K
etika tiba di gerbang kota itu tiga puluh tahun lalu, banyak pohon rindang dengan taman yang tertata rapi. Gedung-gedung tua yang jarang dengan tembok abu-abu dan sebagian berlumut. Sedikit sekali manusia yang bisa saya temui di kota Blois [baca: bloa] itu, seperti kebun para Pangeran yang telah ditinggalkan.
Memang pemilik Chateau de Chaverny – kastil yang indah itu – telah pergi ke Paris yang hanya 2 jam jauhnya. Kastil sepi karena sang Pangeran tidak mampu membiayainya, Pemerintah telah begitu kejam menetapkan pajak bumi dan bangunan bagi pewarisnya. Sehingga sisa-sisa kejayaan itu diserahkan ke negara untuk menjadi Museum. Walau zaman Baroque sudah lama berlalu, bau pesta dan foya-foya masih berbekas pada furnitur dan ballroom dengan tirai gorden merah yang lebar dan kayu oak pada perapian abad 17. Dari balik jendela kaca, burung-burung Robin bertengger di teras.
Kemudian Elizabeth Lafrance, perempuan Prancis berambut blonde yang sehari-hari bekerja di Departemen Sains Fiber Optic Alcatel, mengajak saya ke sebuah restoran yang spesialisasinya mengolah ikan Nila. Nila sebelum dibakar, diiris sekedarnya untuk disisipkan potongan tomat, jeruk, minyak olive, garam, piment d’espelette (lada cabai) dan daun thyme, untuk kemudian dibungkus dengan aluminium foil. Nila yang sudah matang selanjutnya dihidangkan bersama kentang dan daun selada yang ditumis sekedarnya. Sehingga kesegaran daging Nila di bagian dalam dan tekstur crispy pada kulit ikan memberikan nuansa protein yang manis hangat dan lezat.
“Nila yang sudah matang selanjutnya dihidangkan bersama kentang dan daun selada yang ditumis sekedarnya”
Kalau ingin hidangan Nila tadi, maka kita harus memilih Dorade a la Plancha dalam menu. Restoran itu, namanya L’Embarcadere, terletak di depan sungai Loire yang mengalir jernih dengan batu kali berwarna putih berserakan pada bagian pinggirnya. Dinner di kota Blois dimulai sore hari sambil mencecap Mas des Brousses, red wine yang kaya rasa namun tidak mahal harganya.
Hidangan dan obrolan tanpa terasa telah membuat matahari senja hilang dari langit, berganti dengan malam yang hening. Lizbeth, begitu saya memanggilnya, bercerita tentang birokrasi Alcatel yang boros dan semrawut. Terlalu banyak produk yang tidak seluruhnya unggul di market. Sehingga seringkali kalah bersaing pada tender yang biasanya dimenangkan oleh Ericsson dan Nokia karena mereka lebih fokus dalam trend seluler.
M
emang benar apa yang dikeluhkan teman saya itu, setelah melalui negosiasi yang panjang akhirnya Alcatel melakukan merger dengan Lucent (dulu namanya AT&T) di tahun 2006, demi menghentikan perdarahan keuangan yang parah. Namun merger itu tidak banyak menolong. Di tahun 2016, perusahaan gabungan itu berujung diakuisisi oleh Nokia seharga 16 milyar US$. Dengan itu, Nokia kemudian menghilangkan 1200 jenis pekerjaan yang tumpang tindih. Tidak terbayangkan berapa ribu karyawan yang dipecat karena akuisisi tersebut.
Kecenderungan zaman sekarang tidak memberi tempat lagi kepada perusahaan yang tidak efisien. Hanya perusahaan spesialis saja, seperti Cisco, yang khusus memproduksi modem, bisa survive. Perusahaan yang menciptakan produk aneka ragam layaknya supermarket, biasanya akan ambruk karena membutuhkan biaya besar dalam R&D yang hasilnya belum tentu sukses. Kita juga melihat komputer IBM sudah tidak ada lagi, karena tidak mampu bersaing. Ujungnya di tahun 2005, IBM dijual ke perusahaan Taiwan yang lebih kecil, dan mereknya berubah menjadi Lenovo.
Dengan itu, Nokia kemudian menghilangkan 1200 jenis pekerjaan yang tumpang tindih
Malam akhirnya larut, pantulan sinar bulan berkilau di riak sungai Loire, yang kami lewati ketika menuju tempat parkir. Saya bertemu Lizbeth beberapa tahun kemudian pada sebuah konferensi di Hongkong, perawakannya tetap kecil seperti perempuan Perancis pada umumnya. Ia sudah tidak di Alcatel. Namun kali ini tidak ada lagi dinner karena pesawat telah menunggu untuk menerbangkan kami pulang ke negeri masing-masing.