Home Kajian Melampaui Pascamodernisme: Pandangan Non-Barat tentang Identitas Menurut Yin

Melampaui Pascamodernisme: Pandangan Non-Barat tentang Identitas Menurut Yin

892
0

Artikel yang ditulis Yin, seorang cendekia dari Departemen Ilmu Komunikasi University of Hawai’I, menawarkan dua hal. Pertama kritik dan kedua argumen. Pertama, Yin mengkritik gagasan pasca-modernisme yang dilihatnya terlalu berparadigmakan Eropasentris. Kedua, Yin berargumen bahwa orang-orang dan budaya-budaya non-Barat perlu melangkah lebih jauh dari bekapan pasca-modernisme untuk mencari dan merumuskan identitas khas mereka di era Globalisasi.

Gagasan kunci yang ditawarkan Yin berporos pada dua premis kunci berikut ini. Pertama, Ide dan cita-cita kedirian yang non-Barat itu penting dan bernilai sebagai alternatif dari konsep-diri Barat yang individualistik. Kedua, dari ide dan cita-cita kedirian yang non-Barat inilah lalu dibangun suatu konstruk baru tentang arti ‘menjadi manusia yang utuh dalam dunia.’ Dalam artikel yang ditulisnya, Yin berupaya untuk berteori tentang kodrat (nature) dan dimensi-dimensi identitas menurut perspektif non-Barat.

Pokok gagasan yang mau dikoreksi Yin adalah bahwa konsep diri yang diusung tradisi modernisme dan pasca-modernisme yang Eropasentris tidak tepat dan tidak memadai untuk menangkap konsep diri (selfhood) yang hidup dan dihayati masyarakat non-Barat—dalam hal ini, masyarakat Kemet di Afrika dan masyarakat Tiongkok yang berpegang pada ajaran Konfusius di Asia—yang bertumpu pada asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis yang berbeda secara radikal.

“konsep diri yang diusung tradisi modernisme dan pasca-modernisme yang Eropasentris tidak tepat dan tidak memadai untuk menangkap konsep diri (selfhood) yang hidup dan dihayati masyarakat non-Barat”

Dengan menggunakan pendekatan ‘budaya-sebagai-tradisi-yang-hidup’ (culture-as-living-tradition), Yin menelusuri bagaimana masyarakat Kemet (Mesir kuno) dan masyarakat yang berpegang pada ajaran Konfusius (Konfusianisme) memahami konsep diri. Dua model ini digunakan Yin sebagai contoh dari teoretisasi identitas berperspektif non-Barat Sebagai hasil temuan penelitian, Yin berhasil mengidentifikasi lima dimensi yang sama dari cara orang Afrika dan Asia memahami diri mereka sebagai manusia, yaitu: (1) kolektivitas, (2) moralitas, (3) sensitivitas, (4) transformabilitas, dan (5) inklusivitas. Berikut paparan yang lebih lengkap tentang pokok-pokok di atas.

Latar belakang masalah
Gagasan tentang diri atau identitas merupakan salah satu pertanyaan mendasar di setiap budaya dan masyarakat manusia. Seorang pribadi tidak mendapatkan dan menerima ‘gagasan tentang dirinya’ (a sense of self) begitu saja secara sendirian, terpisah dari kumpulannya. Hanya melalui jejaring relasi sosial yang tertanam dalam kekhasan budaya konkretlah seorang pribadi mengembangkan arti dirinya sebagai pribadi manusia yang utuh dan lengkap. Bidang kajian komunikasi antar budaya dan hubungan multikultural (KAB) menempatkan fokus pembahasan tentang diri (individu) ini, bukan identitas kolektif yang dihayati bersama seperti ras (race), suku (tribes), bangsa (nation), atau tanah air (patria/diaspora).

Ilustrasi – budaya

Pertanyaan kunci yang dibahas dalam bidang kajian KAB adalah bagaimana individu mengekspresikan, menegaskan, menegosiasikan atau menolak sematan-sematan identitas dalam lingkungan (antar)budaya tertentu. Penamaan atas identitas multikultural yang dinamis ini bisa begitu beragam, misalnya pribadi multikultural (Adler, 1977), marjinalitas budaya (Bennett, 1993), kedirian antarbudaya (Kim, 2008), ruang ketiga (Bhabha & Rutherford, 1990), hibriditas (Bhabha, 1994) dan ‘dalam ayunan antara’ (Yoshikawa, 1987). Jadi, jelas bahwa konsep kunci yang dibahas Yin dalam artikel ini adalah “identitas multikultural yang cair dan dinamis.”

Serangan pemikiran pascamodern terhadap pandangan dominan tentang ‘diri yang esensial’ versi Barat ini memunculkan dua jalur keresahan intelektual

Dua Gugus Persoalan
Persoalan pertama datang dari teori-teori pascamodern dalam lanskap intelektual Barat sejak akhir 1970-an. Ragam teori pascamodern mendisrupsi pandangan dominan tentang diri (subjek) yang berdaulat dan statis yang selama 300 tahun lebih menjadi pokok diskursus Filsafat Identitas Barat, katakanlah semenjak Descartes mengajukan postulatnya tentang subjek penahu dalam Meditationes de Prima Philosophia (1641). Menurut Yin, serangan pemikiran pascamodern terhadap pandangan dominan tentang ‘diri yang esensial’ versi Barat ini memunculkan dua jalur keresahan intelektual.

Jalur pertama menyoal dua hal. Pertama, alat metodologis apa lagi yang mau dipakai sebagai ukuran, mengingat nilai-nilai dan klaim-klaim kebenaran “Barat” justru menjadi target dekonstruksi pemikiran pascamodernis. Kedua, bagaimana nasib realitas non-Barat? Tidakkah justru mereka semakin teralienasi karena munculnya paradigma pascamodern?

Jalur kedua datang seiring dengan kemajuan ICT selama beberapa dekade terakhir ini. Dengan motto ‘global village’ dan paradigma globalisasinya, ICT seolah-olah mau menjadikan kita sebagai satu bangsa manusia yang terhubung secara teknologi. Identitas-identitas budaya yang didasarkan pada etnisitas, gender, tanah-air, bahasa, ras dan agama lalu muncul sebagai suara kritis terhadap tendensi unifikasi global berbasis teknologi ini karena identitas-identitas budaya inilah yang mendefinisikan kondisi-kondisi kehidupan, memberikan gugus makna pada tindakan dan pengalaman hidup sehari-hari sekaligus membentuk kita sebagai manusia-manusia budaya yang konkret.

Katy playing audio lessons

Mengutip Karenga (2003, 2006), Yin mengatakan bahwa yang disebut “diri” (self) dalam masyarakat non-Barat bertumpu pada asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis yang berbeda secara radikal dari konsep diri ‘individualisme’ dalam tradisi berpikir Barat, termasuk di dalamnya pascamodernisme. Karenanya, sudah semestinya orang-orang dalam budaya-budaya non-Barat berpikir melampaui paradigma Barat dan memeluk tradisi budaya mereka masing-masing guna menemukan trisula jati diri (pemahaman-diri, pendefinisian-diri dan penegasan-diri) yang khas.

Sistematika Artikel dan Tujuan Penulisan
Untuk menjawab sejumlah problematika di atas, Yin berusaha memperluas konsep diri dengan menjelajahi sejumlah kemungkinan teoritis tentang kedirian (selfhood) yang diambilnya dari perspektif non-Barat. Menurutnya, perspektif non-Barat yang digunakan sebagai kerangka teori sama penting dan berharga dengan model Barat yang bertumpu pada gagasan tentang diri yang individualistik untuk memahami apa artinya menjadi manusia di dalam dunia. Seperti sudah disinggung di atas, Yin menawarkan (1) kritik terhadap konsep diri Barat versi modernis dan pasca-modernis; (2) penjelasan tentang perspektif non-Barat untuk melihat dan memahami identitas dengan menggunakan pendekatan budaya-sebagai-tradisi-yang-hidup; dan (3) analisis kasuistik tentang cara hidup dan pandangan Kemetic (Mesir kuno) dan Konfusian tentang diri sebagai contoh cara berteori non-Barat tentang identitas.

Tulisan Yin juga bertujuan menantang cara pandang Eropasentrisme dan dominasi Barat, baik versi modernis maupun pasca-modernis, tentang diri, yang ditemukan dalam studi-studi komunikasi dan analisis wacana. Akhirnya, analisis komparatif dari sejumlah budaya non-Barat diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan bagi budaya-budaya non-Barat untuk terlibat dalam pertukaran gagasan dan dialog, baik dengan budaya-budaya lain non-Barat maupun dengan budaya-budaya Barat agar dari dialog ini dihasilkan poin-poin kesamaan (commonalities) dan bentuk solidaritas dalam perjuangan bersama merumuskan dan menegaskan identitas dan penentuan-diri.

Langkah-langkah Argumentasi
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pertama-tama Yin mengkritik teori/konsep Kodrat Diri versi Barat yang dianggapnya bermasalah karena dua hal berikut ini. Pertama, tekanan yang terlalu berlebihan pada otonomi diri yang, bertolak dari epistemologi dan logika Aristoteles serta subjektivitas Descartes, menganggap bahwa konsep diri hadir/ada sebelum relasi sosial. Dikatakan ‘berlebihan’ karena otonomi diri dalam model Barat ini mengasumsikan adanya suatu struktur mental (jiwa) internal yang statis dan tidak pernah berubah-ubah dan bahwa relasi-relasi sosial dari diris, yang datang belakangan, merupakan penghambat (constraining) bagi realisasi diri yang unik dan bebas. Kedua, kritik pasca-modernisme terhadap konsep diri Barat ajeg, koheren dan didorong kehendak bebas, menawarkan alternatif konsep diri yang terpecah-pecah (fragmented), tidak koheren, dan majemuk, yang merupakan hasil dari interplay antara wacana dan bahasa. Tetapi, sayangnya, proyek dekonstruksi atas konsep-diri modernis Barat yang dilancarkan para pemikir pascamodernis ini ketemu batunya karena kritik pascamodernis ini sendiri berakar pada nilai-nilai Barat yang unik dan berpijak pada metodologi yang berasal dari tradisi yang mau digugurkan, sehingga tidak ada kebaruan bentuk-bentuk alternatif tentang pemahaman diri yang berhasil ditawarkan.

“kritik pasca-modernisme terhadap konsep diri Barat ajeg, koheren dan didorong kehendak bebas, menawarkan alternatif konsep diri yang terpecah-pecah (fragmented), tidak koheren, dan majemuk, yang merupakan hasil dari interplay antara wacana dan bahasa”

Karena keterbatasan inilah maka Yin menjabarkan dua langkah ancangan bagi munculnya diskursus pluralitas, yaitu dunia wacana (dicontohkan lewat Neo-Marxis dan Kajian Budaya Inggris, juga pemikiran filsuf Jacque Derrida, Michel Foucault dan Jacques Lacan yang menggarisbawahi praktik sosial sebagai bentukan dari diskursus dan, lewat semiotika, berurusan dengan makna) dan pluralitas sebagai hegemoni (karena perayaan perbedaan dan kemajemukan oleh pascamodernis tidak dengan sendirinya mengubah struktur kekuasaan aktual yang melanggengkan ketidaksamaan alias hegemoni Barat Eropa-Amerika).

Etika yang berlandaskan kesadaran akan hak menggiring individu melihat orang lain sebagai pesaing (rival rights claimants)

Dari dua langkah ancangan tersebut, muncul dua gugus kritik. Pertama soal lack of ethics dan kedua absennya agensi. Dalam budaya Barat, paham etika biasanya dibayang-bayangi keyakinan bahwa kebebasan individu lebih prioritas daripada tatanan moral sosial. Ada sejumlah ahli yang berpandangan bahwa paham etika yang kuat mengakar dalam Tradisi Barat adalah sebentuk kesadaran akan hak, yang bertumpu pada ide individualisme, sehingga konflik antara kebebasan dan kesetaraan begitu sulit didamaikan. Lebih jauh lagi, doktrin otonomi individu menegasi prinsip-prinsip kesamaan dan keadilan sehingga ruang untuk partisipasi komunal (komunitas) menjadi lebih sempit. Selain itu, etika yang berlandaskan kesadaran akan hak menggiring individu melihat orang lain sebagai pesaing (rival rights claimants). Selain itu, dengan memperlakukan subjek/subjektivitas sebagai melulu produk dari bahasa atau ketidaksadaran, para pemikir pascamodernis mengabaikan pertanyaan soal agensi. Padahal, tanpa konsep agensi yang memadai, resistensi jadi seperti tanpa taring; individu seakan tidak berdaya untuk melawan kekuatan konstitutif dari wacana (Foucault) atau ketidaksadaran (Freud, Lacan).

Dari telusur awal tentang konsep diri Barat ini, yang betapapun kaya insight tapi terbatas dalam cakupan, Yin berupaya untuk mencari dan menemukan sejumlah konsep-diri non-Barat yang melampaui Pasca-Modernisme. Upaya tersebut pertama-tama dimulai dari memberi perhatian pada tradisi-tradisi budaya yang dihayati kaum marjinal sebagai sumur kekuatan (resources) untuk trisula jati-diri: pemahaman, ekspresi dan penegasan diri. Menimba kebijaksanaan tentang diri dari sumur kekuatan ‘budaya’ berarti melakukan dua hal sekaligus: mengamini unsur-unsur positif dari warisan budaya dan mengubah praktik-praktik negatif seturut ideal etis yang disepakati bersama. Sebuah konsep kearifan lokal dari Afrika, sankofa, merujuk pada upaya sadar untuk kembali ke sumber asali dan menemukan pengetahuan dengan cara yang kritis sekaligus tafsir yang ramah budaya setempat.
Yin mengangkat sebuah studi kasus untuk menyoroti hadirnya gagasan tentang identitas non-Barat, yaitu diri yang digambarkan filsafat Kemetis dan Konfusian, yang memberi ruang pada&menjadikan pokok berikut sebagai karakter utamanya: Kolektivitas, Moralitas, Sensitivitas, Transformabilitas, dan Inklusivitas.

Kesimpulan
Persoalan paling mendasar terkait pengakuan atas identitas multikultural adalah adanya klaim bahwa sebuah partikularitas budaya tertentu (Eropasentris) diproyeksikan sebagai universal dan normatif, sementara budaya-budaya lainnya (cultural particularities) dianggap abnormal dan mengidap defisiensi. Selain itu, konsep diri Barat dijadikan tolok-ukur untuk mengevaluasi atau ‘mencela’ konsep diri alternatif, yang dalam hal ini “non-Barat.” Salah satu konsekuensinya adalah konsep-konsep diri yang berasal dari budaya-budaya lain tersebut harus diperbaiki atau direformasi seturut kriteria ‘universal’ Barat yang Eropasentris tadi, dengan kata lain: “di-Barat-kan.”

Ilustrasi Ekspresi.

Kehadiran dan kritik pemikir pasca-modernisme sendiri dalam arti tertentu memang “menyeimbangkan” konsepsi diri modernis Barat, tapi, kritik ini pun bertolak dari landasan ontologis dan epistemologis modernis yang sama yaitu individualisme. Dwisula kekosongan etika normatif dan absennya agensi dalam lanskap pemikiran pascamodernis membuatnya tidak mampu membuat teori epistemologi dan metodologi baru yang dapat menerangi bentuk-bentuk alternatif pemahaman-diri. Selain itu, tekanan yang berlebihan pada wacana dan privilese pada perbedaan individual yang digembar-gemborkan pascamodernisme justru mencabut kesempatan bagi orang non-Barat untuk menggunakan tradisi-tradisi budaya mereka sendiri sebagai pendasaran untuk membentuk konsep pemahaman dan penegasaan-diri.

Dengan demikian, konsep diri Barat, baik versi modernis maupun pascamodernis, tidak tepat dan tidak memadai untuk dijadikan ukuran pencarian dan penemuan konsep diri yang sehat dan seimbang. Dengan menunjukkan dua contoh konsep diri non-Barat, yaitu yang didasarkan pada filsafat Kemetisme (Mesir) dan Konfusianisme, studi komparatif yang dipaparkan Yin menunjukkan kemiripan yang mencengangkan. Bertolak-belakang dengan konsep diri Barat yang bertumpu pada gagasan diri sebagai individu yang terpisah, statis dan rasional, baik tradisi Kemetisme maupun Konfusianisme menunjukkan gagasan kedirian sebagai pusat dari jejaring relasi yang masuk-terlibat dalam proses kultivasi dan transformasi moral tanpa henti dengan cara berinteraksi secara konstan bukan hanya dengan orang (manusia) lain, namun juga dengan makhluk-makhluk natural dan spiritual lainnya. Kolektivitas, moralitas, sensitivitas, transformabilitas, dan inklusivitas adalah lima ciri utama konsep diri non-Barat yang dicontohkan lewat Kemetisme dan Konfusianisme.

Referensi
Yin, J. (2018). Beyond postmodernism: a non-western perspective on identity. Journal of Multicultural Discourses, 1-26. DOI: 10.1080/17447143.2018.1497640

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here