apa masalah yang dihadapi kajian media (media theories) sejak kemunculan ‘yang digital’ (The Digital) dalam lanskap praktik dan wacana media? Muncul dan menguatnya paham practical turn dalam kajian-kajian Ilmu sosial secara umum dan kajian media secara khusus ternyata menyoroti mentasnya konsep praktik dan teorisasinya dalam ‘teori praktik sosial’ sebagai sebuah paradigma baru untuk riset media.
Selain itu, konsep praktik dapat dipahami dan digunakan sebagai kerangka analisis untuk menjembatani rongak antara kajian media yang berpusat pada media itu sendiri (media-centric approach) dengan kajian ilmu-ilmu sosial yang lebih berpusat pada pembahasan konsep-konsep kunci seperti ‘struktur, modalitas, interaksi’ (Giddens, 1984) atau tindakan komunikatif (Habermas, 1990), atau Teori Sistem Sosial (Luhmann, 1997).
Lantas, di mana letak kebaruan konsep praktik ini bagi pengembangan perspektif teori media? Berikut hasil pembacaan dan penafsiran penulis atas tulisan Nick Couldry (2004) dan Sarah Pink, dkk (2016) untuk menjawab pertanyaan di atas.
Couldry (2004) mengeksplorasi sejumlah skenario munculnya paradigma baru dalam riset media yaitu “media sebagai praktik” (berikutnya disingkat MsP). Berangkat dari perkembangan teori praktik dalam kajian Sosiologi, MsP diharapkan dapat membuka sekat-sekat paradigma lama dalam riset media yang biasanya sibuk menelaah dampak, produksi, teks, ekonomi politik (industri), maupun penafsiran audiens tentang media. MsP bertujuan untuk melihat beragam praktik yang terarah pada penggunaan dan peran media untuk mengatur/menata praktik-praktik lainnya dalam dunia sosial. Lewat penelusuran genealogis tentang sejarah riset media dari masa ke masa, Couldry menyimpulkan bahwa setiap generasi periset media sudah selalu berada dalam konteks sosio-historis-budaya dan tantangan teoritis-konseptual yang berbeda-beda.
“setiap generasi periset media sudah selalu berada dalam konteks sosio-historis-budaya dan tantangan teoritis-konseptual yang berbeda-beda”
Ada tiga keunggulan menggunakan paradigma MsP dalam riset media. Pertama, anti-fungsionalisme, artinya, MsP tidak lagi melihat tindakan manusia dalam wadah ‘masyarakat’ atau ‘budaya’ sebagai ‘bagian’ dan ‘keseluruhan’ dengan fungsi-fungsi alamiah maupun artifisial. Kedua, MsP lebih terbuka terhadap keragaman dan kompleksitas pengaturan praktik, baik dalam skala mikro maupun makro. Ketiga, dalam MsP lebih jelas terlihat adanya upaya untuk memahami prinsip-prinsip dan mekanisme pengaturan praktik.
Dalam dunia dan budaya yang semakin disesaki oleh kehadiran dan peran media (media-saturated world), MsP menawarkan cara menganalisis yang menghargai keragaman pilihan individu dalam menggunakan media sekaligus kekhasan gugus pengalaman lokal praktik bermedia. Karenanya, MsP mengatasi kebuntuan teoritis yang biasanya mempertentangkan agensi dan struktur, sebab sejatinya prinsip tatanan sosial dapat memproduksi sekaligus direproduksi pada level praktik bermedia itu sendiri.
perspektif praktik menunjukkan bagaimana media tertanam dalam kelindan hidup sosial dan budaya penggunanya sekaligus bersikap kritis pada persoalan akses terhadap sumber-sumber media yang terkait dengan ketidakmerataan distribusi kekuatan sosial.
Etnografi Digital (DE) muncul sebagai sebuah perpotongan kajian keilmuan (intersectional analysis) yang terutama bersumber dari kajian sosiologi dan antropologi sejak akhir 1970-an
Sejalan dengan mentasnya perspektif praktik dalam kajian media, Etnografi Digital (DE) muncul sebagai sebuah perpotongan kajian keilmuan (intersectional analysis) yang terutama bersumber dari kajian sosiologi dan antropologi sejak akhir 1970-an, misalnya lewat karya Bourdieu (1977) dan Giddens (1984) [Generasi Pertama], kemudian berlanjut ke Schatzki (2001) dan Reckwitz (2002) [Generasi Kedua], sampai ke generasi ketiga, yang diwakili Couldry (2004), Bräuchler dan Postill (2010), dan Pink, dkk. (2016).
Penulis mengembangkan analisis seputar MsP dengan bertolak dari tujuh unit analisis dari Etnografi Digital (Gambar 1) dan lima prinsip Etnografi Digital (Gambar 2) berikut ini:
Pink, dkk. (2016) mengelaborasi konsep sekaligus merumuskan peta jalan pengembangan Etnografi Digital, baik sebagai metode maupun pendekatan baru dalam kajian media (MsP), yaitu adaptif, kolaboratif, tertanam (embedded & embodied), multi/trans-disipliner dan persistensi penggalian guna memahami ‘unsur-unsur yang tidak terkatakan dalam hidup sehari-hari’ (Pink, dkk., 2016: 39). Kekuatan DE dalam telaah Pink, dkk. bertolak dari aktivitas manusia yang mendasar, yaitu pengalaman dan praktik, kemudian bergerak menuju ekstensi sekaligus instantiasinya dalam kajian tentang benda-benda, relasi, dunia sosial, lokalitas dan berujung pada peristiwa publik yang termediatisasi dengan mengikuti tahapan berikut: ritual eksistensial processual.
Analisis Pink, dkk (2016) meneruskan dan melampaui teoritisasi Couldry (2004) dalam tiga hal berikut. Pertama, adanya kategorisasi unit analisis yang memudahkan pemahaman pembaca untuk mapping persoalan; kedua, artikulasi prinsip-prinsip etnografi digital yang menyederhanakan serakan fitur dan ciri-ciri dalam keragaman kajian etnografis, dan ketiga, kekayaan implementasi dari kategorisasi maupun artikulasi prinsip tersebut dalam sejumlah contoh studi kasus etnografis yang kemudian direfleksikan dengan menggunakan pendekatan Etnografi Digital.
Penulis membaca dan menafsirkan bahwa poin kekuatan dari analisis Couldry (2004) terletak pada problematisasi dan theorizing-nya, sementara pada Pink, dkk. (2016) terletak pada implementasi dan eksemplifikasinya.
Meskipun MsP menarik untuk ditelaah dan dikembangkan lebih jauh, dengan beragam penerapan dan afordansinya (contoh: praktik bermedia kontemporer dengan menggunakan aplikasi media sosial), penulis menyampaikan dua kritik berikut untuk pendekatan MsP.
“poin kekuatan dari analisis Couldry (2004) terletak pada problematisasi dan theorizing-nya, sementara pada Pink, dkk. (2016) terletak pada implementasi dan eksemplifikasinya”
Kritik yang pertama mengacu pada Hobart (2010) terkait Ontologi dari Praktik. Bagi Hobart, “Praktik bukanlah objek alamiah namun sebuah kerangka rujukan yang kita gunakan untuk mempertanyakan kenyataan yang kompleks,” (Hobart, 2010: 61) sehingga, alih-alih menggunakan terminologi yang terlalu luas cakupan maksudnya sebagaimana diusulkan Couldry “praktik yang berorientasi pada media, dengan segala kelonggaran dan keterbukaannya…yang orang lakukan dengan media dalam seluruh cakupan situasi dan konteks,” (Couldry, 2004: 119) Hobart justru lebih condong menggunakan istilah “praktik yang terhubung dengan media” yang sifatnya lebih terbuka terhadap keragaman media praktik—baik yang duniawi (mundane) dan sederhana, maupun yang kompleks berjejaring—sekaligus mengakomodasi pilihan yang menegasi suatu opsi, seperti menolak untuk membaca sebuah surat kabar atau menonton tayangan berita yang disiarkan stasiun TV swasta tertentu karena, katakanlah, alasan ideologis (‘beritanya condong memihak Penguasa’) maupun praktis (‘jeda antar beritanya terlalu banyak tayang iklannya’).
Ontologi Praktik terlalu beragam untuk dikerangkeng dalam sebuah laci kategori yang ketat dan rapi, karena tidak jarang praktik media (khususnya) memuat kontradiksi-kontradiksi
Ontologi Praktik terlalu beragam untuk dikerangkeng dalam sebuah laci kategori yang ketat dan rapi, karena tidak jarang praktik media (khususnya) memuat kontradiksi-kontradiksi. Namun, secara umum, ciri khas praktik adalah merongrong (undermines) sistem, entah itu sistem representasi, sistem teoritis, atau sistem penjelasan tentang media yang diajukan para praktisi dan akademisi media.
Kritik yang kedua berkisar pada minimnya elaborasi aspek “Etika Media dan/atau Etika Komunikasi” dalam DE karya Pink, dkk. Dari hasil penelusuran teks, “Ethical” hanya disebutkan lima kali sepanjang 165 halaman body text, dan dari tersebutkannya lima kali itu, hanya acuan kepada “reflexive practice” (Pink, dkk., 2016: 11) yang secara jelas menggarisbawahi ‘dimensi etis dari kolaborasi penciptaan pengetahuan dalam proses etnografis.’
lebih dari dua puluh ‘kasus’ (proyek penelitian etnografis digital) yang diangkat dalam buku ini tidak mengulas sama sekali aspek etis dari media praktik: apakah motivasi bertindak, aktivitas/praktik, maupun dampak dari perilaku subjek/mitra penelitian yang menggunakan, misalnya, media sosial, dinilai baik atau buruk? Apa dasar pembenaran etisnya? Padahal, seiring kemajuan riset ilmu sosial kemanusiaan yang menyoroti isu seputar teknologi informasi (ICT) ataupun piranti digital dan infrastrukturnya, ataupun isu seputar digital humanities, muncul juga sejumlah tulisan yang fokus menyoroti aspek etika dari riset digital dan/atau digitalisasi/mediatisasi (Paoletti, dkk., 2013; Floridi, 2013; James, 2014; Reyman & Sparby, 2020; Ess, 2020).
Karenanya, berdasarkan hasil pembacaan, penafsiran, evaluasi dan pemetaan di atas, cukup menarik jika sidang pembaca diajak untuk bertanya secara kritis dan setelahnya dapat melanjutkan dengan penelitian mandiri, pertanyaan penelitian berikut ini:
“Bagaimana metode dan pendekatan etnografi digital mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan etis digital mulai dari desain risetnya, pelaksanaan (field research), sampai ke tahap penulisan dan publikasi hasil penelitiannya?”
REFERENSI
Utama
– Couldry, N. (2004). Theorising media as practice. Social Semiotics, 14(2), 115-132. DOI: 10.1080/1035033042000238295
– Pink, S., Horst, H., Postill, J., Hjorth, L., Lewis, T. dan Tacchi, J. (2016). Digital Ethnography: Principles and Practice. London (UK) dan Thousand Oaks, CA (USA): Sage Publications Ltd.
Pelengkap
– Ess, C. (2020). Digital Media Ethics, Third Edition. Cambridge, UK dan Medford, MA: Polity Press.
– Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford, UK: Oxford University Press.
– Giddens, A. (1984). The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press.
– Habermas, J. ([1983] 1990). Moral Consciousness and Communicative Action. Diterjemahkan oleh Christian Lenhardt & Shierry Weber Nicholsen dari edisi asli berbahasa Jerman, Moralbewusstsein und kommunikatives Handeln (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag). Cambridge, UK dan Malden, MA: Polity Press.
– Hobart, M. (2010). What do we mean by ‘media practices’? Dalam Bräuchler, B. dan Postill, J. (eds) Theorising Media and Practice (55-75). Oxford dan New York: Berghahn.
– James, C. (2014). Disconnected: Youth, New Media, and the Ethics Gap. Cambridge, Massachusetts dan London, England: The MIT Press.
– Luhmann, N. (1997). Die Gesellschaft der Gesellschaft (2 vols). Frankfurt am Main, Germany: Suhrkamp. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Theory of society (2 vols.). Stanford, CA: Stanford University Press (2012–2013).
– Paoletti, I., Tomas, M. I., & Menendez, F. Tim Penyunting. (2013). Practices of Ethics: An Empirical Approach to Ethics in Social Sciences Research. Newcastle upon Tyne, NE6 2XX, UK: Cambridge Scholar Publishing.
– Reckwitz, A. (2002). Toward a Theory of Social Practices: A Development in Culturalist Theorizing. European Journal of Social Theory 5(2), 243–263. DOI: 10.1177/13684310222225432
– Reyman, J. & Sparby, E. M. Tim Penyunting. (2020). Digital Ethics: Rhetoric and Responsibility in Online Aggression. New York, NY dan Oxon, OX: Routledge.