P
engantar
Setelah “selera” dipahami lewat kacamata Sosiologi “habitus dalam klas sosial yang terstratifikasi” (Bourdieu, 1984) dan dikonstruksi lewat ‘gugus teori praktik’ dalam Sosiologi Konsumsi (Warde, 2014), saya akan menunjukkan bagaimana kajian industri media kontemporer ternyata berpaling ke budaya dan praktik budaya sebagai sumber komodifikasi dan kapitalisasinya. Salah satu aspek sentral dari budaya adalah bahasa dan praktik berbahasa yang hidup dalam masyarakat. Saya berangkat dari kasus viralnya kata “Anjay” pada akhir Agustus dan awal September 2020 lalu.
Pengucapan “Anjay” kemudian jadi polemik publik, bahkan ada wacana untuk memidana siapapun yang mengucapkan “Anjay.” Di sini, “Anjay” bukan hanya sebuah contoh konkrit dari praktik berbahasa kontemporer tapi juga bagian dari praktik sosial yang termediatisasi. Mengingat sifat viralnya, “Anjay” juga dapat dilihat sebagai bagian dari tiga momen media yaitu produksi, teks, dan penerimaan. Berikut tahapan analisisnya.
“anjay” bukan hanya sebuah contoh konkrit dari praktik berbahasa kontemporer tapi juga bagian dari praktik sosial yang termediatisasi.”
Membaca Kajian Industri Media Kontemporer (Hesmondhalgh, 2010)
Hesmondhalgh mengawali tulisannya dengan hasil pengamatan bahwa studi produksi media sedang booming. Hanya saja, tidak cukup banyak periset media yang mengulas aspek produksi ini karena lebih sibuk meneliti media sebagai teks untuk ditafsirkan dan/atau karakteristik penerimaan (audiens) media. Padahal, kedua momen terakhir ini mengandaikan adanya produksi media terlebih dulu. Definisi yang ditawarkan Hesmondhalgh tentang studi produksi media adalah “studi yang mempelajari bagaimana orang (produser) dan proses (produksi) yang menyebabkan media memiliki bentuk-bentuk seperti yang ada dan digunakan audiens sekarang” (2010: 4). Dalam hubungan triadik antara produser, proses produksi dan bentuk-bentuk media ini juga terkait persoalan kekuasaan, terutama kekuasaan yang muncul ketika produksi media didominasi industri media atau media corporations.
s
ejak tahun 1970-an, ranah kajian tentang produksi media mulai dilakukan dengan serius. Ada dua kelompok pendekatan teoritis yang dominan menelaah topik ini. Pertama, disebut mainstream organizational sociology of culture—kelompok studi arusutama yang berfokus pada kajian organisasi dan manajerial dari produksi media dan kedua, political economy approaches to the media—kelompok studi yang berfokus pada kajian media dan komunikasi, berposisi marjinal dalam payung besar Sosiologi. Dari keragaman perhatian yang ada di dalam masing-masing kelompok ini, ada tiga isu mendasar yang disoroti:
Sejak tahun 1970-an, ranah kajian tentang produksi media mulai dilakukan dengan serius
Organisasi: Lewat proses seperti apa produk-produk media sampai pada kita? Bagaimana produksi ini diorganisasi, dikordinasi dan dikelola?
◆ Kepemilikan, ukuran dan strategi: Seberapa penting ukuran dan kepemilikan suatu korporasi media, dan apa peran dari perusahaan-perusahaan media yang lebih kecil?
◆ Kerja: Apa hakikat kerja dalam industri media?
Untuk menganalisis tiga pertanyaan ini, Hesmondhalgh (2010: 8) kemudian membedakan dualitas momen creativity/commerce, yang mengadopsi pandangan Ryan (1992) untuk menjelaskan tiga tahap kunci dari ‘produksi’ budaya, yaitu:
(1) KREASI: tahap ketika karya ‘asli’ digagas dan dieksekusi (diwujudkan), biasanya oleh tim kreatif. Tahap pertama ini lebih tepat disebut KREASI alih-alih PRODUKSI karena tahapan ini dianggap mendahului momen ketika audiens membeli dan mengalami produk budaya.
(2) REPRODUKSI: tahap duplikasi produk budaya.
(3) SIRKULASI: tahap pemasaran, publisitas dan delivery produk budaya.
“Hesmondhalgh mengingatkan pembaca agar tidak terlalu cepat bergembira menyongsong datangnya surga baru yang di dalamnya “setiap orang dapat menjadi produser media”
Pada bagian akhir tulisannya, Hesmondhalgh mengingatkan pembaca agar tidak terlalu cepat bergembira menyongsong datangnya surga baru yang di dalamnya “setiap orang dapat menjadi produser media” (prosumer) karena “Laman MySpace dan YouTube yang dihasilkan bukan oleh kaum profesional biasanya hanya dapat mencetak sukses kecil saja, dan meskipun ada yang berhasil viral, kasus-kasus seperti ini sangat jarang—karena para produser yang profesional dan manajer produksi media biasanya terlibat di belakang layar dalam menghasilkan video viral tersebut” (Hesmondhalgh, 2010: 17).
Respon kritis tersebut mereka namai “menaruh budaya pada tempatnya” (putting culture in its place) dengan cara mengidentifikasi hubungan erat antara budaya dengan Ekonomi-Politik, tanpa mereduksi budaya sebagai ‘hanya’ ekspresi lahiriah dari sejumlah kekuatan Ekonomi-Politik
Membaca Kajian Industri Media dari lensa Ekonomi–Politik Budaya (Sum & Jessop, 2013)
Buku Towards a Cultural Political Economy (TCPE) karya Sum dan Jessop menggali secara teoritis aspek budaya dalam kajian Ekonomi-Politik. TCPE merespon secara kritis sejumlah kajian pustaka Ekonomi-Politik yang menempatkan ‘tikungan budaya’ sebagai fokus analisis. Respon kritis tersebut mereka namai “menaruh budaya pada tempatnya” (putting culture in its place) dengan cara mengidentifikasi hubungan erat antara budaya dengan Ekonomi-Politik, tanpa mereduksi budaya sebagai ‘hanya’ ekspresi lahiriah dari sejumlah kekuatan Ekonomi-Politik (Krebs & Glassman, 2016).
S
alyga (2017) dalam review-nya menyebutkan bahwa TCPE dari Sum & Jessop (2013) menawarkan sebuah agenda riset Ekonomi-Politik baru yang mengatasi kesempitan cara berpikir intradisipliner dengan memberi perhatian secara seimbang baik pada aspek semiosis (meaning- and sense-making) maupun strukturasi (institusionalisasi) dalam analisis Ekonomi-Politik dengan memberi ruang analisis terkait dimensi budaya.
Kebaruan yang ditawarkan Sum dan Jessop menggabungkan secara kreatif (a) untai pemikiran filsafat politik dari Antonio Gramsci (terutama konsep Hegemoni) dan (b) Michel Foucault (terutama konsep Genealogi Kekuasaan dan Governmentality), selain juga diinspirasi (c) paradigma Realisme Kritis (RK) dan (d) pendekatan strategic-relational (SRA). TCPE dapat dilihat sebagai ‘jalan ketiga’ yang mengatasi reduksionisme Ekonomi dan voluntarisme Analisis Wacana.
Sebagaimana ditegaskan Sum dan Jessop (2013: 20), “dunia sosial memiliki properti semiotik (budaya) dan struktural (sosial) sehingga CPE yang kami tawarkan mempelajari variasi, seleksi, dan retensi dari praktik-praktik semiosis dan semiotik, peran mereka dalam reduksi kompleksitas, dan artikulasi mereka lewat teknologi dan agensi.”
“Pendekatan RK dan SRA menempatkan kemasuk-akalan (sense-making) dan kebermaknaan (meaning-making) di jantung program riset sains sosial”
Pendekatan RK dan SRA menempatkan kemasuk-akalan (sense-making) dan kebermaknaan (meaning-making) di jantung program riset sains sosial. Kemasuk-akalan merujuk pada peran semiosis dalam menangkap (memahami) dunia alamiah dan dunia sosial serta nilai referensial dari semiosis itu sendiri untuk membuka jalan pada kemungkinan-kemungkinan (potensial) yang dapat diaktualkan.
Sementara, kebermaknaan merujuk pada kelindan proses signifikasi dan komunikasi yang bermakna dan erat kaitannya dengan produksi makna linguistik. Dengan memasukkan semiosis, CPE merupakan versi EkonomiPolitik yang non-deterministik, terbuka terhadap kontingensi dan ragam pemaknaan, sekaligus simpul persinggungan dari sejumlah ranah/sub-ranah kajian
Ada enam fitur kekhasan CPE versi Sum & Jessop (2013: 23) berikut :
Kontribusi khas dari Sum dan Jessop pada pengembangan teoritis CPE yang mau saya soroti ada pada poin ketiga, yaitu kesalingterhubungan dan ko-evolusi aspek semiotik dan ekstra-semiotik yang termediasi.
Ada dua pertanyaan kunci yang diajukan Sum & Jessop setelah menggarisbawahi enam fitur kekhasan CPE: (1) Di hadapan krisis ekonomi dan politik, kontribusi semacam apa yang ditawarkan bayangan-bayangan politis dan ekonomis baru maupun yang sudah mapan terhadap tata-kelola dan resolusi krisis? (2) Dapatkah CPE yang berbasis semiosis menyediakan bukan hanya kerangka penafsiran tentang dunia, tapi juga jalan keluar dari krisis yang terjadi di dalam dunia? (Sum & Jessop, 2013: 141)
Karena itu, berdasarkan pembacaan atas teks Hesmondhalgh (2010) dan Sum & Jessop (2013), saya mengundang sidang pembaca untuk mengaitkan butir-butir analisis dan insight dari pokok bahasan di atas dengan fenomena viralitas Anjay sebagai produk industri media baru (YouTube) yang sarat dengan polemik semiosis dan ekstra-semiotis dengan bertanya:
Pertama: [Dalam konteks Indonesia 2020-sekarang] Bagaimana kajian produksi dan industri media dapat menunjukkan aspek organisasional dari viralnya sebuah produk budaya yang termediatisasi (‘Anjay’)?
Kedua: dengan menggunakan kerangka CPE, bagaimana menjelaskan fenomena ‘Anjay’ yang viral dan polemis dari aspek semiosis (sense & meaning making) dan ekstra-semiotisnya?
REFERENSI
Rujukan Utama
Hesmondhalgh, D. (2010). Media industry studies, media production studies. Dalam James Curran. Penyunting. Media and Society, Fifth Ed. London: Bloomsbury Academic.
Sum, N-L & Jessop, B. (2013). Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in its Place in Political Economy. Cheltenham, UK dan Northampton, MA, USA: Edward Elgar.
Rujukan Pelengkap
Krebs, M., & Glassman, J. (2016). Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in Its Place in Political Economy, by Ngai-Ling Sum and Bob Jessop. Rethinking Marxism, 28(2), 330–333. doi:10.1080/08935696.2016.1158973
Salyga, J. (2017). Book Review: Ngai-Ling Sum and Bob Jessop, Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in its Place in Political Economy. Cheltenham: Edward Elgar, 2015. 592pp., ISBN 978-1783472437. Political Studies Review, 15(2), 268-269. doi: 10.1177/1478929917693447