Home Kajian Representasi dan Kontestasi Gugus Makna Anjay Menurut Kajian Budaya dan Media

Representasi dan Kontestasi Gugus Makna Anjay Menurut Kajian Budaya dan Media

516
0

P

engantar 

Viralnya “Anjay” yang kemudian menjadi polemik publik pengguna media baru YouTube selama Agustus-September 2020 yang lalu merupakan contoh konkrit dari praktik berbahasa dan bermedia kontemporer di Indonesia. “Anjay,” dari kacamata Kajian Media dan Kajian Budaya, dapat dilihat sebagai bagian dari tiga momen kajian media yang dipengaruhi insight dari kajian budaya, yaitu representasi (Hall), sub-budaya (Hebdige), dan encoding/decoding (Morley). Dalam arti apa viralnya “Anjay” dapat dijelaskan dan dipahami dengan menggunakan tiga momen kajian media yang dipengaruhi insight Kajian Budaya tersebut? Berikut tahapan analisisnya secara terperinci.

Membaca dan Menafsirkan Kajian Media yang berpusat pada Audiens (David Morley, 1980)

Corner (1981) mengatakan bahwa perspektif ‘kajian budaya’ memberikan sumbangan positif terhadap analisis cara kerja media massa terkait aspek proses dan praktik ‘simbolisasi’. Akan tetapi, perspektif kajian budaya juga memiliki keterbatasan dalam kritiknya yang cenderung hanya berkutat ‘maju mundur’ pada level analisis tekstual. Disebut ‘maju-mundur’ karena aspek yang dianalisis adalah organisasi media, kebijakan dan praktik (‘mundur’) dan persoalan persepsi audiens, aktivitas membaca/menonton, serta cara-cara dominasi ideologis yang mengemuka (‘maju’).

Dalam bagian Pengantar untuk bukunya Rethinking the Media Audience (1999: 2-8), Pertti Alasuutari membedakan tiga generasi riset audiens media dalam tradisi Kajian Budaya Inggris (Turner, 2003: 138). Generasi pertama diwakili pendekatan studi encoding/decoding seperti dicontohkan dalam NWA Morley. Fokus Gen 1 ini pada pembacaan teks atau sekumpulan teks (program tayangan TV tertentu dianggap sebagai ‘teks media’) untuk memahami proses penerimaan pesan oleh audiens. Generasi kedua diwakili pendekatan ‘tikungan etnografis’ yang tidak hanya berfokus pada analisis teks media, tapi lebih memberi perhatian primer pada bagaimana perilaku audiens media dan bagaimana pemahaman audiens termuat dalam bentuk-bentuk kehidupan sehari-hari.

Generasi ketiga berangkat dari kritik terhadap pendekatan etnografis Gen II, serta kritik terhadap kategori yang cenderung tunggal dan seragam tentang audiens itu sendiri. Salah satu representasi dari Gen III ini adalah studi yang dilakukan Ann Gray (1992) tentang bagaimana perempuan menggunakan VCR (the gendered use of the VCR). Objek studinya adalah teknologi itu sendiri, bukan seperangkat teks seperti yang dilakukan Morley (1980), dan studi penggunaan teknologi VCR ini melibatkan sejumlah faktor kontekstual dan lainnya.

Dalam terang kategorisasi ini, “Nationwide Audience”/NWA (Morley, 1980) yang didanai The British Film Institute merupakan riset audiens media dengan model encoding/decoding berbasis pendekatan empiris (dengan data statistik) yang merupakan sebuah terobosan bagi analisis Kajian Media selama era kebangkitan minat studi budaya yang diinisiasi Richard Hoggart lewat bentukan kelembagaan Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies (1964). Konteks ini jugalah yang menjustifikasi NWA, kelak, menjadi “salah satu karya yang paling berpengaruh dalam sejarah muncul dan berkembangnya riset audiens baru” (Turner, 2003: 77-79; Kim, 2004: 84).

teknologi itu sendiri, bukan seperangkat teks seperti yang dilakukan Morley (1980), dan studi penggunaan teknologi VCR ini melibatkan sejumlah faktor kontekstual dan lainnya.

NWA merupakan analisis program majalah BBC yang dipelopori Charlotte Brunsdon dan David Morley. Nationwide yang ditayangkan circa Mei 1976 merupakan program tayangan berita sore yang formatnya mirip dengan ‘Sapaan Pagi’ versi Amerika atau Australia, alih-alih format konvensional tayangan berita. Program Nationwide terhitung sukses sebagai TV institution di Inggris selama bertahun-tahun. Kajian teks atas program Nationwide yang dipelopori Brunsdon dan Morley ini dilakukan dengan cara melakukan analisis tekstual atas kode-kode dan konvensi-konvensi yang mendefinisikan Nationwide untuk para pemirsanya, dengan didukung analisis kuantitatif atas pola-pola seleksi seperti jenis cerita apa yang paling sering muncul, misalnya.

Hasil analisis mereka menunjukkan bahwa Nationwide menampilkan diri sebagai sebuah refleksi sederhana dari cara pemirsanya melihat dunia (current affairs). Meskipun ragam tayangan yang disaksikan pemirsa amatlah selektif, Brunsdon dan Morley berhasil menunjukkan betapa audiens secara aktif dan sukses melakukan proses dekoding terhadap kode-kode konstitutif dan diskursus yang ditawarkan, juga bagaimana audiens secara aktif mengonstruksi a consensual, ‘preferred’ view, bukan hanya tentang makna program itu sendiri namun juga definisi tentang masyarakat yang mereka diami/alami.

Membaca dan Menafsirkan Representasi (Stuart Hall, 1997)

Apa itu praktik representasi dan sejauh mana ‘makna’ (meaning) ada/masuk dalam praktik ini? Inilah pertanyaan besar yang diajukan Stuart Hall dalam teks seminal The Work of Representation. Bagi Hall, penubuhan konsep, ide dan emosi dalam bentuk simbolisnya yang kemudian ditransmisikan dan ditafsirkan secara bermakna oleh penerima pesan (audiens) adalah pengertian dasar dari praktik representasi. ‘Ditafsirkan secara bermakna’ di sini memberi tekanan pada kemampuan dan kekuasaan audiens alih-alih kekuasaan produsen artefak budaya dan makna yang ditanam-paksakan (impose) dalam artefak tersebut—hal yang biasanya ditekankan dan menjadi trademark dari kajian media lawas.

Lebih jauh lagi, makna harus ada (tertanam) dalam sembarang produk budaya yang beredar (bersirkulasi) dan kemudian audiens atau pengguna produk itulah yang ‘mendekoding’ makna atau menerima kemasuk-akalannya di titik lain dari sirkuit budaya. Makna yang terbungkus dalam bahasa bukanlah properti eksklusif dari si pengirim pesan atau penerima pesan, melainkan sebuah ruang budaya yang dibagikan (a shared cultural ‘space’) yang di dalamnya produksi makna lewat bahasa (arti dari representasi) terjadi. Jadi, penerima pesan dan makna bukan entitas pasif yang menunggu begitu saja untuk dilolohi/disuapi melainkan aktif ‘mengambil’ atau ‘memaknai’ dalam tindakan/praktik bernama signifying practice.

Pembicara, pendengar, penulis dan pembaca adalah partisipan aktif dalam proses signifying practice yang bercirikan interaktif ini. Mereka juga dapat bertukar peran, pembaca pada satu momen sirkuit budaya dapat menjadi penulis pada momen lainnya, dst. Representasi kurang tepat kalau digambarkan seperti transmisi satu arah (model komunikasi Shannon dalam kajian Matematika Komunikasi, 1949) melainkan lebih mirip model dialog, atau dialogal. Yang menopang dialog ini terus berlangsung adalah kehadiran kode-kode budaya yang dibagikan antar partisipan, sehingga menjamin tidak ada satu makna tunggal, seragam dan ajeg, meskipun ada saja usaha-usaha kekuasaan untuk mematri makna tunggal tersebut dalam diskursus.

Meskipun ada intervensi kekuasaan untuk melakukan hal pematrian makna ini, sekurang-kurangnya ada satu syarat wajib yaitu ‘adanya kode-kode budaya yang dibagikan’ (misalnya: penggunaan bahasa dan kosakata yang sama dan dapat diterima partisipan pada berbagai level/situs/lokasi) sehingga proses terjemahan yang efektif antar ‘pembicara’ menjadi mungkin.

Hall menyarankan agar partisipan dalam proses signifying practice perlu memikirkan makna bukan dalam terma/kerangka akurasi dan kebenaran, melainkan dalam terma pertukaran yang efektif—proses penerjemahan—yang memfasilitasi komunikasi budaya sekaligus mengakui adanya persistensi perbedaan dan kekuasaan antar ‘pembicara’ di dalam sirkuit budaya yang sama (Hall, 1997: 10-11). Dalam pola ini, dihindari terjadinya determinisme atau pengajegan makna yang menghentikan alur proses penerjemahan.

Konsep representasi menempati posisi penting dalam Kajian Budaya karena representasi menghubungkan antara makna dan bahasa dengan budaya. Tapi bagaimana persisnya representasi terjadi? ‘Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna tentang, atau merepresentasikan, dunia secara bermakna, pada orang lain. Representasi adalah bagian esensial dari proses yang di dalamnya makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota sebuah budaya. Tentu saja representasi melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda dan imaji-imaji yang mewakili benda atau konsep yang dipertukarkan. Dalam Representasi, Hall menggunakan pendekatan ‘konstruksionisme’ karena perspektif inilah yang dianggapnya memiliki dampak paling signifikan terhadap Kajian Budaya selama bertahun-tahun (Hall, 1997: 15).

Representasi adalah bagian esensial dari proses yang di dalamnya makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota sebuah budaya

Representasi dengan demikian juga dapat dipahami sebagai produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam kepala kita yang ternyatakan (termaterialisasikan) lewat bahasa. Representasi adalah penghubung antara konsep dan bahasa yang memampukan kita untuk mengacu baik pada dunia ‘nyata’ yang terdiri dari objek, orang atau peristiwa yang dapat diinderai secara fisik, maupun dunia imajiner berupa objek, orang maupun peristiwa fiksional (seperti tampak dalam karya-karya sastra, misalnya) (Hall, 1997: 17) Dalam arti ini, representasi sebagai praktik pemaknaan intersubjektif dalam Kajian Budaya merujuk pada konsep epistemologis “Realisme.”

Membaca dan Menafsirkan Sub-Budaya (Dick Hebdige, 1979)

Meskipun ada banyak pemikir dan praktisi, baik individu maupun kolektif, yang berperan memajukan kajian budaya di Inggris circa 1970-an, namun Pusat Kajian Budaya Kontemporer Birmingham (CCCS) dapat dianggap dan diklaim sebagai ‘lembaga kunci dalam perkembangan sejarah kajian budaya’ (Turner, 2003: 62). Secara lebih khusus, bertolak dari tradisi studi yang diinisiasi CCCS ini, Subculture karya Dick Hebdige “boleh jadi merupakan karya yang paling berpengaruh tentang kajian sub-budaya dalam arus utama kajian budaya” (Turner, 2003: 91).

Dalam Subculture, artikulasi Stuart Hall tentang gugus praktik pemaknaan (signifying practices) mendapatkan bentuk materialnya dalam sejumlah gaya sub-budaya yang diintroduksi dan dielaborasi Hebdige. Ia menggunakan semiotika untuk menafsirkan gugus makna (betapapun ambigu dan kontradiktoris) yang diproduksi gaya berpakaian, musik dan perilaku sub-budaya. Pengaruh kritisisme sastra, khususnya karya kelompok Tel Quel di Perancis, juga apropriasi teknik-teknik etnografis Phil Cohen oleh Kajian Budaya, merupakan dua pengaruh besar bagi perkembangan analisis Subculture Hebdige.

Hebdige mengawali Subculture dengan mengutip karya pujangga Perancis, Jean Genet (1910-1986), The Thief’s Journal. Dalam pandangannya, deskripsi liris Genet tentang a tube of vaseline, a ‘dirty, wretched object’ yang ditemukan polisi Spanyol ketika menggeledah dirinya, adalah penanda proklamasi dirinya ke tengah dunia sebagai seorang homoseksual—orientasi seksual yang masih dianggap sebagai perilaku menyimpang dan melanggar hukum di Inggris dan sejumlah negara di Eropa circa 1960-an. Hebdige mengeksplorasi topik yang ditulis Genet karena di mata Hebdige, Genet adalah sosok yang memperjuangkan subversive implications of style, baik dalam hidup maupun karya seninya. “Seperti Genet, kita tertarik dengan sub-budaya—gugus bentuk dan ritual ekspresif dari kelompok-kelompok yang tersubordinasi—seperti the teddy boys and mods and rockers, the skinheads and the punks—yang seringkali disingkirkan, disangkal keberadaannya dan dikategorisasi; diperlakukan sebagai ancaman terhadap tatanan publik dan dianggap badut yang lemah” (Hebdige, 1979: 2).

Ilustrasi – budaya

Apropriasi budaya dan penanda-penanda budaya, seni, serta ekspresi-ekspresi lahiriahnya seperti musik, gaya berpakaian, joget (dance), penggunaan bahasa slang, aksesoris-aksesoris merupakan ajang perjumpaan kelompok dalam masyarakat yang mengatasi beragam perbedaan yang ‘diwariskan dan dikonstruksi’, entah itu klas sosial, ras, warna kulit, sosio-ekonomi, dst. “Pada ranah estetikalah: dalam berpakaian, joget, musik; dalam keseluruhan retorika gaya, kita menemukan dialog antara mereka yang berkulit hitam dan kulit putih terekam secara dalam dan komprehensif, meskipun dalam bentuk kode. Dengan mendeskripsikan, menafsirkan dan mempreteli bentuk-bentuk ini, kita dapat mengonstruksi penjelasan tentang pertukaran yang terjadi di antara kedua komunitas. Kita dapat menyaksikan, karena jelas-jelas ini dipertontonkan di permukaan budaya orang muda klas-pekerja Inggris, suatu sejarah hantu dari hubungan antar-ras sejak Perang Dunia” (Hebdige, 1979: 45).

Pada ranah estetikalah: dalam berpakaian, joget, musik; dalam keseluruhan retorika gaya, kita menemukan dialog antara mereka yang berkulit hitam dan kulit putih terekam secara dalam dan komprehensif, meskipun dalam bentuk kode

Pentingnya Subculture Hebdige dalam kanon Kajian Budaya adalah menyoroti budaya orang muda Inggris (dengan representasinya: budaya punk) yang dibaca sebagai teks ganda: ekspresi seni sekaligus kritik ideologi. Warisan budaya tinggi era Victoria yang dianalisis ‘Generasi Pertama Kajian Budaya’ (yang diwakili para pemikir berhaluan moralis dan sosio-literer seperti Matthew Arnold, Raymond Williams dan Richard Hoggart) lebih memahami budaya sebagai hegemoni. Pemahaman ini kemudian diteruskan ‘Generasi Kedua’ yang merayakan sub-budaya sebagai tantangan dan tentangan terhadap hegemoni.

Jika dibahasakan dalam konteks sekarang, sub-budaya dilihat sebagai underground dan “ditampilkan sebagai otentik dan inovatif; kontras dengan (budaya) arusutama yang parasitik” (Marchart, 2003: 86). Lebih jauh lagi, terkait dengan kajian/diskursus media, “Sub-budaya eksis mendahului atau di luar diskursus media, atau, sub-budaya merancang model distribusi dan sirkulasinya sendiri. Terlihat juga bahwa sub-budaya berjuang secara konstan untuk mengenyahkan mesin korporat yang ingin sekali menjadikan sub-budaya sebagai miliknya” (Pepper, 2019: 423).

Dalam konteks kajian praktik budaya dan identitas orang muda (youth studies), ada baiknya mengingat saran Hodkinson (2015). Dikatakan bahwa debat besar antara mereka yang pro kajian Sub-budaya versi CCCS (Subculture Hebdige, di antaranya) dan mereka yang pro kajian Post-subcultural (non-CCCS)—yang memberi tekanan pada aspek agensi, fluiditas dan individualisasi yang semakin intensif ditemukan dalam identitas budaya orang muda kontemporer—perlu lebih memberi perhatian pada dan memelajari dua aspek penting dan saling terkait berikut. Pertama, bentuk-bentuk kolektif dari identitas dalam budaya orang muda; Kedua, keberagaman praktik budaya orang muda dalam konteks biografi-biografi individu yang lebih luas sekaligus bagaimana posisi struktural mereka dalam lanskap sosio-ekonomi-politis yang ada.

Bahan Diskusi

Bertolak dari tiga gugus pembacaan teks di atas, saya terdorong untuk mengajukan sejumlah pertanyaan diskusi:

Pertama, dalam konteks Indonesia 2020-sekarang, seperti apa cara membaca viralitas polemik ‘Anjay’ sebagai ekspresi linguistik dari sub-budaya hip-hop yang termediasi YouTube?

Kedua, gugus pemaknaan seperti apa yang diperoleh audiens yang tersegmentasi klas-klas sosial yang berbeda ketika membaca viralitas ‘Anjay,’ baik secara dominan, negosiasi maupun oposisional?

 

REFERENSI

Rujukan Utama

Hall, S. (1997). The Work of Representation. Dalam Stuart Hall. Penyunting. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (13-74). London, UK dan Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Hebdige, D. (1979). Subculture: The Meaning of Style. London dan New York: Routledge.

Morley, D. dan Brunsdon, C. (1999). The Nationwide Television Studies. London dan New York: Routledge.

Morley, D. (1980). The ‘Nationwide’ Audience: Structure and Decoding. BFI Television Monograph No. 11.

Rujukan Pelengkap

Alasuutari, P. Penyunting. (1999). Rethinking the Media Audience: The New Agenda. London: Sage.

Corner, J. (1981). Book reviews : The Nationwide Audience: Structure and Decoding, David Morley, BFI Television Monograph Number 11, £2.95. Media, Culture & Society, 3(2), 197-200. https://doi.org/10.1177/016344378100300211

Gray, A. (1992). Video Playtime: The Gendering of a Leisure Technology. London: Comedia dan Routledge.

Hodkinson, P. (2015). Youth cultures and the rest of life: subcultures, post-subcultures and beyond. Journal of Youth Studies, 19(5), 629-645. DOI: 10.1080/13676261.2015.1098778

Kim, S. (2004). Rereading David Morley’s The ‘Nationwide’ Audience. Cultural Studies, 18(1), 84-108. DOI: 10.1080/0950238042000181629

Marchart, O. (2003). Bridging the Micro-Macro Gap: Is There Such a Thing as a Post-subcultural Politics? Dalam David Muggleton dan Rupert Weinzierl. Tim Penyunting. The Post-subcultures Reader(83-97). Oxford dan New York: Berg.

Morley, D. (1992). Television, Audiences and Cultural Studies. London dan New York: Routledge.

Pepper, M. D. (2019). Revisiting Avril Lavigne: Intersections of Subculture, Gender, Youth, and Authenticity. The Journal of Popular Culture, 52(2), 416-435.

Turner, G. (2003). British Cultural Studies: An introduction. Third edition. London dan New York: Routledge.

Previous articleKolokium Dwimingguan : Persahabatan Menurut Cicero
Next articleJangan Lupa Selasa : Kurban dan Kemanusiaan
Alumnus Program Magister STF Driyarkara, Kandidat Doktor dalam bidang Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, dan Dosen Tetap Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here