu, menurut Syafii, ada baiknya jika konsep negara lebih kepada gagasan secara universal, khususnya kesepakatan yang diperoleh melalui UUD 1945. Dengan demikian, konsep negara-bangsa yang mengedepankan universalitas justru akan lebih mudah untuk diterima, daripada penerapan syariat Islam secara holistik. Berdasarkan hal tersebut, Syafii lebih melihat agama hanya sebagai pedoman individu, bukan menjadi aktualisasi didalam masyarakat, apalagi negara.

*Bahan diskusi KPII, 28 Mei 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here