Home Agenda Diskusi JLS : Critical Phenomenology : Phenomenology In and For the Future

Diskusi JLS : Critical Phenomenology : Phenomenology In and For the Future

682
0

Diskusi rutin “Jangan Lupa Selasa” (JLS), Selasa, 22 Maret 2022, pukul 19.00 -21.00.
Tema: Critical Phenomenology: Phenomenology in-and-for the Future

Fenomenologi Kritis (FK) adalah cabang dari pendekatan fenomenologi yang merespon masalah-masalah yang sama yang dihadapi fenomenologi klasik sambil tetap mempertahankan fokus pada subjektivitas dan perbedaan sosial (Kinkaid, 2020).

Sementara Sara Ahmed, salah seorang pemikir generasi awal dari FK dalam bukunya Queer Phenomenology Orientations, Objects, Others (2006), melihat bahwa FK berhutang budi pada jejak pemikiran dan tulisan para cendekia feminis, queer dan anti-rasis yang secara kreatif dan kritis bergulat dengan tradisi Fenomenologis.

Di antaranya para filsuf feminis yang mengaji secara mendalam tentang tubuh dan subjektivitas seperti Sandra Battky (1990), Iris Marion Young (1990, 2005), Rosalyn Diprose (1994. 2002), Judith Butler (1997a), dan Gail Weiss (1999), juga fenomenolog perempuan seperti Edith Stein (1989) dan Simone de Beauvoir (1997), fenomenolog queer seperti (Fryer 2003) dan fenomenolog ras seperti Frantz Fanon (1986), Lewis R. Gordon (1985), dan Linda Akoff (1999).

Mereka berhasil menunjukkan kepada kita bahwa gugus perbedaan sosial merupakan dampak dari bagaimana tubuh memukimi ruang bersama-yang-lain dan bagaimana mereka memproblematisasi aspek interkorporeal dari ‘kebermukiman tubuh’ (bodily dwelling).

Mengambil inspirasi dari tulisan dan pengalaman Frantz Fanon, Lisa Guenther dalam Solitary Confinement: Social Death and Its Afterlives (2013) mendefinisikan FK sebagai berikut:

“Fenomenologi Kritis bergerak melampaui fenomenologi klasik dengan merefleksikan struktur2 sosial yang kuasi-transendental yang membuat pengalaman kita akan dunia menjadi mungkin dan bermakna. FK juga melibatkan diri dalam praktik material menstrukturkan ulang dunia agar dapat menghasilkan dunia yang lebih terbuka bagi pengalaman dan eksistensi bermakna. Karenanya, FK merupakan cara berfilsafat sekaligus aktivisme politik. Tujuan akhir dari FK—menggemakan suara kenabian Marx—bukan hanya menafsirkan dunia namun juga mengubahnya” (Guenther, 2013: 15-16).

Secara lebih filosofis, Marder dalam Phenomena—Critique—Logos: The Project of Critical Phenomenology (2014) menyitir pandangan fenomenolog awal yang cenderung memandang berpikir kritis sebagai spekulasi abstrak dan kosong, ikhtiar ontologis dari selayang pandang mata elang, pendekatan yang tidak mau repot-repot memerhatikan detail halus kesadaran manusia, eksistensi dan relasinya dengan dunia.

Dus, FK merupakan triangulasi dari kritik dengan fenomena dan logos, sebuah ikhtiar menjembatani ketiganya. Kesatuan absolut dari fenomena dan logos hadir dalam deklarasi apophainesthai ta phainomena, atau “membiarkan ia yang menampakkan dirinya dilihat dari dirinya sendiri dengan cara sepersis-persisnya ia menampakkan dirinya dari dirinya.”

Tokoh kunci lain dari FK, Gayle Salamon, dalam artikel yang dimuat khusus dalam Puncta, Journal of Critical Phenomenology (2018) melacak asal-muasal FK dengan “bertolak dari hasil pertemuan tahunan Masyarakat Filsafat Fenomenologi dan Eksistensial pada 1984 dan 1985. Donn Welton dan Hugh Silverman kemudian memublikasikan buku Critical and Dialectical Phenomenology (1987) yang menjadi resume dari pertemuan tahunan tersebut. Istilah FK muncul sekali dalam buku ini dan membaharui pengertian fenomenologi klasik secara khusus yaitu Fenomenologi yang lebih dialektis dan kritis yang berakar pada tradisi fenomenologi klasik sekaligus bergerak melampaui batas-batasnya dalam hal konten, metode atau disiplin.”

Konteks kelahiran FK didedah Rasmus Dyring (2020), tokoh antropolog FK, dengan mengatakan bahwa semenjak pergantian Milenium ketiga, FK telah berkembang secara paralel dengan filsafat dan antropologi yang di dalamnya terjadi penyerbukan-silang. Sebagai aliran filsafat, fokus Fenomenologi meletak pada upaya menyingkap struktur transendental dari subjektivitas yang mengondisikan pengalaman yang dihayati secara konkrit, sementara FK mengombinasikan sensitivitas fenomenologi klasik ini secara lebih kritis dengan melihat bagaimana subjektivitas dibentuk di bawah kondisi-kondisi sosiokultural dan ekonomi yang kuasi-transendental—experientially accessible and ethico-politically mutable.

Baik dalam filsafat maupun antropologi, FK terinspirasi dan diprovokasi oleh pemikiran feminis dan teori queer, dengan bertolak dari duniakehidupan kaum marjinal, mereka yang berada di pinggiran masyarakat, misalnya: orang kulit berwarna, LGBT, pecandu obat-obatan terlarang, tunawisma, serta mereka yang dianggap lali jiwa.

Semoga kajian tentang Fenomenologi Kritis dalam JLS nanti dapat membuka wawasan kita tentang kait-kelindan keragaman topik, pendekatan, perhatian, kajian dan dinamika pergumulan kekuasaan-dalam-perbedaan dan perbedaan kekuasaan di atas! Ikuti lebih lanjut pembahasannya dalam Webinar Jangan Lupa Selasa persembahan Alumni STF Driyarkara yang untuk kali ini akan mengangkat topik:

CRITICAL PHENOMENOLOGY: PHENOMENOLOGY IN-AND-FOR THE FUTURE

Pembicara: Hendar Putranto
(Alumni STF Driyarkara)

Hari/tanggal: Selasa, 22 Maret 2022
Pukul : 19.00 – 21.00 WIB

Gratis dan terbuka untuk umum

Topic: CRITICAL PHENOMENOLOGY: PHENOMENOLOGY IN-AND-FOR THE FUTURE
Time: Mar 22, 2022 07:00 PM Jakarta

Join Zoom Meeting:
https://us02web.zoom.us/j/86157557884?pwd=SEVwT1JRdGE5enFkQ2pBU09NMExrZz09
Meeting ID: 861 5755 7884
Passcode: 569892

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here